Masyarakat Rentan Berpotensi Tidak Tersentuh Bantuan
Distribusi bantuan sosial berpotensi tidak menyentuh masyarakat yang paling rentan terdampak tren inflasi. Penyaluran bantuan yang kurang tepat sasaran itu bisa menimbulkan kerugian ganda bagi publik dan kas negara.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana pencairan uang bantuan sosial pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di Aula Pos RW 001 Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (2/9/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Peran bantuan sosial untuk meredam dampak kenaikan harga bahan bakar minyak dinilai sangat krusial. Namun, distribusi bantuan dikhawatirkan belum memberikan afirmasi bagi masyarakat paling rentan akibat sistem pendataan yang belum mutakhir, koordinasi yang minim antarinstansi negara, serta kebijakan yang serba cepat.
Seperti diketahui, pemerintah menyiapkan dua jenis bantuan sosial untuk menghadapi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tren kenaikan inflasi, yaitu bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 150.000 per bulan yang diberikan selama empat bulan dan bantuan subsidi upah (BSU) sebesar Rp 600.000 yang diberikan sebanyak satu kali.
Target penerima BLT adalah 20,65 juta keluarga kurang mampu, sementara target penerima BSU adalah 16 juta pekerja formal yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) dengan gaji bulanan di bawah Rp 3,5 juta atau senilai upah minimum.
Komisioner Ombudsman RI Robert Endy Jaweng, Kamis (8/9/2022), mengatakan, solusi jangka pendek lewat bantalan sosial sangat dibutuhkan untuk menyangga daya beli masyarakat rentan. Namun, penyaluran bansos masih menghadapi persoalan klasik berupa pendataan yang belum mutakhir dan inklusif di tengah eksekusi kebijakan yang serba cepat dan mendadak.
Distribusi bansos berpotensi tidak menyentuh masyarakat yang paling rentan terdampak tren inflasi. Hal itu dapat menimbulkan dua jenis kerugian. Pertama, kerugian publik bagi masyarakat yang seharusnya dilindungi negara tetapi luput dari bantuan. Kedua, kerugian negara dalam bentuk alokasi APBN yang terpakai untuk pengeluaran yang salah sasaran.
”Kerugian ganda ini harus disadari betul oleh pemerintah. Perlu ada keseriusan membenahi masalah pendataan, apalagi ini bukan krisis terakhir, masih akan ada krisis-krisis lain lagi di depan,” kata Robert.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Petugas Kantor Pos memeriksa undangan penerima uang bantuan sosial pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di Aula Pos RW 001 Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (2/9/2022). Sebanyak 55 kepala keluarga dari 3 RW di wilayah kelurahan ini mencairkan bantuan sosial pengalihan subsidi BBM. Pemerintah mulai mencairkan program bantuan sosial pengalihan subsidi BBM ini mulai Kamis (1/9/2022). Besaran bantuan ini adalah Rp 150.000 per kepala keluarga dan dibayarkan setiap dua bulan sekali hingga akhir tahun 2022.
Dalam konteks BLT, tantangan terletak pada pemutakhiran data penanganan fakir miskin lewat Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) oleh pemerintah daerah. Robert menilai beberapa pemda berperan sebagai ”kantor pos” yang hanya menerima data dari bawah, merekap data itu, lalu melaporkannya kepada pemerintah pusat tanpa melakukan verifikasi ulang.
”Memang tidak semua seperti ini. Maka perlu ada insentif dan disinsentif untuk mendorong lebih banyak pemda bekerja dengan benar untuk mendapatkan data yang valid dan lengkap,” ujarnya.
Penyaluran bansos masih menghadapi persoalan klasik berupa pendataan yang belum mutakhir dan inklusif di tengah eksekusi kebijakan yang serba cepat dan mendadak.
Tidak inklusif
Persoalan pendataan serius lainnya terletak pada program BSU yang dinilai tidak inklusif. Sejak pertama kali dijalankan pada tahun 2020, penyaluran BSU hanya mengandalkan satu sumber, yaitu data pekerja formal yang sudah terdaftar di BP Jamsostek. Padahal, banyak perusahaan atau pemberi kerja yang tidak patuh mendaftarkan pekerjanya ke program Jamsostek.
Masih banyak pula pekerja informal atau pekerja lepas lain yang kondisinya lebih rentan dari pekerja formal yang terlindungi BP Jamsostek, tetapi tidak bisa mengakses bantuan.
