Rasio ketergantungan Indonesia pada kedelai impor terus naik hingga lebih dari 86 persen. Kemudahan dan harga murah nyatanya membuai Indonesia dalam ”pangkon”. Semakin tak berkutik ketika terjadi gejolak harga di dunia.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
Rasio ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor terus meningkat tiga dekade terakhir. Lima tahun terakhir, rasionya mencapai titik kritis, sejalan dengan semakin turunnya rasio kecukupan produksi dalam negeri. Situasinya membuat produsen dan konsumen tahu tempe semakin tidak bisa berkutik. Mati kutu oleh gejolak harga dunia.
Mogok massal produksi tahu tempe jadi semakin intens. Seperti awal tahun lalu, para produsen dan pedagang tahu tempe mogok lagi pekan lalu sebagai bentuk protes atas tingginya harga kedelai. Harga bahan baku tahu tempe itu melonjak dari Rp 8.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 12.000 per kg seiring lonjakan harga kedelai di pasar global tiga bulan terakhir.
Pekan lalu, harga kedelai di bursa berjangka Chicago mencapai puncak terbarunya, yakni 16,68 dollar AS per gantang. Angkanya cenderung bergerak naik di tengah kekhawatiran yang berlanjut soal nasib panen kedelai di negara-negara produsen utama. Argentina dan Brasil, misalnya, menghadapi situasi kering yang tidak normal dengan pola La Nina yang berdampak pada kualitas dan kuantitas tanaman.
Akibatnya, laporan panen bulanan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) terbaru mematok panen kedelai Brasil pada angka 134 juta ton, turun dari 139 juta ton pada proyeksi Januari. Sementara panen di Argentina diperkirakan 45 juta ton atau turun dari proyeksi bulan sebelumnya 46,5 juta ton. Laporan itu juga menunjukkan pasokan kedelai Amerika Serikat yang lebih kecil di tengah meningkatnya permintaan.
Amerika Serikat, Argentina, dan Brasil merupakan sumber utama kedelai yang diimpor Indonesia. Selama kurun tahun 2015-2019, porsi kedelai dari tiga negara itu lebih dari 95 persen kedelai yang diimpor Indonesia. Rinciannya, 36,51 persen kedelai berasal dari AS, lalu 36,18 persen dari Argentina, dan 23,27 persen dari Brasil. Oleh karena itu, situasi yang terjadi di tiga negara itu amat rentan berdampak padapasar kedelai di dalam negeri.
Apalagi, rasio ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor (impor dependency ratio) terus naik, yakni dari 70,11 persen tahun 2015 menjadi 86,39 persen pada tahun 2019. Kenaikan itu sejalan dengan rasio kecukupan dari produksi dalam negeri (self sufficiency ratio) yang turun dari 29,91 persen (2015) menjadi 13,71 persen (2019) serta penurunan produksi dari 963.183 ton (2015) menjadi 424.189 ton (2019).
Tak tertarik
Kenapa produksi kedelai nasional terus turun meski program demi program peningkatan produksi dijalankan pemerintah? Kabinet Reformasi di era Presiden BJ Habibie, misalnya, mengusung program Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, dan Jagung (Gema Palagung) tahun 1998. Sementara Kabinet Kerja di era Presiden Joko Widodo mengusung program Upaya Khusus Padi Jagung Kedelai (Upsus Pajale) tahun 2015.
Akan tetapi, bukannya makin mandiri, Indonesia justru semakin bergantung pada kedelai impor. Setelah mencapai angka tertinggi, yakni 1,86 juta ton tahun 1992, produksi kedelai nasional terus turun menjadi kurang dari 0,4 juta ton tahun lalu. Sementara impornya naik dari sekitar 300.000 ton tahun 1985 menjadi 2,49 juta ton tahun lalu.
Kisah sejumlah anggota Kelompok Tani Pangudi Makmur di Grobogan, Jawa Tengah, bisa jadi mewakili cerita petani kedelai di Tanah Air. Mereka biasanya menanam kedelai setelah dua kali menanam padi. Namun, harga kedelai kerap anjlok sampai Rp 6.000 per kilogram (kg) saat panen. Padahal, harga di tingkat petani idealnya di atas Rp 10.000 per kg. Situasi kurang menguntungkan itu yang membuat petani beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan seperti jagung dan kacang hijau.
Petani di Banyuwangi, Jawa Timur, juga meninggalkan kedelai dan beralih ke jeruk atau buah naga. Dinas pertanian setempat mencatat, luas lahan kedelai di Banyuwangi berkurang dari 36.068 hektar tahun 2011 menjadi 5.247 hektar tahun 2020. Kedelai impor yang lebih murah ”merangsek” hingga ke sentra-sentra kedelai nasional, seperti Grobogan dan Banyuwangi, dan memaksa petani mundur teratur. Bagi mereka menanam kedelai tidak menguntungkan lagi.
Harga dan insentif hasil usaha menjadi pemikat utama yang menjadi pertimbangan petani untuk menanam kedelai. Oleh karena itu, tanpa jaminan harga dan penyerapan, usaha mendongkrak produksi kedelai dalam negeri bakal sia-sia. Kegagalan sederet program pengembangan dan swasembada kedelai sejak Orde Baru hingga kini bisa jadi cermin.
Pemerintah sebenarnya memiliki instrumen untuk melindungi petani kedelai. Salah satunya melalui Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2017 tentang Penugasan Kepada Bulog Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Regulasi itu mengamanatkan Perum Bulog untuk menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga di tingkat konsumen dan produsen. Namun, implementasinya memble atau tidak berjalan sesuai harapan.
Dampaknya, kedelai impor semakin dominan. Kemudahan dan harga murah membuai Indonesia hingga menjadi pengimpor bersih (net importer) kedelai. Ketergantungannya kini telah mencapai titik kritis hingga membuat kedelai impor serupa ”pangkon” bagi Indonesia. Buaian yang mematikan kemandirian pangan.
Dalam aksara Jawa, pangkon berfungsi mematikan huruf. Setiap aksara yang diberi pangkon akan hilang atau mati vokal/suaranya. Sayangnya, tak hanya kedelai, Indonesia berpotensi masuk dalam ”pangkon” komoditas-komoditas pangan impor lain. Semakin bergantung, semakin kehilangan suara. Mati dalam pangkuan.