Menjadi Pemain Dunia Industri Baterai Kendaraan Listrik
Pada tahun 2040, industri otomotif dunia bakal bertransformasi. Kendaraan konvensional yang berbahan bakar fosil akan berganti kendaraan listrik. Bagaimana Indonesia menangkap peluang ini?
Pada tahun 2040, industri otomotif dunia bakal bertransformasi. Kendaraan konvensional yang berbahan bakar fosil akan berganti kendaraan listrik.
Sebagai penghasil nikel terbesar di dunia, Indonesia akan menjadi salah satu pemain dunia industri baterai kendaraan listrik.
Sebab, nikel menjadi salah satu bahan pokok pembuatan baterai tersebut. Setidaknya dalam jangka menengah, baterai masih menjadi komponen termahal yang mencapai separuh harga kendaraan listrik.
Sudah belasan negara dan sejumlah kota di dunia menyatakan akan menghentikan penjualan, bahkan pembuatan kendaraan konvensional pada rentang waktu 2025-2040. Jumlah mereka yang bertransformasi dipastikan bakal bertambah karena keunggulan kendaraan jenis ini.
Sebagai penghasil nikel terbesar di dunia, Indonesia akan menjadi salah satu pemain dunia industri baterai kendaraan listrik.
Diawali dengan Norwegia pada tahun 2025 dan akan diikuti Belgia setahun kemudian. Komitmen karbon netral bakal disusul AS, Inggris, Jerman, Eslandia, India, Irlandia, Israel, Belanda, Slovenia, Swedia, Denmark, dan Jepang pada 2035. Menyusul pula lima tahun berikutnya, negara-negara seperti Kanada, Mesir, Perancis, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, dan tentu saja Indonesia.
Dibandingkan kendaraan konvensional, kendaraan listrik berkinerja, berespons, bertorsi, dan berdaya lebih tinggi dengan transmisi kecepatan tunggal. Biaya perawatannya pun rendah.
Kendaraan listrik juga tidak berisik, bebas polusi, dan relatif lebih aman dengan kontrol traksi yang lebih efektif. Meski demikian, kendaraan ini masih lemah dalam hal proses pengisian listrik yang butuh waktu lama. Jarak tempuhnya pun masih lebih pendek, selain baterainya yang masih mahal.
Saat ini, hasil penjualan kendaraan listrik global yang dipelopori Tesla asal AS dan Niu asal China terus meningkat. Sepanjang tahun 2020, mobil-mobil listrik ini adalah yang terbanyak terjual di dunia: Renault Zoe, Tesla Model 3, VW ID 3, Hyundai Kona, VW Golf, Peugeot 2008, Kia Niro, Nissan Leaf, Audi E-Tron, dan BMW i3.
Untuk memperkuat persaingan kendaraan listriknya, Pemerintah China memberi subsidi bagi mereka yang memproduksi dan membeli kendaraan listrik. Regulasi dan bantuan bagi industri inipun dibantu pemerintah. Tak heran apabila produksi pabrik kendaraan listrik Niu, yakni mobil dan terutama sepeda motornya, dengan cepat melesat ke peringkat keempat dunia.
Saat ini, mobil Niu yang dikenal sebagai mobil listrik dengan akselerasi tercepat di dunia telah dilengkapi ”asisten pintar” (smart assistant) bernama Nomi yang dapat diperintah untuk membuka jendela, menyetel musik, menaikkan suhu kabin, hingga melakukan swafoto.
Bermain dari hilir
Untuk mempercepat transformasi industri otomotif, Indonesia mengawali usaha dari hilir ke hulu dengan empat pelaku utama, yakni PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT Aneka Tambang Tbk, PT Pertamina, dan PT PLN. Keempat BUMN ini tergabung dalam badan usaha Indonesia Battery Corporation (IBC) yang dibentuk pada 26 Maret 2021. Masing-masing memiliki 25 persen saham.
Menggarap bagian hilir berarti mengembangkan pasar kendaraan listrik. Sejumlah langkah yang dilakukan untuk mendorong perluasan pasar, antara lain membangun stasiun pengisian kendaraan listrik untuk umum (SPKLU) dan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik untuk umum (SPBKLU).
