Perlindungan terhadap awak kapal perikanan dinilai masih lemah. Upaya penambahan awak kapal dinilai perlu dibarengi jaminan perlindungan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korban awak kapal perikanan yang bekerja di dalam dan luar negeri terus berjatuhan. Sepanjang tahun 2020-2022, tercatat 232 awak kapal perikanan terindikasi menjadi korban praktik kerja paksa dan perdagangan orang.
Koordinator Program Hotspot, Destructive Fishing Watch Indonesia, Imam Trihatmadja mengatakan, awak kapal perikanan belum sepenuhnya mendapat perlindungan dari pemerintah. Pengaduan terhadap korban anak buah kapal (ABK) terus masuk ke National Fishers Center. Dalam kurun tiga bulan pertama tahun 2022, National Fisher Center menerima sembilan pengaduan dengan jumlah korban 33 orang.
”Pengungkapan kasus ABK di berbagai media dan oleh aparat penegak hukum dalam beberapa tahun terakhir ini tidak membuat perbaikan tata kelola perlindungan ABK menjadi lebih baik,” kata Imam, akhir pekan lalu.
Pengungkapan kasus ABK di berbagai media dan oleh aparat penegak hukum dalam beberapa tahun terakhir ini tidak membuat perbaikan tata kelola perlindungan ABK menjadi lebih baik.
Sejak tahun 2020 sampai dengan Maret 2022, pihaknya menerima 77 pengaduan awak kapal perikanan dengan jumlah korban 232 orang. Korban itu, antara lain, meninggal dunia, hilang, cacat, dan selamat. Dari 77 pengaduan, sebanyak 44,16 persen adalah pengaduan ABK migran dan 55,84 persen adalah pengaduan ABK domestik.
National Fishers Center memiliki platform pengaduan awak kapal perikanan secara daring. Platform itu banyak dimanfaatkan oleh ABK migran ataupun domestik, antara lain ABK Indonesia di Taiwan, Kepulauan Pasifik, Afrika, Muara Baru, Dobo, Benoa, dan Bitung.
”Hal yang paling sering menjadi pengaduan ABK adalah terkait gaji yang tidak dibayarkan, asuransi dan jaminan sosial, serta penipuan,” ucap Imam.
Imam menyoroti lambannya respons Pemerintah Indonesia dalam penyelesaian pengaduan yang dilaporkan awak kapal perikanan. Sebanyak 44,16 persen aduan ABK migran tidak direspons dan diselesaikan oleh Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Adapun Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai cepat menyelesaikan pengaduan ABK domestik, dengan tingkat penyelesaian aduan sekitar 55,84 persen.
Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan meminta pemerintah untuk meratifikasi ketentuan internasional tentang kerangka perlindungan bagi awak kapal perikanan, yaitu konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 dan menyelesaikan aturan turunan UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Abdi menilai, ratifikasi itu akan memperjelas peran dan fungsi instansi ketenagakerjaan untuk secara menyeluruh mengatur tata kelola awak kapal perikanan yang bekerja di dalam dan luar negeri. ”Tidak seperti saat ini, tidak ada instansi yang bertanggung jawab penuh dan menimbulkan kebingungan pekerja ketika menagih tanggung jawab perlindungan kepada negara,” kata Abdi.
Ratifikasi itu akan memperjelas peran dan fungsi instansi ketenagakerjaan untuk secara menyeluruh mengatur tata kelola awak kapal perikanan yang bekerja di dalam dan luar negeri.
Pihaknya juga mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak kunjung mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Perikanan Migran. Awak kapal perikanan migran jumlahnya ratusan ribu dan butuh perlindungan dari tahap perekrutan oleh agen. ”Jika hulunya dibiarkan berantakan dan tidak mampu diatur, jangan heran jika korban akan terus berjatuhan,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini mengemukakan, pemerintah terus berupaya untuk memberdayakan nelayan. Di antaranya, memberikan keterampilan dan pelatihan serta bantuan alat tangkap ke nelayan. Selain itu, diberikan tawaran kepada nelayan kecil untuk beralih menjadi ABK kapal besar guna menopang kebijakan sistem kontrak penangkapan ikan terukur.
”Nelayan kecil kami tawarkan menjadi ABK kapal besar. Kami akan lakukan pelatihan agar (nelayan kecil) punya keterampilan dan memenuhi syarat untuk mengoperasikan kapal-kapal yang ikut sistem kontrak. Ini supaya ada peningkatan karena pesan menteri bagaimana meningkatkan martabat dan pendapatan nelayan kecil. Sejak merdeka sampai sekarang (nelayan) masih terpuruk. Ini menjadi beban saya, tugas untuk pemberdayaan nelayan kecil,” katanya.
Selain itu, diberikan tawaran kepada nelayan kecil untuk beralih menjadi ABK kapal besar guna menopang kebijakan sistem kontrak penangkapan ikan terukur.
Menurut Zaini, pemerintah telah mensyaratkan sistem kontrak menggunakan 100 persen ABK asal Indonesia. Apabila jumlah kapal yang siap masuk 5.000 kapal, dibutuhkan setidaknya 125.000 ABK Indonesia. Untuk itu, pihaknya telah menyiapkan sistem pendaftaran ABK dengan melibatkan kampung-kampung nelayan serta sekolah advokasi dan pelatihan.
Senada dengan itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Parid Ridwanuddin mengingatkan, banyak studi menunjukkan, ABK masih rentan terhadap perlindungan dan kerap menjadi korban kekerasan.
Kapal pengawas
Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membangun dua kapal pengawas perikanan berukuran 50 meter tahun 2022 ini. Kedua kapal dengan teknologi antipenangkapan ikan ilegal tersebut diproyeksikan untuk memperkuat armada pemberantasan pencurian ikan di laut Indonesia.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin menjelaskan, kapal itu lebih cepat dan lebih stabil dibandingkan dengan tipe-tipe sebelumnya untuk kelas kapal yang sama.
Kapal pengawas yang akan dibangun tersebut memiliki kecepatan sampai dengan 30 knot, serta fitur overview wheelhouse 360° yang membuat nakhoda dan perwira kapal bisa melihat ke semua sisi di sekitar kapal serta teknologi pemutus tali (rope cutter).
Kedua kapal tersebut akan dibangun oleh PT Palindo Marine-Batam dan diharapkan sudah dapat digunakan untuk memperkuat armada pengawasan pada 2023.
Desain dibuat bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (Swakelola Tipe II) ini pemodelannya telah diuji coba di Laboratorium Uji, Balai Teknologi Hidrodinamika, BRIN, Surabaya.