Penentuan Harga Beli Jadi Langkah Lepas Ketergantungan Impor Kedelai
Penentuan harga beli kedelai menjadi langkah pemerintah untuk melepaskan ketergantungan terhadap kedelai impor. Petani diharapkan berminat lagi menanam kedelai sehingga areal penanaman dan produksi kembali meningkat.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyiapkan sejumlah langkah untuk melepaskan Indonesia dari ketergantungan terhadap kedelai impor. Langkah ini mencakup penentuan harga beli, penggunaan bibit dengan produktivitas tinggi, hingga perluasan areal tanam kedelai.
”Presiden Joko Widodo menginginkan kedelai itu tidak 100 persen tergantung impor karena dari hampir seluruh kebutuhan yang 2,4 (juta ton) itu, produksi nasionalnya turun terus,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (19/9/2022).
Airlangga menuturkan hal tersebut seusai rapat tertutup terkait dengan tata kelola dan peningkatan produktivitas kedelai yang dipimpin Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Salah satu arahan Presiden Jokowi adalah membuat harga dalam tingkatan yang tidak merugikan petani.
”Salah satu arahan beliau adalah harganya untuk dibuat agar petani tidak dirugikan. Jadi, untuk mencapai harga itu, nanti ada penugasan daripada BUMN agar petani bisa berproduksi. Itu di harga Rp 10.000,” ujar Airlangga.
Ketika ditanya terkait BUMN yang akan menangani, Airlangga menuturkan bahwa penugasan untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai diberikan kepada Bulog. Adapun besaran Rp 10.000 adalah target harga yang waktu memulai pemberlakuannya sedang disiapkan.
Langkah kedua terkait dengan segi bibit, yakni penggunaan bibit yang GMO (genetically modified organism). ”Dengan menggunakan GMO, produksi per hektarnya bisa naik (dari) yang sekarang sekitar 1,6 ton sampai 2 ton per hektar, itu bisa menjadi 3,5 ton atau 4 ton per hektar,” kata Airlangga.
Langkah berikutnya adalah perluasan areal menjadi 300.000 hektar. ”Itu anggarannya sudah disiapkan, sekitar Rp 400 miliar, dan tahun depan akan ditingkatkan dari 300.000 hektar menjadi 600.000 hektar. Eksisting sekitar 150.000 hektar,” ujarnya.
Menurut Airlangga, angka target produksi 1 juta hektar akan dikejar dalam 2-3 tahun ke depan. Salah satu yang dilakukan adalah menumpangsarikan kedelai di perkebunan jagung.
Persoalan selama ini adalah harga kedelai yang tidak menarik dibandingkan dengan kedelai impor. ”Jadi, petani tidak bisa menanam soy beans kalau harganya di bawah Rp 10.000, sedangkan harga impor dari Amerika itu Rp 7.700, bahkan sebelumnya juga Rp 6.000,” katanya.
Areal produksi kedelai pada 2018, misalnya, mencapai 700.000 hektar, sedangkan sekarang di 150.000 hektar. ”Jadi, kalau petani disuruh milih tanam jagung atau kedelai, ya, mereka larinya ke jagung. Sekarang kita ingin supaya ada mix, tidak hanya jagung saja, tetapi ada kedelainya juga ditanam,” ujar Airlangga.
Saat menyampaikan keterangan pers seusai rapat, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menuturkan, selama ini importasi kedelai sangat besar, di atas 90 persen, karena petani lebih tertarik menanam jagung. Hal ini karena harga jagung sama dengan harga kedelai, sekitar Rp 5.000 per kilogram, padahal produksi per hektar jagung 6-7 ton, sedangkan kedelai hanya 1,5 juta ton.
”Seperti itulah, tetapi kemudian Bapak Presiden tadi perintahnya (lalu) rakyat dapat apa? Kira-kira begitu. Oleh karena itu, Bapak Presiden mengatakan, ’Impor memang harus dilakukan, tapi sepanjang bisa ditanam maksimal, maka tanam sebanyak-banyaknya dan beli yang ditanam oleh rakyat. Tentukan harganya agar rakyat bisa kembali tertarik menanam kedelai’,” kata Syahrul.
Oleh karena itu, Bapak Presiden mengatakan, ’impor memang harus dilakukan, tapi sepanjang bisa ditanam maksimal, maka tanam sebanyak-banyaknya dan beli yang ditanam rakyat. Tentukan harganya agar rakyat bisa kembali tertarik menanam kedelai’.
Menurut Mentan, hal ini adalah sebuah keputusan yang sangat strategis. ”Dan, saya yakin tadi ada ancar-ancar angka yang sudah disebutkan dan angka itu sudah sangat luar biasa untuk petani kita. Tapi, tentu saja ini akan didahului rakor Pak Menko (Perekonomian) untuk menetapkannya,” kata Syahrul.
Syahrul menuturkan, penetapan harga beli oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian akan memastikan harga kedelai. ”Nah, tentu saja ini akan dirapatkan atau disampaikan oleh Menko (Perekonomian). Dengan demikian, petani betul-betul siap untuk menanam dan pemerintah menjamin harga beli, khususnya untuk kedelai,” ujarnya.
Secara umum, Syahrul menuturkan, harga kedelai diharapkan memperhitungkan biaya produksi sehingga akhirnya para petani yang kemarin beralih dari kedelai ke jagung dan lain-lain mau kembali menanam kedelai.
Terkait dengan perbaikan varietas kedelai, Syahrul menuturkan dapat menggunakan GMO dan kalau perlu menggunakan bibit impor. ”Dan, tentu mempersiapkan bibit-bibit nasional atau lokal dengan kualitas tinggi. Artinya, selama ini (produktivitas) kedelai, misalnya, hanya 1,5 ton sampai 2 ton, diharapkan kita bisa mendapatkan varietas yang mampu di atas 3 ton sampai 4 ton per hektar,” katanya.
Ditemui seusai rapat tertutup, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menjelaskan, Presiden Jokowi meminta petani kedelai tidak perlu disulitkan dengan urusan pemasaran, tetapi cukup memproduksi sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, diperlukan penyerapan dengan harga yang menguntungkan petani. Hal ini bisa dilakukan Badan Pangan Nasional atau BUMN.
Hal ini sudah diterapkan di China, Vietnam, dan Thailand. Dengan demikian, beras, jagung, dan kedelai jelas penyerapan ataupun harganya. ”Kalau kita berlebih, kan, bisa diekspor oleh Badan Pangan atau BUMN,” ujar Zulkifli.
Zulkifli mengaku bahagia dengan keputusan tersebut. Sebab, katanya, petani akan berlomba menanam kedelai dan memiliki jaminan pembelian dan jaminan harga.
Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menjelaskan, fasilitas distribusi ditangani pemerintah daerah melalui 2 persen dana transfer umum (DTU). Namun, Presiden juga meminta untuk mobilisasi stok yang besar-besar agar ditangani Badan Pangan Nasional. Dengan demikian, biaya produksi dari sentra produksi ke daerah yang defisit bisa terkover.