Perekonomian kita tak terlepas dari dampak resesi, tetapi tak akan parah. Oleh karenanya, kita punya ruang lebih luas untuk menyiapkan diri menghadapi transisi yang menyertai resesi.
Oleh
Agustinus Prasetyantoko
·5 menit baca
Sejarah menunjukkan, resesi global diawali dua gejala ini; perlambatan global serta kejatuhan perekonomian utama dunia. Sepanjang 2022, ekonomi global melambat dan perekonomian Amerika Serikat, Eropa, dan China merosot sehingga kekuatiran resesi global 2023 menguat. Begitu salah satu kesimpulan studi terbaru Bank Dunia berjudul ”Is A Global Recession Imminent?”.
Pemicu resesi adalah kenaikan suku bunga serentak di hampir semua negara dengan besaran yang tak pernah terjadi dalam lima dekade terakhir. Di tengah tingginya tingkat utang pemerintah, kebijakan ini akan menimbulkan perlambatan ekonomi yang tak pernah terjadi sejak 1970-an.
Mendahului kenaikan suku bunga The Fed sebesar 75 basis poin menjadi 3,25 persen, Bank Indonesia terlebih dahulu menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen. Kenaikan suku bunga punya dua implikasi utama, yaitu kenaikan suku bunga kredit dan peningkatan beban pemerintah membayar utang.
Pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengalami kenaikan utang secara signifikan akibat pandemi. Hingga pertengahan tahun ini, rasio utang pemerintah Indonesia mencapai 42 persen terhadap perekonomian (produk domestik bruto). Angka ini naik dibanding triwulan III-2021 yang masih sekitar 36 persen dan 2011 yang baru mencapai 25 persen.
Studi Bank Dunia menunjukkan resesi global kali ini lebih didorong oleh faktor produksi ketimbang faktor konsumsi. Konkretnya, kenaikan harga tak melulu disebabkan terlalu banyaknya likuiditas dalam ekonomi, tetapi lebih karena berkurangnya pasokan barang.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, tingkat utang pemerintah kita masih relatif rendah. Misalnya, Malaysia sebesar 70 persen, Thailand 62 persen, dan Filipina 60 persen pada periode yang sama. Meski demikian, kenaikan suku bunga tentu akan memberi tekanan pada perekonomian kita.
Pendek kata, perekonomian domestik tidak bebas dari dampak resesi dunia, meski tak signifikan. Pertumbuhan ekonomi masih tetap bisa dijaga di kisaran 5 persen tahun ini, dan kemungkinan sedikit melambat pada 2023 menjadi sekitar 4,7–4,9 persen. Apalagi jika tidak ada perbaikan situasi geopolitik global yang berpengaruh pada mata rantai pasok global, seperti perang Rusia dan Ukraina yang menimbulkan kenaikan harga pangan dan energi.
Mendorong transisi
Dari sejarah, kita juga bisa belajar resesi telah mumunculkan berbagai tansisi menuju tatanan baru. Tingkat perubahan dan ruang lingkupnya sangat ditentukan oleh faktor utama penyebab resesi itu sendiri. Biasanya, akan terjadi transformasi besar-besaran melalui berbagai regulasi terhadap sektor yang dianggap menjadi penyebab krisis. Dalam kasus krisis 1998, perbankan dianggap sebagai faktor utama pemicu krisis, dan setelah itu terjadi transformasi yang membuat sektor perbankan kita solid seperti sekarang.
Demikian pula ketika terjadi resesi global tahun 1970-an. Waktu itu, penyebab utamanya adalah konflik di Timur Tengah yang membuat harga minyak dunia melonjak drastis. Perekonomian Amerika Serikat mengalami tekanan besar dalam produktivitas dan daya saing, terutama di sektor otomotif.
Biasanya, akan terjadi transformasi besar-besaran melalui berbagai regulasi terhadap sektor yang dianggap menjadi penyebab krisis.
Guna mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing, Pemerintah Amerika Serikat meliberalisasi sektor keuangan dengan cara melepaskan konvertabilitas dollar AS terhadap emas. Sejak saat itu, penerbitan mata uang dollar AS tak memerlukan penambahan cadangan emas. Inilah salah satu cikal bakal dari liberalisasi sektor keuangan yang memungkinkan terjadinya inovasi produk keuangan melalui sekuritisasi serta berkembangnya pasar derivatif.
Inovasi sektor keuangan ini pada akhirnya menimbulkan gelembung aset finansial yang meletus pada 2008 lalu. Dengan kata lain, solusi resesi ekonomi era 1970-an punya implikasi jangka panjang yang berperan memunculkan krisis finansial global 2008.
Kenaikan harga minyak dunia juga membuat industri otomotif Amerika Serikat kolaps. Pada waktu bersamaan, hal itu menjadi momentum kemunculan industri otomtif Jepang yang lebih efisien dan hemat energi.
Belajar dari pengalaman ini, ada dua pelajaran penting. Pertama, respons kebijakan atas resesi akan mengubah lanskap struktur ekonomi, baik global maupun nasional. Kedua, implikasi dari respons kebijakan terhadap resesi bisa menimbulkan risiko krisis dalam jangka panjang. Kedua pelajaran ini patut diperhatikan dalam mendorong perubahan (kebijakan) menghadapi resesi global 2023 nanti.
Studi Bank Dunia menunjukkan resesi global kali ini lebih didorong oleh faktor produksi ketimbang faktor konsumsi. Konkretnya, kenaikan harga tak melulu disebabkan terlalu banyaknya likuiditas dalam ekonomi, tetapi lebih karena berkurangnya pasokan barang. Perang dagang, pandemi, dan pergeseran geo-politik telah mengubah mata rantai pasok global yang meningkatkan biaya produksi dan logistik barang dan jasa. Mobilitas sumber daya dan input produksi tak sefleksibel periode sebelumnya.
Karena itu, guna mencapai stabilitas harga dan kualitas pertumbuhan, Bank Dunia menyarankan agar semua negara lebih banyak melakukan produksi dan mengurangi konsumsi melalui realokasi sumber daya untuk investasi. Realokasi menjadi kata kunci, karena pada masa resesi sumber daya juga terbatas. Oleh karena itu, diperlukan upaya merelokasi sumber daya yang masih tersedia guna mengoptimalkan pertumbuhan berkualitas yang ditandai dengan berkurangnya jumlah kemiskinan dan menurunkan ketimpangan.
Arah kebijakan ini akan mengubah lanskap ekonomi dan peradapan jangka panjang. Pertama, peran pemerintah dalam perekonomian masih akan besar, melalui berbagai alokasi belanja sosial. Investasi di sektor kesehatan juga akan tinggi, dalam rangka meningkatkan kesiapan menghadapi pandemi di masa depan. Adopsi teknologi dalam implementasi kebijakan maupun praktek kehidupan sehari-hari juga tak lagi bisa dihindari. Kehadiran negara dengan sokongan teknologi telah memunculkan peluang hadirnya konsep negara kesejahteraan berbasis digital (digital welfare state).
Kedua, meningkatnya kesadaran akan keseimbangan alam dan keberlanjutan. Investasi di bidang energi alternatif, mobil dan perangkat elektronik yang ramah lingkungan berbasis energi baru terbarukan akan semakin meningkat di masa depan. Sumber pendanaan ekonomi hijau juga semakin diperlukan.
Resesi global, yang nampaknya tak terhindarkan, akan mengantar kita pada transisi menuju tatanan baru. Meski perekonomian kita tak terlepas dari dampak resesi, hal itu tak akan parah sehingga punya ruang lebih luas untuk menyiapkan diri menghadapi transisi yang menyertai resesi.