Robert menilai data BP Jamsostek memang cara paling aman dan cepat untuk pemerintah karena datanya sudah relatif bersih dan terverifikasi. Namun, dari sisi substansi perlindungan sosial, penggunaan data BP Jamsostek sebagai acuan tunggal program bansos justru mengabaikan pekerja yang paling rentan yang belum memiliki akses ke program Jamsostek.
”Tidak bisa kalau kesalahan pemerintah yang lemah melakukan pengawasan dan perusahaan yang tidak patuh mendaftarkan pekerjanya itu malah dibebankan kepada para pekerja,” kata Robert.
Menurut dia, masalah pendataan ini sebenarnya bisa diatasi dengan koordinasi yang lebih kuat antarinstansi pemerintah pusat sampai daerah untuk menggencarkan pendataan yang lebih akurat.
”Sebenarnya setiap daerah bisa mendata perusahaan yang ada di wilayahnya, berapa banyak pekerjanya, dan bagaimana profil upah mereka. Tetapi, rantai komando antara Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Dalam Negeri, dan dinas-dinas di daerah ini tidak berjalan,” katanya.
Tidak bisa kalau kesalahan pemerintah yang lemah melakukan pengawasan dan perusahaan yang tidak patuh mendaftarkan pekerja itu malah dibebankan ke para pekerjanya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Harry Hikmat mengatakan, sampai 6 September 2022, penyaluran BLT sudah dilakukan di berbagai daerah. Dari target 20,65 juta keluarga kurang mampu, 18,4 juta keluarga sudah berstatus diperintahkan untuk dibayar, 330.701 keluarga dalam tahap pembersihan data, dan 1,8 juta keluarga berstatus persiapan data.
Provinsi yang sudah menyalurkan BLT terbanyak adalah Jawa Barat, yaitu 26.549 keluarga kurang mampu, sedangkan provinsi dengan BLT paling sedikit adalah Papua Barat, yaitu 3 keluarga kurang mampu. ”Kemensos bergerak cepat, kami sudah punya pengalaman best practice dengan perbaikan di berbagai aspek terkait data dan mekanisme penyaluran,” katanya.
Pendataan ”real time”
Harry mengatakan, pendataan fakir miskin kini sudah tidak lagi berbasis sensus, tetapi registrasi dan verifikasi digital sehingga sifatnya lebih real time dan mutakhir. Kemensos terus melakukan pembenahan data dan peningkatan inklusi bagi masyarakat penerima manfaaat.
”Awalnya sempat susah mengajak pemda terlibat, tetapi sekarang keterlibatan pemda dalam melakukan verifikasi dan validasi data sudah jauh lebih baik,” tutur Harry.
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Surya Lukita Warman mengatakan, BSU rencananya akan disalurkan mulai pekan ini. Untuk distribusi awal, setelah dipadankan dan dibersihkan, ada 14,6 juta orang pekerja yang menjadi calon penerima BSU, dari total 16,2 juta orang.
Kemenaker juga sudah menyiapkan landing page situs pusat bantuan BSU agar pekerja bisa melakukan pengecekan secara mandiri jika mereka masuk dalam penerima bantuan atau tidak.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pekerja proyek makan siang di warung tegal di kawasan Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (31/8/2022). Pemerintah akan kembali menyalurkan bantuan subsidi upah atau BSU untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak dan berbagai barang terhadap daya beli masyarakat. Dengan target penerima yang bertambah, ruang pendaftaran program bantuan itu perlu dibuka agar bisa merangkul lebih banyak pekerja dan rakyat kecil.
”Karena persiapannya dadakan, memang kami baru bisa meluncurkan landing page ini hari ini. Minggu depan kami juga akan meluncurkansearch engine (mesin pencari) untuk mengecek apakah NIK-nya termasuk dalam penerima BSU atau tidak,” katanya.
Terkait kritik bahwa penerima BSU belum inklusif terhadap pekerja di luar BP Jamsostek, Surya mengatakan, hal itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2022.
”Kita tidak ingin ada moral hazard bahwa setelah ada BSU baru ramai-ramai daftar ke BP Jamsostek. Jadi ini memang bentuk apresiasi untuk pekerja dan pengusaha yang ikut di program BP Jamsostek dari awal,” ujar Surya.