Usaha Keras Melepas Ketergantungan Kedelai Impor
Ketergantungan akut pada kacang kedelai butuh solusi. Sebagian petani di Jabar nekat menanam sendiri. Sebagian lain mencari substitusinya. Kreativitas kembali menjadi kunci.

Rima Darmayanti (kiri) dan Wati Kuswati menunjukkan produk olahan kedelai, seperti susu bubuk dan kacang goreng di Desa Cibulan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Senin (21/2/2022).
Sebagian pelaku usaha di Jawa Barat tidak ingin menyerah menghadapi naik turun harga kedelai. Dari bekas lahan tambang di Kuningan, gang-gang sempit di Kota Bandung, hingga dataran tinggi Sumedang, mereka berjuang tetap berdiri di tengah ketergantungan kedelai impor.
Rima Darmayanti (27) dan Wati Kuswati (40) tersenyum membuka lemari kaca di ruangan unit pengolahan Bumi Kedelai Cibulan (BKC), Senin (21/2/2022). Dari etalase itu tampak susu bubuk, tepung, kacang goreng, hingga kerupuk stik. Semuanya berbahan dasar kedelai.
Berbagai produk itu dikemas rapi, bisa dibuka dan ditutup rapat. Nomor produk industri rumah tangga atau PIRT, nomor kontak, dan akun Instagram @Bumi_Kedelai_Cibulan menempel di bungkusannya. Tampak pula merek “Dapur BKC” plus gambar kartun koki perempuan.
“Sayang banget, kukis kedelainya sudah habis. Ini mau bikin lagi, tapi enggak ada minyak goreng. Padahal sudah banyak yang antre,” kata Rima.

Kedelai lokal dhasil panenan di Desa Cibulan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Senin (21/2/2022). Desa tersebut mengubah bekas lahan galian pasir menjadi kebun kedelai. Hasil panen kedelai pun diolah menjadi aneka produk.
Selain minyak goreng, bahan kukis lainnya adalah telur, teringu, gula, dan kedelai yang sudah dihaluskan. Setelah menggiling dan menyangrai kedelai serta mencampur dengan bahan lain, adonan dimasukan ke oven menghasilkan kukis bertekstur lembut. Tidak heran, kukis ini menjadi produk terlaris.
Baca juga : Hei...Mari Cicipi Nikmatnya Tahu Rasa Keberagaman Ini
Ramadhan tahun lalu, misalnya, tujuh ibu-ibu di unit pengolahan BKC sibuk bikin kukis dari pagi hingga malam. Saat itu, mereka bisa memproduksi 120 stoples sehari. Setiap stoples berukuran setengah kilogram.
Pada hari biasa, ibu-ibu itu hanya membuat 50 stoples setiap dua pekan. Setiap stoples dijual Rp 30.000, lebih mahal dibandingkan tempe, sekitar Rp 5.000 per 10 sentimeter. “Kami pakai kedelai lokal yang harganya lebih mahal,” ungkap Rima yang mengungkapkan alasan mereka memilih memproduksi kukis dibandingkan tempe dan tahu. Kedelai Cibulan dipatok Rp 8.500- Rp 9.000 per kg.
Kini, harga kedelai sudah menyentuh Rp 12.000 per kg, melonjak dari Rp 7.000 per kg.
Guru taman kanak-kanak itu tidak tahu pasti alasan Indonesia mengimpor kedelai yang bisa tumbuh di desanya. Padahal, dari panen kedelai di Cibulan, ibu satu anak ini meraup untung. Ia bisa menerima Rp 200.000- Rp 600.000 per bulan dari mengolah kedelai. Penghasilan itu bisa membantu keuangan keluarga yang selama ini ditopang suaminya yang merantau membuka warung kelontong di Jakarta.
Salah satu inisiator BKC, Dian Mardiana, mengatakan, produk olahan kedelai turut membangun kemandirian ibu-ibu. Mereka kerap ikut serta dalam pameran UMKM hingga belajar pengolahan kedelai di Grobogan, Jawa Tengah. Hasilnya memuaskan. Produk olahan BKC tersebar hingga Bandung dan Jakarta.
“Bahkan, ada permintaan dari Qatar. Saya pikir itu penipuan. Ternyata, ada yang beneran datang ke sini. Mereka minta 10.000 stoples, tapi kami belum sanggup bahan dan membuatnya,” ungkapnya.
Lebih dari sekadar rupiah, Rima, Wati, dan warga lainnya ikut mengubah wajah desa. Hampir dua dekade, lahan di Cibulan dikeruk untuk tambang pasir. Tebing setinggi 30 meter menjadi saksi lokasi galian C. Dari 687 hektar lahan desa, 513 hektar di kawasan berjarak sekitar 56 kilometer dari Cirebon itu pernah jadi area tambang.

