Kesehatan mental sebenarnya menjadi isu utama korporasi di tengah berbagai masalah yang sedang dihadapi, seperti pandemi yang belum berhenti dan juga ancaman inflasi global.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Sejauh mana Anda, para pemimpin bisnis, mendengar gosip-gosip yang beredar di antara karyawan? Orang mungkin mencemooh obrolan tentang ”healing” di antara mereka, tetapi sesungguhnya di sinilah masalah yang sedang dihadapi karyawan di hampir sebagian besar perusahaan. Kesehatan mental karyawan tengah menjadi masalah. Keinginan melakukan ”healing” adalah sesuatu yang terungkap di balik masalah itu.
Para karyawan di Indonesia tidak sendirian. Analis industri global Josh Bersin dalam tulisannya di MIT Sloan Management Review terbaru mengatakan, dari sekian banyak masalah yang kita hadapi selama dua tahun terakhir, mungkin yang paling mengejutkan, tetapi penting, adalah kesehatan mental. Studi terbaru menunjukkan, hampir 81 persen pekerja menghadapi kelelahan atau masalah kesehatan mental dan 68 persen karyawan mengatakan bahwa pekerjaan sehari-hari mereka terganggu oleh tantangan ini.
Kesehatan mental sebenarnya menjadi isu utama korporasi di tengah berbagai masalah yang sedang dihadapi, seperti pandemi yang belum berhenti dan juga ancaman inflasi global. Di Indonesia, kita bisa melihat beberapa akun Instagram yang berisi curahan hati para karyawan, terutama di perusahaan rintisan, tentang masalah kesehatan mental dan bagaimana perusahaan cuek dengan masalah itu.
WHO dan beberapa organisasi dunia telah memperingatkan masalah ini. Mereka telah mengangkat isu ini, tetapi kemudian tergulung pandemi. World Economic Forum juga mengatakan, isu kesehatan mental sudah ada sebelum pandemi. Mereka menyebut sekitar 90 persen pekerja terdampak masalah kesehatan mental. Studi OECD melaporkan, kecemasan meningkat dua kali lipat di beberapa negara. Para karyawan telah mempertanyakan peran organisasi mereka dalam melindungi kesejahteraan mental.
Apa yang dilakukan perusahaan dalam melihat masalah ini? Tidak sedikit perusahaan yang membuat stigma soal kesehatan mental yang diungkapkan karyawan. Kontributor Forbes, Ron Carucci, mengatakan, stigma seputar kesehatan mental dapat menyebabkan masalah ini tidak dilaporkan dan tidak ditangani dengan baik. Penyakit mental yang parah selanjutnya dapat meningkatkan risiko karyawan sehingga berperilaku menyimpang hingga bunuh diri.
Carucci mengatakan, para pemimpin bisnis dapat membantu mengurangi stigma dengan mempromosikan akses-akses ke sumber daya yang mendukung untuk pemulihan kesehatan mental. Para pemimpin dapat memulai dialog dua arah di tim untuk menjadikan percakapan terbuka tentang kesehatan mental sebagai kebiasaan. Dialog dimulai dengan menyadari kemanusiaan kita sendiri yang sangat boleh jadi pernah mengalami masalah yang sama. Semua upaya dilakukan agar karyawan dapat memperkuat kesehatan mental. Harapannya mereka sehat, baik di pekerjaan maupun dunia mereka di luar pekerjaan.
Apakah sudah ada perusahaan yang mengedepankan masalah ini? Di dalam tulisan Josh Bersin ada beberapa contoh. CEO Starbucks Howard Schultz telah menyatakan secara terbuka bahwa dia menganggap kesehatan mental dan kondisi emosi pekerja perusahaan sebagai tantangan terbesarnya di luar pandemi. Morgan Stanley telah memiliki seorang chief medical officer yang didedikasikan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mental di seluruh organisasi.
Selama pandemi, para pemimpin di perusahaan penyedia telekomunikasi global, Verizon, membuat serangkaian konferensi virtual dua mingguan untuk membantu manajer senior berempati kepada karyawan karena jumlah karyawan yang keluar meningkat, stres, dan kelelahan karyawan yang tinggi, terutama yang berada di lapangan. Mereka diajak berbagi ide tentang cara mengatasi masalah mendesak ini.
JPMorgan Chase membuat aplikasi kesejahteraan yang biasa diakses karyawan dan pimpinan. Semua diminta untuk melaporkan secara teratur dan memberi tahu tentang perasaan mereka hari itu. Departemen sumber daya manusia (SDM) akan memantau sinyal dan input dari mereka untuk melihat apakah kelompok tertentu mengalami perubahan kesehatan mental. Sistem memungkinkan anggota tim SDM menghubungkan manajer dengan anggota tim sehingga mendapatkan dukungan dalam menangani masalah.
Inovasi tidak melulu soal meningkatkan pendapatan dan keuntungan secara langsung, tetapi juga dalam mendengar dan memahami keluhan karyawan. Masalah kesehatan mental ada di depan mata, hanya para pemimpin yang bervisi ke depan yang mampu melihat masalah ini sebagai isu utama di perusahaan. Langkah mereka bakal menentukan nasib perusahaan ke depan. Inovasi bisa diawali dengan mendengarkan perasaan karyawan hari ini.