Sebagai catatan, pengisian baterai membutuhkan waktu panjang. Tidak demikian dengan penukaran baterai karena prosesnya hanya menukar baterai yang habis dengan baterai yang sudah terisi. Sama seperti ketika kita membeli gas tabung.
Baca juga : Momentum Mobil Listrik
Tahun 2021 pemerintah menargetkan adanya 572 SPKLU dan 3.000 unit SPBKLU. Sebagian SPKLU dan SPBKLU saat ini sudah beroperasi walaupun baru di beberapa kota besar.
SPKLU dibangun, antara lain, di SPBU dan SPBG, kantor pemerintah pusat dan daerah, tempat perbelanjaan, atau areal parkir umum. Sementara SPBKLU disediakan, antara lain, di sejumlah minimarket, toko, atau tempat-tempat lain yang menyediakan fasilitas penukaran baterai. Pelaku usahanya bisa pemerintah ataupun swasta.
Namun, yang masih menjadi kendala adalah belum adanya penyeragaman bentuk dan ukuran baterai dari berbagai merek kendaraan. Padahal, penyeragaman ini memudahkan pengemudi untuk memilih apakah ingin mengisi atau menukar baterai.
Baca juga : Dilema Mobil Listrik
Dengan demikian, saat terjadi antrean panjang pengisian baterai di SPKLU, pengemudi bisa beralih ke SPBKLU untuk menukar baterai. Sepengamatan penulis, saat ini baru ada satu merek motor yang sudah memiliki jaringan penukaran baterai di beberapa minimarket.
Tidak seperti kendaraan berbahan bakar minyak (BBM), jarak tempuh kebanyakan kendaraan listrik saat ini masih jauh lebih pendek. Oleh karena itu, kendaraan listrik akan lebih sering mengisi baterai ketimbang kendaraan BBM. Tanpa fasilitas pengisian baterai dan penukaran baterai yang memadai, akan terjadi hiruk-pikuk antrean kendaraan listrik di SPKLU dan SPBKLU.
Sebagai gambaran, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 2020 mencapai 136,32 juta. Sebanyak 115,29 juta unit di antaranya adalah motor, sedangkan 15,8 juta adalah mobil penumpang. Pertambahan kendaraan bermotor pada 2003-2019, rata-rata 6 juta unit per tahun per jenis kendaraan.
Bisa dibayangkan jumlah kendaraan listrik pada tahun 2040, dengan pemerintah yang berencana menghentikan penjualan dan pembuatan kendaraan konvensional. Betapa sibuknya kelak kegiatan di SPKLU dan SPBKLU dalam melayani ratusan juta kendaraan tersebut.
Kendala lain adalah harga dan kualitas kendaraan yang sekarang beredar di pasaran. Para pemilik motor listrik lebih banyak mengeluhkan soal kualitas kendaraannya. Sementara para peminat mobil listrik menyesalkan harga kendaraan yang masih sangat mahal karena harga baterai yang masih impor.
Sudah sepantasnya kendala dan keluhan konsumen kendaraan listrik ini menjadi perhatian pemerintah dan para pelaku bisnis terkait. Ini apa bila pemerintah atau pelaku bisnis ingin menggerakkan pasar kendaraan listrik di Tanah Air menuju angka penjualan 400.000 unit per tahun.
Angka penjualan tersebut menjadi penanda awal pasar mulai tumbuh. Saat ini, angka penjualan motor listrik baru mencapai 100.000 unit per tahun.
Insentif dan regulasi
Di tengah perjalanan dari hilir menuju hulu, bertemulah kita di dunia industri otomotif listrik. Untuk merangsang minat industri ini, pemerintah telah memberi sejumlah insentif kepada para pelaku usahanya. Insentif tersebut, antara lain, berupa bebas bea masuk impor baterai (battery electric vehicle/BEV), serta bebas Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan.
