Tak Ada Efek Jera, Praktik Perbudakan Awak Kapal Terus Berulang
Kejahatan perbudakan terhadap pekerja migran sektor perikanan asal Indonesia selama ini cenderung menjadi impunitas alias kejahatan tanpa penghukuman.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rendahnya perlindungan terhadap pekerja migran sektor perikanan disebabkan oleh sistem pengawasan, pengaduan dan penegakan hukum yang masih lemah, bahkan nyaris tidak berjalan. Untuk memberi efek jera bagi korporasi dan perlindungan bagi awak kapal, penegakan hukum di dalam dan luar negeri harus diperkuat.
Laporan ”Potret Kerawanan Kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing” yang dikeluarkan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menunjukkan, rendahnya efektivitas perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia sektor perikanan disebabkan oleh sistem penanganan pengaduan yang tidak bisa memberi respons cepat dan penegakan hukum yang lemah.
Ketika terjadi pelanggaran hak atau kekerasan, anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing mencoba mencari bantuan ke beberapa instansi. Kajian IOJI menunjukkan, instansi yang dinilai proaktif dalam menerima pengaduan dan melakukan pendampingan adalah kantor perwakilan negara Indonesia di negara tujuan, serikat pekerja di Indonesia, serikat pekerja di negara tujuan, serta organisasi sipil di dalam dan luar negeri.
Sementara itu, pemerintah pusat, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan, dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), serta perusahaan perekrut menjadi pihak yang paling tidak responsif. Perusahaan perekrut kerap tidak merespons atau menindaklanjuti aduan sama sekali, sementara penanganan dari instansi pemerintah dinilai terlalu lambat, non-responsif, dan tidak solutif.
Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah, Rabu (31/8/2022), mengatakan, sistem pengawasan, pengaduan, dan penegakan hukum untuk melindungi ABK sangat lemah. ”Apa yang selama ini terjadi pada ABK kita adalah impunitas, kejahatan tanpa penghukuman. Berapa banyak kasus pelanggaran yang dialami ABK di mana mereka bisa mendapat akses atas keadilan penuh?” katanya dalam diskusi peluncuran laporan IOJI di Jakarta.
Dari sisi pengawasan, ujar Anis, sistem yang ada nyaris tidak berjalan. Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengharuskan pemilik kapal dan manajemen kapal untuk melakukan pengawasan secara reguler dan melaporkan ke otoritas terkait. Namun, hal itu tidak pernah berjalan. ”Pemilik kapal dan perusahaan kepentingannya hanya profit taking,” katanya.
Di sisi lain, mekanisme pengaduan juga tidak jelas sehingga pekerja migran sering kesulitan melapor ketika terjadi kasus kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di kapal. Dalam beberapa kesempatan, ABK Indonesia di kapal asing harus ”melapor” ke media sosial agar mendapat atensi publik dan ditangani dengan cepat oleh aparat dan pemerintah.
”Mekanisme pengawasan tidak dibangun. Kalau ada masalah, kalau radio dimatikan, kalau tidak punya akses ke luar, seperti apa mitigasinya? Ke mana mereka harus mengadu?” kata Anis.
Untuk menambah rumit persoalan, penegakan hukum juga sangat lemah. Salah satu bentuk impunitas yang terjadi dalam kasus pelanggaran HAM terhadap awak kapal perikanan adalah pihak korporasi atau perusahaan yang selalu lolos dari hukuman, serta restitusi (ganti rugi) kepada korban yang tidak berjalan.
Apa yang selama ini terjadi pada ABK kita adalah impunitas, kejahatan tanpa penghukuman.
Menurut Anis, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang harus maksimal digunakan untuk menjerat korporasi. Sebab, selama ini yang terjerat hanya sebatas agen perekrut di tingkat desa, sementara perusahaan penempatan dan pemilik kapal kerap kali lolos dari hukuman.
”Untuk tingkat korporasi memang mekanismenya lewat interpol. Ini menjadi tugas aparat kepolisian kita untuk memulai aksi bersih-bersih dan memperjelas mekanisme penegakan hukum di dalam dan luar negeri,” kata Anis.
Koridor aman
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Yudha Nugraha membenarkan bahwa penegakan hukum selama ini tidak berjalan maksimal. Pemerintah sedang berusaha untuk menciptakan koridor aman dan memperkuat mekanisme pengawasan, pengaduan, dan penegakan hukum yang kuat bagi para pekerja migran sektor perikanan.
Selama ini, ujarnya, nota kesepahaman (MOU) untuk penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia masih sebatas land-based (daratan), tidak bersifat sea-based (lautan). ”Padahal, konteks pekerja migran antara land-based dan sea-based itu sangat berbeda. MOU khusus untuk pekerja migran di sektor kelautan ini yang sekarang sedang dibangun,” katanya.
Salah satu MOU yang sedang dijajaki adalah dengan Korea Selatan. Pemerintah juga akan menginisiasi MOU yang sama dengan dua negara penempatan utama untuk sektor perikanan, yaitu Taiwan dan China.
Pemerintah sedang berusaha untuk menciptakan koridor aman dan memperkuat mekanisme pengawasan, pengaduan, dan penegakan hukum yang kuat.
”Karena ketika kita bicara tindak pidana perdagangan orang (TPPO), itu sudah lintas batas negara sehingga penegakan hukumnya harus ada di dua sisi: dari negara asal dan negara penerima. Dari kita tentu harus terlebih dahulu menunjukkan komitmen untuk tegas terhadap trafficker agar menjadi contoh kepada negara tujuan,” kata Yudha.
Ia menambahkan, penguatan penegakan hukum juga bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana perusahaan terkait. Dengan demikian, aparat mempunyai bukti lebih kuat untuk ikut menjerat korporasi, bukan hanya agen perekrut di lapangan.
”Kita pakai mekanisme follow the money. Kita bisa trace aliran dana sampai ke korporasi agar mastermind juga ikut dihukum. Itu yang sedang kita dorong,” katanya.
Peneliti IOJI, Fadilla Octaviani, mengatakan, penguatan sistem pengawasan, pengaduan, dan penegakan hukum menjadi salah satu rekomendasi yang dicantumkan dalam laporan oleh IOJI. Pemerintah perlu memperkuat kelembagaan di bidang penegakan hukum dan meningkatkan kerja sama internasional.
”Bisa juga melalui forum pertukaran data intelijen antarnegara dalam rangka mendukung penegakan hukum lintas negara terhadap TPPO dan tindak pidana perburuhan yang dialami PMI sektor perikanan di kapal asing,” katanya.