Bibit kedelai siap ditanam di lahan bekas galian pasir di Desa Cibulan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Kamis (21/2/2019). Pemerintah desa setempat menargetkan menanam kedelai seluas 200 hektar di bekas galian pasir tahun ini.
Hingga pada 2018, Kepala Desa Cibulan Iwan Gunawan mengubahnya menjadi lahan kedelai. Warga tidak harus menyewa lahan itu. Bahkan, pemdes memberikan insentif, bibit, hingga pupuk agar petani menanam kedelai.
Dari 75 hektar, lanjut Iwan, kini lahan kedelai di Cibulan 200 hektar. Dari 1 hektar dapat menghasilkan lebih dari 1 ton kedelai. Masa tanam kedelai dimulai Januari hingga Agustus. Periode September-Desember, tanah digunakan untuk kacang tanah.
“Sekarang, kami menyiapkan 25 hektar untuk pembibitan. Rencananya, bibit kedelai ini akan disebarkan ke daerah lain di Kuningan. Untuk hadapi ketergantungan, kita harus tanam sendiri,” ungkapnya.
Kedelai Cibulan turut berkontribusi dalam produksi sekitar 150.000 ton kedelai di Jabar per tahun, juga mengikis ketergantungan impor. Sekitar 80 persen dari 2,7 juta ton kebutuhan kedelai di Indonesia dari impor.
Celakanya, produksi kedelai dunia juga berkurang 8,7 juta ton menjadi 363,9 juta ton. Persoalan cuaca, kekurangan tenaga kerja, hingga pembatasan sosial turut memengaruhi kenaikan harga kedelai.
Kini, harga kedelai sudah menyentuh Rp 12.000 per kg, melonjak dari Rp 7.000 per kg. Akibatnya, produsen tempe dan tahu di sejumlah daerah mogok dan lesu karena harga bahan baku sulit diserap pasar. Kejadian sudah berkali-kali.
Baca juga : Iwan Gunawan, Menyulap Lahan Kritis Jadi Lahan Kedelai

Salah satu pabrik pembuatan Tahu Cibuntu yang kosong di Jalan Aki Padma, Babakan Ciparay, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (21/2/2022).
Kelesuan itu terlihat di sentra Tahu Cibuntu Kota Bandung, Senin. Tidak ada riuh bunyi pabrik tahu yang biasa terdengar di Jalan Aki Padma, Babakan Ciparay, Kota Bandung itu. Keramaian di tempat legendaris sejak 50 tahun lalu itu hilang, seperti kedelai berharga murah yang sulit didapat.
Cetakan-cetakan tahu teronggok tidak tersentuh. Tempat adonan di sejumlah pabrik tidak terpakai. Sejumlah pabrik tertutup total. Pintu sebagian pabrik masih terbuka. Namun, tiada aktivitas di dalamnya.
“Perajin mogok kerja. Ini bentuk protes karena harga kedelai belum terkendali. Kalau diteruskan kami pasti merugi,” kata Iman Rahmat Infantoko (30), perajin. Tempat usahanya menjadi satu dari 50 pabrik di Cibuntu.
Iman berujar, sebulan terakhir ia terpaksa membeli kedelai Rp 11.000 per kg atau sekitar Rp 2.000 per kg lebih mahal dari sebelumnya. Dampaknya terasa karena ia butuh tiga kuintal kedelai per hari. Pendapatannya anjlok hingga nyaris 50 persen.

