Indonesia Hadapi Tantangan untuk Pertahankan Surplus Beras
Gerakan diversifikasi pangan, khususnya subtitusi bahan pangan karbohidrat, dengan pangan-pangan lokal mesti digenjot. Pasalnya, dengan dampak situasi global saat ini, ada ancaman, misalnya pada gandum.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Surplus beras selama tiga tahun beruntun, 2019-2021, menjadi capaian positif Indonesia dalam memenuhi kebutuhan komoditas pokok utama pangan dalam negeri. Namun, sederet tantangan tak mudah menanti dalam rangka mempertahankan capaian itu, seperti perlunya peningkatan produksi, diversifikasi pangan sumber karbohidrat lainnya, hingga antisipasi ancaman impor di tahun politik.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi beras nasional mencapai 31,31 juta ton pada tahun 2019, lalu naik menjadi 31,5 juta ton pada tahun 2020, dan 31,36 juta ton pada tahun 2021. Artinya, dengan rata-rata konsumsi mencapai 2,5 juta ton per bulan atau sekitar 30 juta ton per tahun, produksi beras nasional selalu surplus selama kurun 2019-2021.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia Sutarto Alimoeso dalam Webinar Mempertahankan Surplus Beras yang digelar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Jumat (19/8/2022), mengatakan, seiring peningkatan penduduk, produksi beras harus meningkat jika surplus beras hendak dipertahankan.
Kemudian, harga gabah dan beras haruslah wajar. ”(Artinya) menguntungkan bagi petani dan pelaku bisnis sehingga petani bergairah untuk menanam. Apabila harga wajar, petani akan mencari pupuk sendiri (tak bergantung subsidi),” kata Sutarto.
Di samping itu, gerakan diversifikasi pangan, khususnya subtitusi bahan pangan karbohidrat, dengan pangan-pangan lokal mesti digenjot. Pasalnya, dengan dampak situasi global saat ini, ada ancaman, misalnya pada gandum. Pada 2021 tercatat impor gandum telah mencapai 11,7 juta ton.
Hal yang harus diwujudkan lainnya ialah implementasi program-program yang dicanangkan. ”Implementasi di lapangan perlu betul-betul disinergikan secara kokoh dari hulu hingga hilir. Itu (selama ini) menjadi kelemahan. Kebijakan seperti perlindungan lahan, subsidi, dan lainnya akan berhasil mana kala terimplementasi di lapangan,” ucap Sutarto.
Sutarto menuturkan, dari data BPS, pada 2013 dan 2017 pun pemerintah tidak mengimpor beras umum. Adapun dalam 10 tahun terakhir, rata-rata impor beras pemerintah 732.211 ton dan impor beras khusus 388.024 ton. Sementara secara total, dalam 10 tahun terakhir, rata-rata impor beras sebesar 1,05 juta ton.
Sutarto mengatakan, swasembada beras 2019-2021 perlu disyukuri, tetapi ia pun memberi catatan akan pentingnya perhatian kepada para petani kecil. ”Mohon diingat bahwa andalan utama produksi beras adalah petani berlahan sempit, juga pelaku industri usaha kecil yang umumnya sulit mengakses modal dan pasar,” lanjutnya.
Ketua DPP Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) Walneg Jas menambahkan, pengurangan lahan tanah masih menjadi perhatian meski surplus beras dicapai dalam tiga tahun terakhir. Catatannya, pada 2021, sekitar 245.000 hektar lahan pertanian berkurang. Apabila dikonversi, jumlah itu menyebabkan kehilangan 140.000-150.000 ton beras.
Hal tersebut kian menjadi ancaman jika dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk. ”(Pertumbuhan penduduk) masih di angka 1,2 persen. Apabila, katakanlah pengurangan lahan sebesar 0,5-1 persen, inin bisa menjadi ancaman sendiri dalam upaya mempertahankan keberlanjutan swasembada beras,” ucap Walneg.
Proyeksi yang presisi
Menurutnya, salah satu kunci dalam mempertahankan surplus beras ialah kalkulasi dan proyeksi yang presisi antara supply dan demand. Perlu benar-benar dihitung berapa pengurangan karena perubahan iklim atau faktor-faktor lain. Di samping itu, kolaborasi dan sinergi menjadi penting. Tak hanya produksi, tetapi aspek lain seperti pola makan, konsumsi, dan budaya.
Tak kalah penting, lanjutnya, ialah inovasi. ”Program-program didorong oleh Kementan. Namun, pemangku kepentingan lain juga harus mendorong inovasi, baik dalam konteks diversifikasi pangan maupun peningkatan produktivitas. Di samping itu, juga mesti hati-hati akan gangguan di tahun politik. Jangan sampai ada kegiatan-kegiatan impor yang tak perlu,” kata dia.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi mengemukakan, dalam menghadapi tantangan ke depan, baik pandemi Covid-19, perubahan iklim ekstrem, ekstensifikasi, maupun intensifikasi, perlu terus dilakukan. Begitu juga penanaman benih-benih unggul dan berkualitas, hingga berbagai upaya hilirisasi.
Tahapan selanjutnya setelah swasembada beras, imbuh Suwandi, ialah ekspor. ”Bagaimana meningkatkan ekspor komoditas beras. Setelah itu ialah diversifikasi produksi dan konsumsi. Di tengah tantangan global saat ini, menjadi peluang baik untuk mendorong pengembangan sorgum, singkong, jagung, dan pangan-pangan lainnya,” ujar Suwandi.