Gejolak di Pasar Global, Peluang bagi Kedelai Lokal
Kedelai lokal, lantaran kalah kompetitif dibandingkan kedelai impor, kerap tidak menguntungkan petani. Kebijakan yang berpihak diperlukan agar petani bersemangat menanam. Indonesia sesungguhnya punya kedelai berkualitas.
Sebenarnya, setiap kali harga kedelai impor naik, ada momentum mengentaskan kedelai lokal. Namun, segala ikhtiar yang telah ditempuh belum mampu mengimbangi besarnya tantangan. Kenyataannya, angka produksi kedelai lokal terus menyusut beberapa tahun terakhir. Upaya ekstra bersama-sama dibutuhkan agar harapan pada kedelai lokal tidak layu.
Pada Rabu (23/2/2022) sore, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Hadi (55) duduk di samping gerobak ketoprak miliknya. Begitu pembeli datang, seperti biasa, ia menyiapkan piring dan bahan-bahan ketoprak, termasuk kacang. Sekilas tidak ada yang berbeda. Namun, saat membuka tutup wajan, bukan tahu yang ada di sana, melainkan bakwan.
”Sudah tiga hari ini (pasokan) tahu kosong. Jadi, diganti bakwan. Memang banyak pembeli yang tanya, tetapi kebanyakan sih tidak masalah (kalau tahu) diganti bakwan. Katanya, besok (Kamis, 24/2), juga tahu ada lagi,” ujar Hadi.
Baca Juga: Produksi Ditarget 1 Juta Ton, Kementan Libatkan ”Off-taker”
Hanifah (42), warga Bendungan Hilir, Jakarta, memaklumi para penjual makanan tidak menyediakan tahu dan tempe waktu itu. Sebab, saat ke pasar pun ia tidak menemukan pedagang tahu dan tempe yang berjualan. Bagi dia, tak terlalu bermasalah. Sebab, mogok jualan hanya berlangsung tiga hari. Ia hanya berharap, jika harga tahu dan tempe harus naik, kenaikannya tidak terlalu tinggi.
Kelangkaan tahu dan tempe, seperti yang dirasakan Hadi dan Hanifah, adalah imbas dari mogok produksi dan dagang produsen. Tak hanya di Jakarta dan sekitarnya, mogok serupa terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Aksi itu merupakan respons dari meroketnya harga kedelai impor, yakni dari sekitar Rp 9.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 12.000 per kg. Para produsen tahu dan tempe mengaku rugi dengan kenaikan harga bahan baku itu.
Ketua Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta Sutaryo memastikan, tahu dan tempe beredar lagi pada Rabu (23/2) malam atau Kamis (24/2). Namun, harganya akan naik sekitar 20 persen. Poin utama yang ingin disuarakan Puskopti adalah pembenahan tata niaga kedelai. ”(Fluktuasi harga) Selalu seperti ini setiap tahun, sejak tahun 2008. Pemerintah harus mengatur kedelai,” kata Sutaryo.
Situasi tersebut menggambarkan tingginya ketergantungan Indonesia pada kedelai impor. Saat ini, kedelai impor memenuhi sekitar 90 persen kebutuhan kedelai di dalam negeri. Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, rasio ketergantungan terhadap impor (IDR) kedelai Indonesia meningkat dari 70,11 persen pada 2015 menjadi 86,39 persen pada 2019.
Bagaimana kontribusi kedelai lokal? Menurut data Kementerian Pertanian, produksi kedelai nasional pada 2021 hanya sebesar 215.000 ton. Sementara volume impor kedelai pada 2021, seperti disampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, di sebuah acara di DI Yogyakarta, beberapa waktu lalu, mencapai 2,46 juta ton.
Selain produksi yang terbatas, spesifikasi kedelai lokal kerap kali dinilai tidak cocok untuk diolah, terutama untuk tempe. Sementara sebagian besar petani sudah terbiasa dengan penanaman varietas kedelai dengan karakter biji berukuran kecil yang lebih cocok untuk pembuatan tahu. Sementara biji kedelai impor cenderung berukuran besar.
Begitu juga dari segi harga. Dalam mekanisme pasar, kedelai impor, yang menggunakan hasil rekayasa genetika (GMO), secara umum lebih murah dibandingkan dengan kedelai lokal, tetapi cocok dengan kebutuhan produsen tahu tempe. Padahal, kedelai lokal pun berkualitas dan dapat memenuhi keinginan pasar, selama varietasnya sesuai serta dibudidaya dengan tepat.
