Harga BBM Naik, Inflasi Bertambah 1,14 Persen dan PDB Terkikis 0,28 Persen
Kenaikan harga pertalite dan solar diperkirakan akan mengikis pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 0,28 persen menjadi 4,89 persen. Adapun dana bansos atau kompensasi hanya akan menumbuhkan ekonomi sebesar 0,004 persen.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi jenis pertalite dan solar berpotensi menambah inflasi sebesar 1,14 persen pada tahun ini. Kebijakan itu juga bakal mengikis produk domestik bruto atau pertumbuhan ekonomi pada 2022 sebesar 0,28 persen.
Di samping itu, kompensasi atas kenaikan harga BBM berupa perlindungan sosial dan subsidi transportasi diperkirakan tidak akan terlalu signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dampak dana bantuan sosial (bansos) hanya akan mendorong pertumbuhan sebesar 0,004 persen.
Poin-poin itu merupakan hasil kajian Tim Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk bertajuk ”Analisa Dampak Sektoral dari Kenaikan Harga BBM yang Disubsidi dan Dikompensasi”. Analisis itu merujuk pada kebijakan pemerintah menaikkan harga pertalite dan solar masing-masing menjadi Rp 10.000 per liter dan Rp 6.800 per liter. Pemerintah juga mengompensasinya dengan dana bansos senilai total Rp 25,27 triliun.
Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani, Selasa (6/9/2022), mengatakan, kenaikan harga pertalite dan solar akan menambah inflasi masing-masing sebesar 0,97 persen dan 0,17 persen. Dengan begitu, inflasi pada akhir tahun ini diperkirakan bisa mencapai 5,89 persen.
”Tanpa ada kenaikan harga pertalite dan solar, inflasi pada akhir tahun ini diperkirakan hanya sebesar 4,6 persen,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Inflasi pada akhir tahun ini diperkirakan bisa mencapai 5,89 persen. Tanpa ada kenaikan harga pertalite dan solar, inflasi pada akhir tahun ini diperkirakan hanya sebesar 4,6 persen.
Dendi juga menjelaskan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi itu akan berdampak ke sejumlah sektor ekonomi. Beberapa adalah transportasi orang dan barang, pelayaran rakyat, usaha mikro, perikanan, dan pertanian.
Dari sisi transportasi barang, ada lima sektor yang paling terdampak kenaikan harga BBM tersebut. Kelima sektor itu adalah industri alat angkutan dengan proporsi biaya pengangkutan sebesar 6,1 persen, elektronik 3,7 persen, mesin dan perlengkapan 3,5 persen, pengolahan tembakau 3,1 persen, dan pertanian holtikultura 3,1 persen.
Kondisi itu, lanjut Dendi, akan mengikis pertumbuhan ekonomi pada 2022 sebesar 0,28 persen. ”Tanpa ada kenaikan harga BBM, pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,17 persen. Dengan kenaikan harga BBM, ekonomi nasional hanya tumbuh 4,89 persen,” katanya.
Tanpa ada kenaikan harga BBM, pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,17 persen. Dengan kenaikan harga BBM, ekonomi nasional hanya tumbuh 4,89 persen.
Dendi menilai, terkikisnya pertumbuhan ekonomi itu tidak dapat dikompensasi dengan guliran aneka bansos. Dana bansos dan subsidi transportasi itu hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,004 persen.
Secara jangka pendek, risiko ekonomi atas kenaikan harga BBM lebih besar dari risiko fiskal. Namun untuk jangka panjang, harga BBM memang harus dinaikkan. Hanya saja, setelah menunda sekian lama, momen kenaikan harga BBM bersubsidi kurang pas, mengingat daya beli masyarakat belum pulih.
Menurut Dendi, harga rata-rata minyak mentah dunia pada 2023 diperkirakan masih 90 dollar AS per barel. Harga ini masih tinggi dibandingkan sebelum pandemi yang di kisaran 60 dollar AS per barel-70 dollar AS per barel.
”Harga minyak mentah dunia bisa naik kembali dan sulit turun di bawah 80 dollar AS per barel. Hal itu mengingat Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan mitranya (OPEC+) sepakat memangkas produksi minyak sebanyak 100.000 barel per hari,” tuturnya.
Senin lalu, OPEC+ sepakat mengurangi produksi minyak mentah 100.000 barel per hari atau sekitar 0,1 persen dari permintaan global untuk Oktober 2022. OPEC+ juga sepakat akan meninjau kebijakan itu secara periodik.
Harga pangan mulai naik
Sementara itu, kenaikan harga pertalite dan solar mulai memengaruhi kenaikan harga bahan pangan di sejumlah pasar tradisional. Hal itu akibat imbas dari kenaikan biaya transportasi barang.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengatakan, harga sejumlah bahan pangan pokok di pasar-pasar tradisional mulai naik. Hal itu terutama terjadi pada komoditas pangan harian yang diangkut menggunakan transportasi barang, seperti cabai, bawang, dan daging segar.
Harga rata-rata cabai merah keriting dan merah besar di sejumlah pasar tradisional di DKI Jakarta masing-masing naik Rp 3.500 per kg dan Rp 2.500 per kg. Harga daging segar juga sudah mulai naik sekitar Rp 1.000 per kg.
”Untuk komoditas lain, termasuk beras, kenaikan harganya memang belum signifikan. Namun dalam sepekan ini, kemungkinan besar harga pangan tersebut akan naik terus,” katanya.
Berdasarkan data Informasi Pangan Jakarta per 6 September 2022, komoditas pangan yang harganya naik, antara lain, cabai merah keriting, cabai merah besar, cabai rawit merah, beras, bawang merah, dan daging sapi. Dalam sehari, harga rata-rata cabai merah keriting naik Rp 3.542 per kg menjadi Rp 81.500 per kg, daging sapi naik Rp 356 per kg menjadi Rp 148.023 per kg, dan bawang merah naik Rp 148 per kg menjadi Rp 38.278 per kg.
Abdullah juga berharap agar pemerintah memberikan bansos kepada para pedagang kecil di pasar-pasar tradisional. Saat ini, omzet mereka belum sepenuhnya pulih dan bakal terimbas oleh kenaikan harga BBM. Selain itu, untuk menekan lonjakan harga pangan di pasar-pasar tradisional, pemerintah juga dapat memberikan subsidi distribusi terhadap pangan pokok penting.