Perlindungan awak kapal patut dikawal jika Indonesia ingin mendongkrak daya saing perikanan. Ambisi meningkatkan produksi dan penerimaan negara bukan pajak diimbangi perbaikan nasib buruh nelayan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Pemerintah telah menargetkan produksi perikanan tangkap sebesar 8 juta ton tahun ini. Angka itu meningkat dibandingkan dengan capaian tahun 2020 yang mencapai 7,7 juta ton. Meski pandemi Covid-19 belum berakhir, sektor perikanan, termasuk perikanan tangkap, berkontribusi dalam peningkatan produksi dan ekspor.
Selain mendorong produksi, pemerintah juga menargetkan kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tahun 2024, PNBP subsektor perikanan tangkap ditargetkan Rp 12 triliun, jauh di atas capaian tahun 2020 yang hanya sebesar Rp 2,9 miliar.
Di tengah target peningkatan produksi dan PNBP perikanan tangkap, salah satu isu yang mengemuka adalah nasib pekerja kapal perikanan yang saat ini masih jauh dari sejahtera. Perlindungan terhadap awak kapal hingga kini masih tergolong memprihatinkan. Aspek ketenagakerjaan di kapal perikanan kerap luput dari perhatian.
Industri kapal perikanan tangkap menyerap hampir 2 juta pekerja. Namun, penyerapan yang tergolong tinggi ini belum sejalan dengan perlindungan yang diperoleh awak kapal perikanan. Pengabaian hak-hak pekerja atau buruh kapal dialami awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan dalam negeri maupun kapal ikan asing.
Data Fishers Centre menunjukkan, hampir 70 persen dari total awak kapal perikanan belum memiliki kontrak kerja. Kelompok rentan ini kerap tersandung sejumlah persoalan. Di sisi lain, temuan pelanggaran hak-hak pekerja kapal perikanan, indikasi kerja paksa, hingga perdagangan orang masih terus berlangsung.
Sepanjang 2020, tercatat 103 awak kapal menjadi korban kerja paksa dan perdagangan orang pada 40 kapal ikan dalam dan luar negeri. Dari 103 orang itu, sebanyak 26 orang meninggal di kapal ikan asal China, 3 orang hilang, sedangkan 74 orang selamat. Mayoritas dari 40 kapal tersebut merupakan kapal ikan luar negeri.
Sebelumnya, pada tahun 2015, Indonesia pernah dikejutkan dengan temuan indikasi perbudakan dan penyiksaan di kapal yang dioperasikan PT Pusaka Benjina Resources di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Selain Benjina, masih banyak kasus perbudakan yang dilaporkan ke pemerintah. Indikasi perbudakan, antara lain, berlangsung pada perusahaan perikanan di Indonesia bagian timur.
Selain rentan mengalami kekerasan, anak buah kapal juga terjerat sistem pengupahan tidak layak. Data SAFE Seas Project mencatat upah awak kapal perikanan dari perusahaan pemilik kapal masih ditemukan jauh di bawah upah minimum provinsi. Bahkan, upah harian hanya Rp 30.000 per hari. Sistem upah bagi hasil juga menempatkan buruh nelayan atau anak buah kapal di posisi marjinal. Ketika hasil tangkapan tidak menutup biaya operasional melaut, nelayan menanggung beban kerugian biaya melaut.
Di sisi lain, kualifikasi buruh kapal ikan juga masih perlu didorong. Anak buah kapal yang bekerja di kapal asing kerap tidak memiliki bekal pelatihan kerja di kapal dan dilengkapi sertifikasi.
Ruwetnya penanganan hak awak kapal perikanan turut dipicu pengaturan awal kapal perikanan yang tersebar di beberapa kementerian dan lembaga, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Aturan dan regulasi yang diterbitkan lintas kementerian tidak menyediakan sistem deteksi dini untuk mencegah awak kapal perikanan terjebak dalam praktik kerja paksa di perusahaan kapal perikanan. Awak kapal perikanan pun dituntut lebih hati-hati memilih kapal dan perusahaan dengan memperhatikan hak dan kewajiban yang diatur dalam kontrak kerja atau perjanjian kerja laut.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, yang merupakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja, antara lain mengatur perlindungan yang lebih menyeluruh terhadap awak kapal perikanan.
Salah satu skema yang dijanjikan pemerintah adalah penetapan upah minimum buruh nelayan atau anak buah kapal yang akan dituangkan dalam perjanjian kerja laut antara pelaku usaha dan buruh kapal. Mekanisme pengupahan awak kapal ikan tengah disiapkan, termasuk disesuaikan dengan pengalaman dan keterampilan kerja.
Perlindungan awak kapal patut dikawal jika Indonesia ingin mendongkrak daya saing perikanan. Ambisi meningkatkan produksi dan PNBP harus diimbangi dengan perbaikan nasib buruh nelayan sehingga tujuan akhir peningkatan produksi perikanan tercapai, yakni menyejahterakan pelakunya.