Kedelai lokal, lantaran selalu kalah kompetitif dibanding kedelai impor, kerap kali tidak menguntungkan petani, terlebih saat panen raya. Harga kedelai lokal bisa jatuh hingga di bawah Rp 6.000 per kg. Kondisi itu pula yang membuat para petani cenderung tidak tertarik menanam kedelai dan memilih menanam tanaman palawija lain.
Sejak lama
Kebutuhan kedelai dalam negeri memang sejak dulu tidak dapat dipenuhi dengan kedelai produksi dalam negeri. Berdasarkan catatan Kompas, kebutuhan kedelai nasional pada 1983, baik untuk konsumsi manusia maupun ternak, mencapai 1,32 juta ton. Adapun produksi dalam negeri mencapai sekitar 700.000 ton. Artinya, Indonesia mesti mengimpor 620.000 ton kedelai.
Swasembada kedelai sebenarnya kerap diupayakan, salah satunya pada 1986. Namun, kebutuhan kedelai pada tahun itu tercatat 1,3 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri hanya 900.000 ton sehingga dilakukan impor sekitar 400.000 ton (Kompas, 17 September 1986).
Pada awal 1990-an, produksi kedelai Indonesia terus meningkat. Pada 1991, produksi mencapai 1,5 juta ton, sedangkan kebutuhan 2,2 juta ton (impor 700.000 ton). Sementara pada 1992 produksi tercatat 1,8 juta ton, tetapi kebutuhan sebesar 2,4 juta ton (impor 600.000 ton). Kelemahan kedelai dalam negeri antara lain pada pembenihan dan kendala virus (Kompas, 5 Juli 1993).
Baca Juga: Target Kopong Swasembada Kedelai
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi kedelai lokal pada 1992 mencapai 1,86 juta ton. Angka produksi kedelai pada 1992 merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Hingga tahun 2000, produksinya masih di atas 1 juta ton, tetapi setelah itu produksi kedelai selalu lebih rendah dari sebelumnya.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatut Sumbogodjati, dalam webinar ”Integrated Farming Berbasis Kedelai”, Rabu (10/11/2021), mengatakan, produksi kedelai lokal mencapai 1,86 juta ton pada 1992 karena sejumlah kebijakan yang kala itu turut mendukung.
”Bahkan, pajak impor sampai dengan 30 persen dan satu-satunya importir yang diperbolehkan waktu itu Bulog. Namun, (setelah itu), dampak dari perdagangan bebas, ada peraturan-peraturan di dunia yang harus disepakati. Semua pun boleh mengimpor, maka banjir (kedelai impor) sehingga produksi kedelai lama-lama terus turun,” katanya.
Tiga tahun terakhir, produksi kedelai terus menurun, yakni 424.190 ton (2019), 290.250 ton (2020), dan 215.000 ton (2021). Di sisi lain, importasi kedelai tak terelakkan. Namun, situasi global, seperti faktor cuaca, China yang memborong kedelai untuk industri ternak, serta ketegangan Rusia-Ukraina, membuat harga kedelai internasional terus meningkat.
Menurut TradingEconomics, pada Kamis (24/2) harga kedelai dunia di bursa berjangka menyentuh 17,4 dollar AS per gantang, melewati harga tertinggi tahun lalu yang 16,61 dollar AS per gantang, yakni pada 12 Mei 2021.
Dalam situasi global yang tak menentu, panggung kedelai lokal pun kembali terbuka. Hal itu yang coba ditangkap Kementerian Pertanian yang mendapat permintaan 1 juta ton kedelai lokal untuk kebutuhan produksi tahu dan tempe.
Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2020-2024 (Revisi I), tertera target produksi kedelai 0,3 juta ton pada 2022, lalu 0,32 juta ton pada 2023, dan 0,33 juta ton pada 2024. ”Namun, kami menargetkan 1,04 juta ton pada 2022, seperti yang diinginkan pengusaha tahu tempe,” kata Direktur Aneka Kacang dan Umbi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Yuris Tiyanto.
Dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Kementerian Pertanian mengembangkan kedelai di lahan seluas 52.000 hektar. Sementara program dengan dana non-APBN, yakni melalui program kredit usaha rakyat (KUR), menyasar 600.000 hektar dan tersebar di 14 provinsi. Guna menjamin hasil petani terserap, off-taker atau penjamin serapan dilibatkan dalam program itu.
Bersaing
Selain tak kompetitif dibandingkan dengan kedelai impor, kedelai lokal juga harus bersaing dengan tanaman palawija lainnya. Apalagi, selama ini, sebagian besar kedelai ditanam di lahan yang sama dengan padi atau jagung.
