Presiden Joko Widodo menerima penghargaan dari International Rice Research Institute atas capaian Indonesia yang tak impor beras 2019-2021. Pengamat menilai itu harus jadi pelecut untuk memperbaiki kesejahteraan petani.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghargaan kepada Presiden Joko Widodo atas pencapaian swasembada beras tahun 2019-201 dinilai sebagai sesuatu yang positif karena ada pengakuan dari lembaga internasional. Namun, di sisi lain, hal tersebut harus menjadi lecutan, tidak hanya untuk terus mempertahankan produksi, tetapi juga menjamin kesejahteraan petani Indonesia.
Pada Minggu (14/8/2022), di Istana Negara, Jakarta, Presiden Joko Widodo menerima penghargaan yang diserahkan secara langsung oleh Direktur Jenderal International Rice Research Institute (IRRI) Jean Balie. Acara yang juga disiarkan langsung secara daring itu dihadiri, antara lain, Kepala Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Indonesia Rajendra Aryal dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019, produksi beras Indonesia 31,31 juta ton, lalu meningkat menjadi 31,5 juta ton pada tahun 2020 dan 31,36 juta ton pada 2021. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia memang tidak mengimpor beras umum (beras medium) yang diedarkan ke masyarakat. Hanya beras khusus atau jenis tertentu yang diimpor Indonesia.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan (KRKP) Said Abdullah, saat dihubungi, Minggu, berpendapat, pengakuan itu menjadi hal positif. Namun, di sisi lain, perlu ada penguatan. Sebab, pada 1984 Indonesia berhasil swasembada beras hingga mendapat penghargaan dari FAO. Namun, dua tahun kemudian terjadi ledakan hama yang menyebabkan terjadi fluktuasi produksi.
Fluktuasi tersebut, imbuh Said, berpotensi terjadi dengan meningkatnya ancaman akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, upaya khusus untuk mengantisipasi dampaknya, seperti kekeringan dan banjir, perlu terus ditingkatkan. Dengan demikian, capaian dalam tiga tahun terakhir ini dapat berkelanjutan di tahun-tahun mendatang.
”Tak hanya itu, penghargaan tersebut juga menjadi cambuk untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Kita lihat bahwa pada nilai tukar petani (NTP), (nilai) yang paling rendah ialah (terjadi pada subsektor) tanaman pangan. Menurut saya, bisa menjadi anomali karena kita mendapat penghargaan dari sisi swasembada atau produksinya, tetapi petani atau subyeknya belum sejahtera,” katanya.
NTP merupakan salah satu indikator yang biasa digunakan untuk melihat kesejahteraan petani. Apabila NTP lebih dari 100, berarti indeks harga yang diterima petani lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang dibayarkan oleh petani. BPS mencatat, pada 2021, hanya pada Januari 2021 NTP tanaman pangan berada di atas 100. Pada 2022, kondisinya belum membaik, bahkan menurun dari 100,86 pada Januari menjadi 95,28 pada Juli.
Said menambahkan, perlu dukungan lebih guna meningkatkan kesejahteraan petani. ”Paling dasar adalah soal akses terhadap lahan. Petani-petani kecil perlu diberi akses lahan-lahan yang idle. Kemudian, dukungan berupa input pertanian. Juga mengenai pendampingan, yang hingga sekarang masih relatif kurang,” katanya.
Pembenahan data
Selain itu, pemerintah juga perlu realistis dalam memasang target produksi pangan. ”Memang harus punya target dan peta jalan, tetapi harus disandarkan pada basis data yang kuat. Perihal data menjadi kunci. Harus dibuat perlahan dengan milestone yang jelas. Kalau memasang target, perlu ditanya juga petaninya sanggup atau tidak, dan lainnya,” kata Said.
Wakil Sekretaris Jenderal Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Zulharman Djusman berharap, pendataan terkait produksi atau tata kelola pangan nasional perlu dibenahi. Selama ini kerap muncul data berbeda di antara satu instansi dengan instansi lainnya sehingga membingungkan petani dan asosiasi petani.
”Kami KTNA, di bawah, siap membantu jika kebijakan pemerintah berpihak kepada petani. Kalaupun tidak sesuai harapan kami, kami siap berdiskusi, konsultasi, dengan aturan-aturan yang ada,” kata Zulharman.
Menghadapi tantangan ke depan, dalam mendukung kedaulatan pangan Indonesia, Zulharman menuturkan, pihaknya juga telah memberdayakan para petani muda atau milenial. Pasalnya, mereka merupakan kontributor produksi pangan di masa mendatang karena relatif mampu beradaptasi dengan modernisasi pertanian yang membawa nilai tambah ekonomi.
Pihaknya juga setuju dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk terus mengupayakan diversifikasi pangan atau tidak bergantung pada satu jenis pangan tertentu. ”Kami juga sudah mulai menanam sorgum di Nusa Tenggara Barat yang bisa menghasilkan 8-10 ton per hektar. Pangsa pasar belum terlalu banyak, tetapi ada peluang besar ke depan, seperti di Eropa dan Timur Tengah,” ujarnya.
Rektor IPB University Arif Satria, yang hadir dalam penyerahan penghargaan itu, mengemukakan, ke depan, akan diperlukan sistem pangan yang tangguh agar produksi, nutrisi, lingkungan, dan kehidupan lebih baik. Dengan sistem yang tangguh, ketahanan pangan nasional diharapkan tidak mudah terguncang oleh dinamika geopolitik, perubahan iklim, dan bencana.
”Diperlukan sistem cadangan pangan dan logistik sebagai cara kita bertahan (dari guncangan) serta memiliki kemampuan pemulihan yang cepat pascaterjadinya aneka guncangan. Perguruan tinggi dan masyarakat siap membangun sistem pangan tangguh dan berkelanjutan sekaligus menyejahterakan petani serta mendorong pertumbuhan ekonomi desa,” kata Arif.
Rajendra menuturkan, transformasi sistem pangan dan pertanian sangat diperlukan dalam penguatan pangan Indonesia, di tengah kompleksnya tantangan. ”Saat ini dunia sedang menghadapi tantangan ketahanan pangan yang cukup sulit, FAO berkomitmen untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam upaya transformasi menuju sistem pangan dan pertanian yang efisien, inklusif, tangguh, dan berkelanjutan,” ujarnya.