Pekerja membungkus tahu cibuntu di RW 07 Kelurahan Babakan, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (9/2/2020). Sentra pembuatan tahu di kawasan ini telah berdiri sejak lebih dari 50 tahun lalu.
Meski ada pro-kontra terkait mogok ini, Iman mengatakan, perajin bukan tanpa usaha mempertahankan bisnis. Penjualan ampas tahu, misalnya, menghasilkan Rp 700.000 per bulan. Konsumennya peternak sapi di Lembang. Namun, akibat kenaikan harga, usaha sampingan itu tidak bisa berjalan.
“Selama tiga hari mogok, kami juga mendiskusikan rencana kenaikan harga. Harapannya, tetap bisa usaha tanpa khawatir pendapatan berkurang,” ujarnya.
Saat mogok dan kenaikan harga melanda, dampaknya bisa berlipat ganda. Perajin dan pedagang belum tentu untung akibat potensi menurunkan daya beli. Keandalan tahu-tempe menjadi salah satu sumber protein terbaik juga sulit dirasakan warga.
Baca juga : Atasi Ketergantungan Impor Kedelai, Kacang Koro Pedang Dikembangkan di Sumedang
Koro pedang
Keresahan itu didengar para petani petani kacang koro pedang. Jauh hari sebelum hal ini terjadi, mereka berharap kepercayaan. Lewat tangan dan hasil pertaniannya, mereka yakin bisa ikut menekan ketergantungan kedelai impor.
Keberadaan lahan kacang koro pedang lebih dari 50 hektar di Sumedang, kata Ketua Asosiasi Koro Pedang Nasional Agus Somamihardja, bisa menjadi awal yang baik.
Penanaman perdana di lahan itu dihadiri Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, akhir Januari 2022. Ke depan, pengembangannya akan dilakukan hingga 1.000 hektar. Targetnya, dari 1 hektar lahan bisa menghasilkan 5 ton per kacang koro pedang.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki (tengah) menanam kacang koro pedang dalam acara Penanaman Kacang Koro Pedang Bersama Koperasi Paramasera di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (24/01/2022).
Tingkat produktivitas komoditas ini hampir tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan kedelai. Untuk mencapai 1 juta ton koro pedang dibutuhkan lahan 200.000-250.000 hektar. Kacang ini bisa ditanam di beragam jenis tanah, seperti lahan kering, lempung, liat, dan berpasir.
“Kacang koro pedang bisa menjadi pengganti kacang kedelai,” kata Teten.
Agus mengapresiasi komitmen pemerintah mendukung kacang koro pedang sebagai pengganti kedelai. Namun, semua itu tetap butuh dukungan masyarakat hingga permodalan perbankan.
“Jumlah anggota kami lebih dari 80 orang dan tersebar dari Bogor hingga Sumedang. Sebagian di antaranya petani kacang koro pedang, dan ada juga yang perajin,” kata dia.
Enung Nuryanti (49), salah satu perajin kacang koro pedang, mulai melihat ketertarikan masyarakat kepada olahannya. Tidak hanya menjadi tempe, koro bisa diolah menjadi keripik hingga tepung.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki (baju putih di depan) menanam kacang koro pedang di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (24/1/2022). Komoditas itu diharapkan menjadi alternatif pengganti kedelai.
Warga Dusun Parumasan, Desa Paseh Kaler, Kecamatan Paseh, Sumedang ini mampu memproses 1,5 kuintal kacang dalam sebulan. Enung mendapatkannya dari para petani di sekitar Sumedang.
“Tempe koro pedang sudah dijual di supermarket Rp 8.000 per 320 gram. Ada juga keripik Rp 15.000 per 250 gram. Koro punya peluang mengganti kedelai. Jangan sampai setiap harga kedelai naik, banyak pihak jadi ribut,” ujarnya.
Ketergantungan pada kedelai hingga kini masih tinggi tapi minim solusi. Kreativitas semua pihak diperlukan bila tidak ingin sektor usaha rakyat dan penopang gizi bangsa ini terus terpuruk.
Baca juga : Jangan Manja dengan Rasa, Kembali ke Tempe Koro Saja