Penghargaan IRRI bisa jadi meletupkan kebanggaan. Namun, ada sederet problem krusial yang mendesak diurai, khususnya terkait kesejahteraan petani. Apa artinya swasembada jika petani tidak sejahtera? Capaian itu rapuh.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
Institut Penelitian Padi Internasional atau IRRI baru saja memberikan penghargaan kepada Pemerintah Indonesia karena dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras selama periode 2019-2021. Direktur Jenderal IRRI Jean Balie menyerahkan penghargaan bertajuk ”Sistem Pertanian-Pangan Tangguh dan Swasembada Beras 2019-2021 melalui Penggunaan Teknologi Inovasi Padi” itu kepada Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Minggu (14/8/2022).
Penghargaan itu menandai capaian positif tiga tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi beras nasional mencapai 31,31 juta ton pada tahun 2019, lalu naik menjadi 31,5 juta ton pada tahun 2020, dan 31,36 juta ton pada tahun 2021. Artinya, dengan rata-rata konsumsi mencapai 2,5 juta ton per bulan atau sekitar 30 juta ton per tahun, produksi beras nasional selalu surplus selama kurun 2019-2021.
Menurut Presiden, pembangunan infrastruktur di bidang pertanian, pemanfaatan varietas unggul, serta intensifikasi dan ekstensifikasi menopang swasembada beras nasional. Presiden juga menyampaikan apresiasi kepada para pelaku pertanian Tanah Air dan berbagai pihak terkait yang telah bekerja keras dan bersama-sama pemerintah mewujudkan swasembada beras di Indonesia.
Akan tetapi, penghargaan itu diberikan di tengah derita berkepanjangan petani padi Tanah Air. Nilai tukar petani (NTP), indikator yang biasa digunakan untuk melihat kesejahteraan petani, misalnya, tercatat di bawah 100 untuk subsektor tanaman pangan dalam kurun lima bulan terakhir. Artinya, petani tanaman pangan tekor. Sebab, indeks harga yang harus mereka bayar (Ib) lebih tinggi dibandingkan indeks harga yang mereka terima (It).
Situasi itu menambah panjang derita petani setahun sebelumnya. Sepanjang tahun lalu, NTP tanaman pangan bulanan ”konsisten” di bawah 100 sepanjang Februari-Desember 2021, berarti mereka selalu tekor di 11 bulan tersebut. Situasi itu sejalan dengan rendahnya harga gabah di tingkat petani. BPS mencatat, kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) terjadi sepanjang 28 bulan berturut-turut hingga Juli 2022.
Fenomena itu tidak lazim sebelum April 2020. Kasus harga gabah di bawah HPP biasanya terjadi di bulan-bulan saat panen raya atau ketika surplus produksi terjadi. Namun, kasus harga gabah di bawah HPP menjadi hal yang lumrah dua tahun terakhir. Pada April 2022, ketika produksi padi mencapai puncaknya, kasus harga gabah di bawah HPP bahkan mencapai 33,6 persen dari 1.783 titik observasi.
Asimetri harga
Kendati tak sebesar tahun lalu, yakni ketika mencapai puncaknya pada Juli 2021 dengan jumlah kasus harga gabah di bawah HPP mencapai 46,66 persen, situasi tahun ini tetap tidak menguntungkan petani. Jika HPP adalah batas bawah untuk memastikan petani untung, hampir separuh petani merugi pada Juli 2021 karena menjual gabah dengan harga lebih rendah daripada harga minimal. Pemerintah menetapkan HPP gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 4.200 per kilogram (kg) di tingkat petani.
Selama bertahun-tahun, petani menjadi korban asimetri harga. Ketika harga beras di tingkat konsumen naik, transmisinya ke harga gabah petani berjalan lambat. Sebaliknya, ketika harga beras di tingkat konsumen turun, transmisinya berlangsung cepat. Sementara sederet instrumen stabilisasi lemah dalam implementasinya sehingga tak signifikan mendongkrak harga di tingkat petani.
Selama bertahun-tahun, petani menjadi korban asimetri harga. Ketika harga beras di tingkat konsumen naik, transmisinya ke harga gabah petani berjalan lambat.
Kenyataan itu kian membenamkan petani dalam ”kubangan” stereotipe produsen padi nasional, yakni miskin dan tidak sejahtera. Harga gabah yang kerap anjlok membuat mereka mendapatkan insentif yang minim atas hasil usahanya. Makin lestarilah kemuraman itu.
Akan tetapi, selain ironi terkait kesejahteraan petani, dampak pembangunan infrastruktur pengairan juga belum tecermin pada capaian produksi beras nasional. Data BPS menunjukkan, produksi padi antarbulan masih timpang. Umumnya tinggi di kurun Maret-Mei, tetapi seret di kurun Oktober-Januari. Artinya, luas panen dan produksi padi masih sangat bergantung pada faktor cuaca.
Tantangan besar lain terkait produksi beras ke depan ialah soal produksi yang masih terpusat di Pulau Jawa. Selama ini, enam provinsi di Jawa, yakni Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, menyumbang lebih dari separuh produksi beras nasional. Padahal, selain jadi konsentrasi penduduk, Jawa juga masih menjadi tumpuan produksi bahan pangan lain serta pengembangan industri.
Penghargaan IRRI bisa jadi meletupkan kebanggaan. Namun, ada sederet problem krusial yang mendesak diurai, khususnya terkait kesejahteraan petani. Apa artinya swasembada jika petani tak sejahtera? Capaian itu jelas rapuh.