Ekonomi Indonesia Dinilai Masih Kuat Hadapi Gejolak Global
Fundamen ekonomi Indonesia dinilai masih kuat menghadapi gejolak ekonomi global. Namun, risiko pengetatan moneter oleh negara-negara maju dan melemahnya perekonomian China patut diwaspadai imbasnya.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Para pekerja kantoran memadati Halte Transjakarta Tosari, Jakarta, saat jam pulang kerja, Senin (25/7/2022). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini diperkirakan akan lebih banyak ditopang kegiatan ekonomi yang berangsur normal di tengah jumlah kasus Covid-19 yang terkendali.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tren melambatnya perekonomian global, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia tetap tumbuh 5,1 persen pada 2022 dan 2023. Perekonomian Indonesia dinilai memiliki daya tahan kuat karena ditopang oleh pemulihan konsumsi masyarakat, laju investasi yang pesat, serta kebijakan ekonomi makro yang suportif.
Dalam laporan terbaru mengenai proyeksi perekonomian di kawasan Asia-Pasifik, Bank Dunia tetap mempertahankan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1 persen pada 2022 dan 2023. Proyeksi ini masih sama dengan perkiraan sebelumnya, yakni pada April dan Juni 2022.
Jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia, proyeksi ekonomi Indonesia juga lebih baik. Prospek ekonomi Indonesia untuk tahun 2022 bahkan melampaui China yang pertumbuhan ekonominya dipangkas oleh Bank Dunia dari 5 persen menjadi 2,8 persen.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Regional Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo dalam konferensi pers virtual, Selasa (27/9/2022), mengatakan, Indonesia dan sejumlah negara lain di kawasan Asia Tenggara masih kuat menghadapi gejolak perekonomian global karena ditopang oleh bangkitnya konsumsi rumah tangga dan laju investasi swasta pascapandemi Covid-19.
Data terakhir oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, konsumsi rumah tangga pada triwulan II tahun 2022 masih tumbuh 5,51 persen, berkontribusi 51,47 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,44 persen pada periode itu. Adapun pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi tumbuh 3,07 persen dan berkontribusi 27,31 persen terhadap perekonomian Indonesia pada periode yang sama.
Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia, juga banyak diuntungkan dengan ledakan harga komoditas tahun ini. Kinerja ekspor komoditas itu membuat tingkat inflasi di negara-negara tersebut lebih rendah dibandingkan dengan negara lain.
Lebih lanjut, Aaditya mengatakan, Indonesia lebih beruntung karena perekonomiannya tidak terlalu bergantung pada permintaan ekspor dari China meski China adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia. Oleh karena itu, meskipun perekonomian China diproyeksikan melambat tahun ini dan tahun depan, Indonesia tetap bergeming.
Prospek ekonomi Indonesia untuk tahun 2022 bahkan melampaui China, yang pertumbuhan ekonominya dipangkas oleh Bank Dunia dari 5 persen menjadi 2,8 persen.
”Memang, melambatnya ekonomi China akan berdampak negatif pada negara-negara yang mengekspor ke sana. Tapi, berbeda dari negara lain di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Malaysia, Indonesia tidak terlalu bergantung pada ekspor ke China,” kata Aaditya.
Di sisi lain, ia menilai, kebijakan ekonomi makro yang diambil pemerintah relatif mendukung daya tahan ekonomi RI. Ia menyoroti keputusan pemerintah pada September 2022 untuk mengurangi anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang kurang tepat sasaran dan mengalihkannya menjadi anggaran perlindungan sosial dalam bentuk bantuan langsung tunai (cash transfer).
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Warga berbelanja bahan pokok yang dijual dalam kegiatan pasar murah untuk pengendalian inflasi pangan pascakenaikan harga bahan bakar minyak di Lapangan Kamboja, Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (15/9/2022). Di lokasi pasar murah, bahan pangan dijual lebih murah dari harga pasaran karena disubsidi oleh pemerintah daerah. Selisih harganya mulai dari Rp 500 hingga Rp 15.000 per satuan.
Menurut dia, alokasi anggaran subsidi energi untuk mengontrol harga di pasaran menjadi persoalan di banyak negara-negara Asia Pasifik. Sebab, seperti halnya di Indonesia, kebijakan tersebut juga kerap tidak tepat sasaran karena harga murah dinikmati tidak hanya oleh masyarakat tidak mampu, tetapi juga orang-orang kaya.
