Meski Harga BBM Naik, Anggaran Subsidi dan Kompensasi Energi Tetap Ditambah
Anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi meningkat menjadi Rp 650 triliun dari sebelumnya Rp 502,4 triliun. Peningkatan ini dibarengi upaya penebalan bantalan sosial dari kenaikan harga BBM bersubsidi.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Walau sudah menaikkan harga pertalite, biosolar, dan pertamax, alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi tetap ditambah untuk stabilisasi harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi di tingkat konsumen. Pemerintah pun berupaya mengompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi dengan aliran bantuan sosial yang diyakini lebih tepat sasaran ketimbang distribusi subsidi energi.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan, jika pemerintah tidak menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi, kuota BBM bersubsidi bisa habis pada Oktober 2022.
Sebelum adanya keputusan kenaikan harga BBM bersubsidi, hingga akhir tahun anggaran subsidi dan kompensasi energi diperkirakan bisa mencapai Rp 698 triliun. Namun, dengan adanya kenaikan harga BBM bersubsidi, kebutuhan subsidi energi bisa ditekan menjadi Rp 650 triliun. Jumlah ini tetap meningkat dari penganggaran sebelumnya Rp 502,4 triliun.
”Keputusan itu diambil untuk mengimbangi tren peningkatan konsumsi masyarakat yang terus meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya dalam diskusi Forum Merdeka Barat secara daring, Selasa (6/9/2022).
Sebelum adanya keputusan kenaikan harga BBM bersubsidi, hingga akhir tahun anggaran subsidi dan kompensasi energi diperkirakan bisa mencapai Rp 698 triliun. Namun, dengan adanya kenaikan harga BBM bersubsidi, kebutuhan subsidi energi bisa ditekan menjadi Rp 650 triliun.
Kuota BBM jenis pertalite saat ini sudah ditetapkan sebesar 29 juta kiloliter dari posisi awal tahun di angka 23 juta kiloliter. Sementara itu, kuota biosolar juga ditambah menjadi 17,4 juta kiloliter dari sebelumnya 15 juta kiloliter.
Meningkatnya alokasi subsidi energi pada paruh kedua tahun ini dipicu oleh tingginya harga minyak mentah dunia yang diikuti oleh tren konsumsi masyarakat yang melebihi proyeksi awal tahun. Selain itu, peningkatan alokasi anggaran subsidi energi juga disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Berdasarkan penghitungan Kementerian Keuangan, subsidi berpotensi melejit ke posisi Rp 653 triliun jika harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia crude price (ICP) berada di posisi 99 dollar AS per barel. Di sisi lain, subsidi energi diproyeksikan berada di angka Rp 640 triliun apabila harga ICP sebesar 85 dollar AS per barel sampai akhir tahun.
Alih subsidi
Berdasarkan kalkulasi Kementerian Keuangan, kenaikan harga pertalite dan biosolar membuat 60 persen masyarakat kelas ekonomi atas, dari desil kelima hingga desil kesepuluh, harus menanggung Rp 50 triliun. Sementara itu, 40 persen masyarakat kelas ekonomi bawah, dari desil pertama hingga desil keempat, perlu menanggung Rp 8 triliun dari kenaikan harga BBM bersubsidi.
”Dengan demikian, pemerintah harus memberikan bantalan ekonomi yang lebih besar dari Rp 8 triliun kepada 40 persen masyarakat kelas ekonomi terbawah. Bantuan langsung tunai (BLT) yang akan langsung menyasar mereka dianggarkan sebesar Rp 12,4 triliun,” ujar Febrio.
Di samping itu, lanjutnya, kelompok masyarakat dalam desil kedua hingga keempat yang merupakan kelas pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan mendapatkan bantuan subsidi upah (BSU) yang nilainya mencapai Rp 9,6 triliun.
Selain kedua instrumen BLT dan BSU, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022 telah mengamanatkan 2 persen penggunaan dana transfer umum (DTU) untuk bantuan sosial di daerah.
Penggunaan bantuan sosial tersebut termasuk untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), nelayan, penciptaan lapangan kerja, dan subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah.
”Inilah yang akhirnya membuat pemerintah yakin bahwa bantuan yang didesain sebagai pengalihan dari subsidi energi akan bisa menahan beban yang ditanggung oleh masyarakat, khususnya kelompok miskin dan rentan,” kata Febrio.
Kendala penyaluran
Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Aviliani, menilai, keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sudah tepat agar beban APBN tidak semakin besar. Terlebih lagi, selama ini penyaluran BBM bersubsidi banyak yang tidak tepat sasaran.
”Sayangnya, kebijakan bantuan sosial untuk mengompensasi kenaikan harga BBM subsidi ini tidak bisa segera disalurkan karena perlu penyesuaian data dan lain sebagainya,” ujarnya.
Jika ditotal, alokasi anggaran pemerintah untuk BLT, BSU, serta penggunaan 2 persen DTU untuk bantuan sosial mencapai Rp 24,17 triliun. Penyerapan anggaran bantuan sosial sebanyak itu, menurut Aviliani, rentan terkendala oleh ketidaksesuaian data calon penerima antara lembaga satu dan lembaga yang lain.
”Ini yang menjadi kendala karena kita terlalu banyak data orang miskin. Kementerian Sosial punya data, kemudian lembaga lain juga punya. Jadi, menurut saya, ambil saja satu data yang bisa digunakan sehingga bisa efisien,” ujarnya.
Menteri Sosial Tri Rismaharini menambahkan, Kementerian Sosial terus memperbarui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Langkah ini untuk menjamin penyaluran bantuan sosial, termasuk BLT alih subsidi BBM, bisa semakin tepat sasaran.
Menurut Risma, pembaruan DTKS berdasarkan masukan dari pemerintah daerah. ”Karena kondisi perubahan di daerah cukup pesat, kemudian kami melakukan perubahan (DTKS) setiap bulan. Jadi, setiap bulan saya membuat surat keputusan baru,” kata Risma.