Dalam beberapa pekan terakhir, harga minyak mentah dunia menunjukkan pelemahan. Hal itu disebabkan berkurangnya permintaan akibat pengaruh inflasi yang menyebabkan daya beli berkurang.
Oleh
MEDIANA, ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mengutip data Bloomberg, harga minyak mentah jenis Brent melemah ke angka 86 dollar AS per barel pada Senin (26/9/2022) siang. Pada Juni 2022 lalu, harga rata-rata minyak mentah jenis Brent di level 122 dollar AS per barel. Apakah harga jual eceran bahan bakar minyak atau BBM dalam negeri harus turun?
Harga minyak mentah saat ini sama dengan posisi harga pada Januari 2022. Saat itu, harga jual BBM jenis pertamax (nonsubsidi) yang dijual PT Pertamina (Persero) adalah Rp 9.000 per liter. Harga pertamax lantas naik menjadi Rp 12.500 per liter pada 1 April 2022. Harga pertamax kembali naik per 3 September 2022 menjadi Rp 14.500 per liter hingga kini.
Saat dihubungi pada Senin di Jakarta, Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, kemungkinan penyesuaian harga BBM nonsubsidi sudah ada. Hal ini sudah dibuktikan pada harga pertamax turbo, dexlite, dan pertamina dex yang di awal September lalu diturunkan.
”Pertamina selaku badan usaha juga akan mengevaluasi harga jual BBM nonsubsidi setiap bulan,” kata Irto.
Secara terpisah, Vice President Corporate Relations Shell Indonesia Susi Hutapea mengatakan, Shell Indonesia masih mencermati kondisi pasar terkait harga minyak dunia yang sekarang turun. Penetapan harga BBM di Shell dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, misalnya harga produk minyak olahan berdasarkan Mean of Platts Singapore (MOPS), kondisi pasar, nilai tukar mata uang asing, pajak, biaya distribusi, kinerja perusahaan, serta aktivitas promosi yang sedang berjalan.
”Penyesuaian harga yang kami lakukan masih sejalan dengan peraturan pemerintah yang berlaku mengenai harga jual BBM,” ujar Susi.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, harga minyak mentah dunia bukanlah satu-satunya penentu harga jual eceran BBM di dalam negeri. Faktor lainnya yang tak kalah penting adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kondisi saat ini, rupiah sedang terdepresiasi terhadap dollar AS.
”Posisi sekarang, kan, rupiah sedang terdepresiasi. Harga (eceran BBM) bisa jadi tetap akan tinggi meski harga minyak mentahnya sama. Itu dengan asumsi besaran pajak dan margin yang ditetapkan badan usaha tidak berubah,” ujar Komaidi saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Mengutip Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Senin, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih bertahan di angka Rp 15.035 per dollar AS. Adapun rerata nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada Januari 2022 adalah Rp 14.350 per dollar AS.
Komaidi menambahkan, pelajaran yang bisa dipetik dari naik turunnya harga minyak mentah dunia adalah perubahan harga jual eceran BBM menjadi sesuatu yang wajar. Pasalnya, Indonesia adalah negara pengimpor bersih (net importer) minyak. Separuh dari kebutuhan BBM nasional diperoleh dari impor.
”Justru yang perlu diedukasi pertama kali adalah pemerintah. Beranikah mereka membiasakan harga jual eceran BBM naik turun sesuai pergerakan pasar? Sebab, yang menahan harga, kan, mereka (pemerintah), bukan rakyat. Tentu ada kalkulasi politiknya dalam hal penentuan harga BBM di Indonesia,” ucap Komaidi.
Menaikkan dan menurunkan harga eceran BBM dengan mengacu pada pergerakan harga minyak mentah dunia, lanjut Komaidi, bukan berarti menyerahkan harga energi tersebut ke mekanisme pasar. Sebab, hal itu akan bertentangan dengan amanat konsitusi. Namun, pemerintah bisa mengintervensinya dengan menetapkan harga lewat batas atas atau batas bawah.
”Sekali lagi, prinsip harga BBM yang naik turun harus dibiasakan. Sebab, kondisi pasarnya memang demikian. Itu sudah lazim dilakukan badan usaha (sektor ritel BBM),” kata Komaidi.