Pemerintah menyiapkan sejumlah langkah untuk melepaskan Indonesia dari ketergantungan terhadap kedelai impor. Kini petani menunggu komitmen perlindungan harga, penyerapan, dan dukungan memacu produksi terealisasi.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
Rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (19/9/2022), menelurkan keputusan yang jelas tentang pengembangan kedelai. Intinya, guna melepas ketergantungan Indonesia pada kedelai impor, petani kedelai di dalam negeri jangan sampai rugi.
Pemerintah menyiapkan sejumlah langkah untuk melepaskan Indonesia dari ketergantungan terhadap kedelai impor. Langkah ini mencakup penentuan harga beli di tingkat petani, penggunaan bibit dengan produktivitas tinggi, hingga perluasan areal tanam kedelai (Kompas, 20/9/2022).
Salah satu pesan Presiden, sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, adalah membuat harga dalam tingkatan yang tidak merugikan petani. Pemerintah menyiapkan skema, termasuk penugasan kepada badan usaha milik negara (BUMN), agar petani mau menanam kedelai lagi.
Sementara untuk mendongkrak produktivitas kedelai, pemerintah mengizinkan penggunaan bibit hasil rekayasa genetika (genetically modified organism/GMO), situasi yang sebelumnya abu-abu dan ambigu. Sebab, selama ini petani dilarang menanam kedelai transgenik, tetapi kedelai yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tahu dan tempe umumnya merupakan produk transgenik.
Dengan mengizinkan pemakaian bibit GMO, produktivitas kedelai di dalam negeri diharapkan naik dari rata-rata 1,6-2 ton per hektar saat ini menjadi 3,5-4 ton per hektar. Pemerintah juga menargetkan perluasan areal tanam kedelai menjadi 1 juta hektar dalam kurun 2-3 tahun ke depan. Salah satunya melalui sistem penanaman tumpang sari dengan jagung.
Sederet rencana itu terkesan ideal guna mendongkrak produksi kedelai. Sebab, Indonesia terjebak makin dalam di lubang ketergantungan kedelai impor, porsinya mencapai sekitar 90 persen dari total kebutuhan yang mencapai 2,4-3 juta ton per tahun.
Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina merupakan negara utama sumber impor kedelai Indonesia. Selama tahun 2015-2019, impor dari ketiga negara itu mencakup lebih dari 95 persen kedelai yang diimpor Indonesia.
Tak menguntungkan
Kedelai adalah satu dari tiga komoditas ”emas” di sektor pangan yang berulang menjadi sasaran program pemerintah. Kabinet Reformasi di era Presiden BJ Habibie, misalnya, mengusung program Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, dan Jagung (Gema Palagung) tahun 1998. Sementara Kabinet Kerja di era Presiden Joko Widodo mengusung program Upaya Khusus Padi Jagung Kedelai (Upsus Pajale) tahun 2015.
Kedelai juga punya instrumen regulasi yang relatif lebih lengkap dibandingkan komoditas lain. Guna melindungi petani, misalnya, ada Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2017 tentang Penugasan kepada Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Regulasi ini mengamanatkan Bulog untuk menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga di tingkat konsumen dan produsen.
Akan tetapi, bukannya makin mandiri, Indonesia justru semakin bergantung pada kedelai impor. Setelah mencapai angka tertinggi, yakni 1,86 juta ton tahun 1992, produksi kedelai nasional terus turun menjadi kurang dari 0,4 juta ton tahun lalu. Sementara impornya naik dari sekitar 300.000 ton tahun 1985 menjadi 2,49 juta ton tahun lalu.
Rasio ketergantungan Indonesia pada kedelai impor terus naik, yakni dari 70,11 persen tahun 2015 menjadi 86,39 persen pada tahun 2019. Kenaikan itu sejalan dengan rasio kecukupan dari produksi dalam negeri yang turun dari 29,91 persen (2015) jadi 13,71 persen (2019) serta penurunan produksi dari 963.183 ton (2015) jadi 424.189 ton (2019).
Kenapa demikian? Oleh karena tidak menguntungkan, petani meninggalkan kedelai dan beralih ke komoditas lain. Dengan jagung, misalnya, petani lebih tertarik menanam jagung. Sebab, dengan harga jagung yang hampir sama dengan kedelai, petani bisa memanen 6-7 ton jagung dari 1 hektar lahan, sementara kedelai hanya 1,6 ton.
Tak hanya dengan komoditas lain, kedelai hasil panen petani yang ongkos produksinya sekitar Rp 10.000 per kilogram juga harus bertarung dengan kedelai impor yang harganya hanya Rp 7.000 per kilogram atau bahkan lebih murah. Padahal, selain kebijakan perdagangan dan tarif masuk yang dinilai longgar, harga kedelai impor tidak mencerminkan harga sesungguhnya karena subsidi oleh pemerintah di negara asal.
Oleh karena itu, tanpa dukungan kebijakan, kedelai lokal akan tetap sulit bersaing dengan kedelai impor. Maka, jaminan harga dan penyerapan serta dukungan memacu produktivitas dari pemerintah akan sangat membantu mereka. Setelah berulang gagal dalam sederet program, harapan tumbuh dari komitmen yang disampaikan pemerintah. Kini petani kedelai menunggu komitmen terealisasi.