”Dengan faktor-faktor yang ada, serta ruang kebijakan ekonomi makro Indonesia yang relatif mendukung, kami tetap mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 5,1 persen,” kata Aaditya.
Sementara itu, kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi kini mulai berdampak pada tingkat inflasi di dalam negeri. Survei pemantauan harga oleh Bank Indonesia menunjukkan, inflasi sampai pekan keempat September 2022 diperkirakan sebesar 1,1 persen dibandingkan dengan Agustus 2022.
Penyumbang utamanya adalah kenaikan harga bensin sebesar 0,91 persen. Untuk menahan dampak dari kebijakan tersebut, pemerintah meningkatkan alokasi fiskal untuk program perlindungan sosial guna menjaga daya beli masyarakat (Kompas, 27/9/2022).
Kepadatan penumpang KRL Commuterline di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Minggu (25/9/2022). Pascakenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM pengguna transportasi umum, khususnya kereta, naik. Penumpang KRL Commuterline dan kereta api jarak jauh meningkat sekitar tiga persen dibandingkan dengan sebelum kenaikan BBM. Sementara penumpang MRT mencapai 3,8 persen. Kenaikan penumpang paling tinggi terjadi pada akhir pekan.
Kondisi kawasan
Secara umum, selain Indonesia, prospek pertumbuhan ekonomi untuk negara lain di kawasan Asia Tenggara juga relatif menjanjikan. Bank Dunia merevisi proyeksi ekonomi sejumlah negara menjadi lebih baik meskipun ekonomi China yang melambat tetap perlu diwaspadai.
Sebagai contoh, dalam proyeksi terbaru Oktober 2022 ini, prospek ekonomi Malaysia untuk tahun 2022 dinaikkan dari 5,5 persen pada April 2022 menjadi 6,4 persen. Demikian juga pertumbuhan ekonomi Filipina yang dinaikkan menjadi 6,5 persen, Thailand naik menjadi 3,1 persen, dan Vietnam menjadi 7,2 persen.
Meski relatif aman untuk proyeksi ekonomi tahun 2022, Bank Dunia memprediksi sebagian besar negara itu akan mengalami pelambatan ekonomi tahun depan, seiring dengan ancaman resesi global. Beberapa negara yang ekonominya dapat melambat pada 2023 adalah Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Indonesia diperkirakan tetap bertahan di 5,1 persen.
”Untuk menghadapi melambatnya kondisi ekonomi global, negara-negara di kawasan perlu memperbaiki kebijakan domestik yang bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang,” kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Manuela V Ferro.
Sebelumnya, tanda-tanda bahwa perekonomian global akan melambat juga diperingatkan sejumlah lembaga internasional lain, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), yang memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia Pasifik untuk tahun 2022.
Pengetatan moneter
Meski demikian, Bank Dunia mengingatkan risiko berupa imbas pengetatan moneter yang kini dilakukan negara-negara maju. Hal itu bisa mendorong keluarnya modal asing dan mengakibatkan depresiasi mata uang di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bank Dunia mengingatkan risiko berupa imbas pengetatan moneter yang kini dilakukan negara-negara maju.
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, ekonomi global berisiko terkena resesi pada 2023. Hal itu salah satunya akan disumbang oleh kebijakan pengetatan moneter berupa kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral di sejumlah negara.
”Kalau bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, dunia pasti mengalami resesi di 2023,” kata Sri Mulyani.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sebuah iklan penawaran properti terpasang di kawasan Babakan, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (23/9/2022). Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin sehingga menjadi 4,25 persen. Kenaikan suku bunga tersebut berpotensi mengancam penjualan properti yang mayoritas menggunakan fasilitas kredit perbankan.
Selama tahun 2022, suku bunga acuan di bank sentral Inggris sudah naik 200 basis poin. Begitu pula Federal Reserve (The Fed), bank sentral Amerika Serikat, yang sudah menaikkan suku bunga acuan 300 basis poin. Merespons hal itu, Bank Indonesia pun ikut menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen.
Meski demikian, Sri Mulyani optimistis, perekonomian Indonesia akan tetap terjaga. Ia mengatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan bekerja keras untuk menghadapi gempuran guncangan ekonomi tahun depan, terutama untuk menghadapi potensi kenaikan inflasi akibat guncangan di pasar komoditas, pasar keuangan global, dan dampak tensi geopolitik.
”Meski inflasi kita relatif lebih rendah dibandingkan negara lain, kita tetap harus fokus mengendalikan inflasi, terutama untuk harga-harga yang masih bisa kita kontrol sendiri,” ujarnya.