Berdasarkan survei Panel Petani Nasional 2021 dalam analisis kelayakan usaha tani kedelai di lahan sawah tadah hujan, kedelai menjadi komoditas terendah dalam perbandingan pendapatan, yakni sebesar Rp 1,23 juta. Pendapatan dari jagung merupakan yang tertinggi, yakni Rp 4,19 juta, disusul kacang tanah Rp 4,21 juta, dan kacang hijau Rp 1,88 juta.
Selain kurang menguntungkan, tidak ada upaya mengamankan harga di tingkat petani sehingga mereka sulit menjual karena harga kerap kali jatuh. Fluktuasi tersebut membuat petani meninggalkan komoditas itu. Hal itu akhirnya membuat produksi kedelai terus menyusut.
Ketua Umum Gerbang Tani Indonesia dan Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad menuturkan, persoalan utama kedelai ialah lahan. Lantaran merupakan tanaman palawija, sebagian besar ditanam di lahan kering.
Di samping itu, kedelai dan jagung ditanam di lahan yang sama. ”Jadi, kalau luasan produksi jagung meningkat, bisa dipastikan luasan tanam kedelai menurun. Begitu juga sebaliknya. Insentif harga menjadi salah satu instrumen penting. Sebenarnya, kemampuan produksi kita bisa 1,5 juta ton, tetapi harus ada keseriusan, seperti terkait lahan, insentif, dan jaminan harga,” ujarnya.
Guru Besar Ekofisiologi Tanaman IPB University Munif Ghulamahdi mengatakan, berbagai varietas kedelai lokal kerap dikembangkan para peneliti dan berhasil. Namun, problem yang mendera ialah persoalan lahan dan tidak adanya pengamanan harga. Apabila kondisi ini dibiarkan, lama-lama petani kedelai berpotensi habis.
Penanaman kedelai di lahan yang intensitas tanamnya baru satu kali dapat didorong. ”(Potensi menanam) Di rawa besar. Kalau produktivitas padi sudah 4 ton per hektar, palawijanya bagus, memang pH (keasaman) jadi rendah, tetapi kalau sudah dibudidayakan lama-lama akan baik. Demikian juga menjadi tanaman sela di perkebunan kelapa sawit. Mesti ada keberpihakan ke arah sana,” tuturnya.
Petani kedelai, kata Munif, harus diperhatikan dan tidak boleh dibiarkan. Ditambah dengan adanya pengamanan harga, para petani akan bersemangat menanam kedelai. Kolaborasi dengan industri juga bisa dilakukan agar berkembang.
Indonesia sesungguhnya tak kekurangan kedelai-kedelai berkualitas.
Indonesia sesungguhnya tak kekurangan kedelai-kedelai berkualitas. Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, misalnya, terdapat Rumah Kedelai Grobogan di bawah dinas pertanian setempat. Rumah Kedelai Grobogan menjadi tempat edukasi masyarakat dan petani terkait varietas kedelai lokal. Siapa pun dapat mengikuti pelatihan budidaya kedelai lokal.
Adapun kedelai varietas Grobogan merupakan pemurnian kedelai lokal Malabar Grobogan. Dengan kandungan protein 43,9 persen, varietas itu beradaptasi baik pada kondisi lingkungan, seperti pada musim hujan dan beririgasi baik. Polong masaknya tak mudah pecah dan daun luruh 95-100 persen saat panen (Kompas, 5 Agustus 2019).
Di Sukabumi, Jawa Barat, terdapat produk tempe Azaki, dengan bahan baku kedelai lokal, yang telah menembus pasar ekspor. Ekspor kedua dilakukan pada 16 Oktober 2021, yakni sebanyak 13,8 ton ke Jepang. Itu implementasi dari penandatanganan kontrak pesanan tempe antara Kobe Bussan Co Ltd dengan PT Arumia Kharisma Indonesia.
Sementara di Desa Cibulan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, kedelai lokal, varietas anjasmoro dan grobogan, ditanam di lahan bekas galian C. Hal itu dilakukan sejak 2018. Meski saat ini masih dalam skala desa, mereka berkomitmen terus mengembangkannya demi kontribusi kepada kedaulatan kedelai lokal.
Potensi-potensi tersebut menjadi bagian dari upaya pengembangan kedelai lokal yang semakin masif, dengan kualitas yang terjaga. Keseriusan dan keberpihakan kepada petani kedelai krusial. Agar momentum tak sekadar ”numpang lewat”.