Kendaraan listrik pun bakal bebas bea balik nama, dengan bea masuk impor kendaraan yang hanya 5 persen. Selain itu, terdapat peluang konversi dari kendaraan ber-BBM ke kendaraan listrik.
Baca juga : Babak Baru Industri Mobil Listrik Nasional
Tetapi tampaknya, insentif tersebut belum cukup. Indonesia butuh banyak pabrik baterai kendaraan listrik untuk menggantikan baterai impor. Dengan demikian, produsen kendaraan listrik bisa menekan harga kendaraan mereka.
Pelayanan birokrasi yang mudah dan cepat, koordinasi antarinstansi pemerintah dengan IBC sebagai pemain utama dari hulu ke hilir pun layak menjadi perhatian.
Sebagai regulator, pemerintah secara bertahap harus berani menutup pintu industri kendaraan konvensional lewat politik dumping antara kendaraan konvensional dan kendaraan listrik.
Selain itu, sebagai regulator, pemerintah secara bertahap harus berani menutup pintu industri kendaraan konvensional lewat politik dumping antara kendaraan konvensional dan kendaraan listrik, serta mekanisme pajak untuk memberi ruang lebih luas pada industri kendaraan listrik.
Menurut Kementerian Perindustrian, saat ini sudah ada 15 industri perakitan sepeda motor listrik yang telah mendapatkan nomor identifikasi kendaraan (NIK) sebagai salah satu syarat memproduksi kendaraan bermotor. Total kapasitas industri perakitan tersebut 877.000 unit per tahun.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kini sedang berupaya menekan harga jual baterai dengan melakukan penyeragaman baterai sepeda motor listrik dan pembangunan pabrik baterai.
Kondisi di hulu
Di Karawang, Jawa Barat, dua perusahaan Korea Selatan, yakni Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution, berpatungan dengan IBC membangun pabrik sel baterai untuk mobil listrik dengan nilai investasi 1,1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 16 triliun.
IBC menyediakan bahan baku sel baterai sejak dari penambangan nikel dan mengendalikan seluruh distribusi pasokan baterai di Tanah Air. Menurut rencana, pabrik akan mulai berproduksi pada semester pertama 2024. Baterai yang dihasilkan adalah sel baterai litium-ion NCMA. Pabrik ini mampu memenuhi kebutuhan 150.000 mobil listrik.
Tahun 2020, Indonesia menyumbang sekitar 30 persen produksi nikel dunia atau setara dengan 760 ribu ton nikel. Jumlah cadangannya mencapai 174 juta ton.
Kehadiran pabrik baterai mobil listrik ini bakal jadi perintis bermunculannya pabrik-pabrik baterai lainnya. Bertambahnya jumlah pabrik tersebut diharapkan mampu menyerap lebih banyak lagi hasil tambang nikel di Tanah Air.
Indonesia sudah dikenal sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Tahun 2020, Indonesia menyumbang sekitar 30 persen produksi nikel dunia atau setara dengan 760.000 ton nikel. Jumlah cadangannya mencapai 174 juta ton.
Nikel dihasilkan dari lima tambang di Morowali, Sulawesi Tengah; Kolaka, Sulawesi Tenggara; Luwu Timur, Sulawesi Selatan; Maba dan Wasilei di Halmahera Timur, dan Pulau Gag di salah satu gugusan Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.
Meski berlimpah nikel (juga kobalt, aluminium, dan mangan), Indonesia belum mampu memproduksi baterai jenis litium-ion dalam jumlah dan ukuran besar. Sebab, Indonesia belum memiliki cadangan litium serta teknologi pengolahan yang memadai untuk industri baterai kendaraan.
Pembiayaan untuk mengatasi beberapa kendala di hulu ini bisa teratasi apabila di hilir siklus uang di pasar otomotif listrik cepat berkembang dan meningkat.
Jika hal tersebut terealisasi, bukan tidak mungkin kelak Indonesia bisa menjadi salah satu pemain andal industri otomotif dunia. Menjadi pengekspor baterai kendaraan sekaligus mengikuti jejak China menjadi produsen kendaraan listrik.
Windoro Adi, wartawan Kompas 1991-2019