RI Sasar Penguasaan Teknologi dan Pengurangan Impor Bahan Baku Baterai
Meski telah memiliki nikel, Indonesia bakal masih mengimpor bahan baku baterai kendaraan listrik. Di sisi lain, Indonesia bakal kesulitan mendapatkan transfer teknologi dari para investor baterai kendaraan listrik.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam mengembangkan ekosistem baterai kendaraan listrik, Indonesia tidak hanya menyasar peningkatan ekspor, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan pengurangan konsumsi bahan bakar minyak. Indonesia juga berupaya mengurangi impor bahan baku baterai kendaraan listrik dan menguasai teknologi pembuatannya.
Saat ini, Indonesia tengah menjalankan program Pengembangan Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi. Program itu terdiri dari dua proyek, yaitu proyek Titan yang ditangani konsorsium LG Energy Solution (LGES) dengan investasi senilai 8 miliar dollar AS dan proyek Dragon yang dipegang oleh konsorsium T Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co, Ltd, (CBL) dengan investasi senilai Rp 6 miliar dollar AS .
Proyek Titan merupakan proyek pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik serta pengolahan nikel dan bahan baku batarai kendaraan listrik. Pada triwulan II-2024, proyek Titan bakal menghasilkan baterai kendaraan listrik berkapasitas total 10 giga watt hour (GWh).
Adapun proyek Dragon bakal merupakan proyek pembangunan pabrik pemurnian nikel, bahan baku baterai dan baterai daur ulang, serta pabrik baterai kendaraan listrik. Fasilitas pemurnian nikel berbasis teknologi tungku putar listrik (rotary kiln electric furnace/RKEF) dan hidrometalurgi (high pressure acid leaching/HPAL) ditargetkan kelar pada triwulan I-2025. Untuk fasilitas produksi bahan baku baterai dan baterai daur ulang serta pabrik baterai kendaraan listrik ditargerkan selesai masing-masing pada triwulan III-2025 dan triwulan I-2026.
Kedua proyek prioritas nasional itu melibatkan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk dan PT Industri Baterai Indonesia (IBC). Kedua perusahaan itu merupakan bagian dari Mind ID atau Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertambangan.
Direktur Utama IBC Toto Nugroho, Senin (12/9/2022), mengatakan, pada triwulan II-2024, proyek Titan bakal menghasilkan baterai kendaraan listrik dengan kapasitas total 10 giga watt hour (GWh). Baterai berkapasitas sebesar itu dapat digunakan untuk 3-4 juta sepeda motor listrik atau sekitar 100.000 mobil listrik.
“Hyundai bakal menjadi perusahaan otomotif pertama yang bakal memakai baterai kendaraan listrik tersebut,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat di Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat yang digelar secara hibrida.
Menurut Toto, pada awal produksi, bahan baku baterai, antara lain nikel, litium, kobalt, dan grafit, masih diimpor. Namun pada 2025-2026 nanti, Indonesia baru akan menggunakan nikel dari dalam negeri. Hal ini mengingat PT Antam, sebagai pemasok nikel, tengah merampungkan transaski izin usaha pertambangan yang ditargetkan kelar pada triwulan IV-2022 dan diproduksi pada triwulan III-2024.
Khusus untuk litium, Indonesia selama ini tidak memiliki peta persebaran dan cadangannya lantaran minim eksplorasi. Opsi yang bisa dilakukan dalam waktu dekat ini adalah mengimpor litium atau mengakuisisi tambang litium di luar negeri, seperti di Bolivia, Australia, dan sejumlah negara di Afrika.
Selain itu, lanjut Toto, Indonesia bakal mendaur ulang baterai kendaraan listrik untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku. Pembangunan pabrik baterai daur ulang itu bakal direalisasikan melalui proyek Dragon.
“Kami juga tengah mengkaji potensi kandungan litium dalam cairan panas bumi (geothermal brine), termasuk biaya produksinya. Jika potensinya cukup besar dan biaya produksinya relatif terjangkau, RI bisa memproduksi litium sendiri,” kata Toto.
Khusus untuk litium, Indonesia selama ini tidak memiliki peta persebaran dan cadangannya lantaran minim eksplorasi. Opsi yang bisa dilakukan dalam waktu dekat ini adalah mengimpor litium atau mengakuisisi tambang litium di luar negeri.
Toto juga menyebutkan, Indonesia sebenarnya ingin mendapatkan transfer teknologi pembuatan baterai kendaraan listrik dari para investor utama. Namun, hal itu tidak dapat direalisasikan karena kedua raksasa teknologi baterai tersebut masih mengambil manfaat dari hak paten.
Indonesia tidak bisa membuka teknologi itu dan memodifikasinya sehingga harus mengembangkan teknologi sendiri. Saat ini IBC telah memiliki prototipe baterai kendaraan listrik yang bakal dikembangkan.
“IBC tinggal perlu menguasai sistem menajemen baterai untuk mengembangkan teknologi pembuatan baterai kendaraan listrik sendiri. Jika menguasainya, sama saja memiliki kemampuan 85 persen produksi baterai utuh,” kata Toto.
Indonesia sebenarnya ingin mendapatkan transfer teknologi pembuatan baterai kendaraan listrik. Namun, hal itu tidak dapat direalisasikan karena kedua raksasa teknologi baterai tersebut masih mengambil manfaat dari hak paten.
Selain itu, lanjut Toto, pengembangan sumber daya manusia (SDM) di seluruh lini rantai pasok baterai kendaraan listrik sangat diperlukan, karena masih langka di Indonesia. Indonesia telah memulainya dengan mengirim 300 karyawan yang bekerja di pabrik 10 GWh Cell di Karawang, Jawa Barat, mengikuti pelatihan teknis di Korea Selatan.
Sementara itu, PT Antam ditargetkan dapat memproduksi 16 juta ton nikel per tahun untuk menyuplai bahan baku baterai kendaraan listrik proyek Titan dan Dragon. Perusahaan itu juga telah menandatangani perjanjian kerangka kerja pengembangan industri hulu-hilir baterai kendaraan listrik dan pembentukan perusahaan patungan (joint venture/JV) dengan dua konsorsium besar itu.
“Perjanjian ini bukan hanya untuk membangun pabrik pemurnian nikel, tetapi juga turun ke katoda, prekursor, baterai, dan baterai hingga baterai daur ulang. Valuasi sumber daya perusahaan juga tengah dihitung lantaran bakal menjadi modal perusahaan ke depan,” tuturnya.
Menurut Direktur Utama PT Antam, Nico Kanter, Antam dan IBC menandatangani perjanjian JV dengan konsorsium CBL dan LGES. Dalam perjanjian tersebut, kepemilikan sahan PT Antam dan IBC akan semakin mengecil sejalan dengan proses pemurnian nikel menjadi produk turunan hingga ke baterai.
Di hulu industri, kepemilikan saham PT Antam bakal sebesar 51 persen, sedangkan sisanya 49 persen milik CBL dan LGES. Ketika nikel sudah dimurnikan menjadi katoda dan prekursor, komposisi sahamnya menjadi 40 persen. “Kepemilikan saham itu akan semakin turun sampai nanti menjadi baterai kendaraan listrik. Persentasenya akan semakin mengecil,” katanya.