Terpuruknya Petani Padi
Petani padi sedang menelan pil pahit kebijakan perberasan nasional. Harga beras tingkat grosir atau beras eceran hampir tidak bergerak dalam dua tahun terakhir. Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan HET perberasan.
Petani padi yang jumlahnya sekitar 15 juta orang sedang menelan pil pahit. Kebijakan perberasan nasional menjadikan mereka sebagai anak tiri, sedangkan konsumen sebagai anak emas.
Selama lima tahun terakhir, mereka hanya menerima harga gabah yang rendah dan turun. Padahal, harga sarana produksi terus naik, terutama harga pupuk, pestisida, upah buruh, serta sewa alat dan mesin pertanian (alsintan). Berbeda dengan para petani lain atau peternak.
Misalnya, petani cabai, bawang, jagung, dan kedelai yang harga produksinya terus naik, seiring dengan peningkatan biaya produksi. Harga telur dan daging ayam juga naik.
Pil pahit itu adalah buah dari penerapan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras sejak September 2017. Harga beras tingkat grosir atau beras eceran hampir tidak bergerak dalam dua tahun terakhir. Banyak penggilingan padi, terutama penggilingan padi kecil (PPK), bangkrut, tutup usaha.
Para petani padi hanya bisa mengeluh atas penerapan HET, demikian juga para pengusaha penggilingan padi.
Sementara penggilingan padi besar (PPB) aktivitasnya terbonsai, tanpa inovasi baru. Jangankan memikirkan peningkatan kualitas beras, energi mereka lebih banyak tercurah untuk dapat bertahan hidup, kerap ”mengakali” kualitas beras.
Para petani padi hanya bisa mengeluh atas penerapan HET, demikian juga para pengusaha penggilingan padi. Jumlah mereka sangat banyak, tetapi tak berdaya. Berbeda dengan penerapan HET pada minyak goreng, pemerintah takluk. Mengapa berbeda?
Kebijakan HET
Mungkin dengan melihat keberhasilan penerapan HET pada komoditas beras, pemerintah lalu menerapkan kebijakan HET pada minyak goreng. Tujuannya untuk mengatasi instabilitas harga minyak goreng yang bergerak sangat liar.
Penerapan HET telah merugikan perusahaan minyak goreng, khususnya, dan produsen CPO serta petani sawit penjual tandan buah segar (TBS).
Perusahaan minyak goreng menahan stok dan membatasi produksi sehingga menimbulkan pasar gelap dan konsumen panik. Ketetapan HET minyak goreng bertahan hanya beberapa minggu, kemudian dicabut pemerintah. Itu menggambarkan industri minyak goreng sangat powerful. Menurut Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU), hampir separuh pasar minyak goreng dikendalikan oleh empat perusahaan besar.
Mereka menguasai alur usaha mulai dari perkebunan sawit, pengolahan minyak sawit, hingga produsen minyak goreng. Mereka sangat kuat, Satgas Pangan Polri tidak berkutik menghadapinya.
Petani sawit jumlahnya tidak sampai 3 juta orang. Mereka relatif makmur, menguasai lahan rata-rata sekitar 2,5 hektar per petani. Areal kebun sawit sisanya (60 persen) dikuasai perusahaan swasta, baik asing maupun nasional, dan sebagian kecil milik perkebunan besar negara.
Jadi, petani sawit dan industri CPO atau industri minyak goreng ”relatif kuat”, daya tawar tinggi, serta mampu ”menekan” pemerintah jika kebijakannya tidak memihak mereka, seperti kebijakan HET.
Oleh karena itu, tidak heran Satgas Pangan Polri tampaknya ”lebih berani” mengobrak-abrik penggilingan padi, setidak-tidaknya pada awal penerapan HET akhir 2017 hingga pertengahan 2018. Padahal, jumlah penggilingan padi cukup banyak, mencapai 182.000 unit.
Sebagian besar (94 persen) penggilingan padi ini penggilingan padi kecil (PPK), sedangkan penggilingan padi besar (PPB) hanya 1 persen. Diperkirakan, pangsa kapasitas produksi PPB sekitar 10 persen, terutama beras kualitas premium atau jauh dari praktik oligopoli.
Baca juga Terpengaruh Gejolak Harga, Nilai Tukar Petani Turun
PPK sejak lama menghadapi masalah tingginya kehilangan hasil dan kapasitas menganggur (idle capacity), membuat biaya produksi beras menjadi mahal. Total kehilangan hasil—pada tahap pengeringan, penggilingan, dan rendemen giling—mencapai 2,8 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan Rp 15,4 triliun per tahun.
Rata-rata tingkat idle capacity penggilingan padi mencapai 60 persen, terutama karena kekurangan bahan baku gabah. Pada saat biaya penggilingan beras tinggi dan inefisien, ditambah dengan kenaikan ongkos produksi beras—seperti upah buruh, BBM, biaya modal—penerapan HET telah mempercepat tutupnya PPK dan menghambat inovasi baru pada PPB.
Harga GKP petani
Di pihak lain, jumlah petani padi mencapai 15 juta orang dengan luas usaha tani tidak lebih dari 0,5 hektar per petani. Mereka tidak dapat menghentikan berproduksi karena sebagian produksinya digunakan untuk keperluan sendiri, pangan utama keluarga.
Mereka ”pasrah” menerima harga gabah rendah. Kebijakan HET telah membuat petani menjadi lebih terpuruk. Harga gabah kering panen (GKP) tingkat petani sebesar Rp 4.619 per kilogram periode 2016-2017, merosot menjadi Rp 4.589 per kilogram periode Januari 2021 hingga April 2022.
Adapun pertumbuhan harga GKP bulanan menjadi negatif 0,48 persen. Bandingkan dengan pertumbuhan bulanan harga GKP periode 2011-2015, yaitu positif 0,69 persen.
Hal itu terjadi tidak lepas dari tertekannya harga beras tingkat konsumen. Harga beras hampir tak bergerak naik dua tahun terakhir, baik beras kualitas medium maupun premium. Pertumbuhan harga beras medium bulanan juga negatif 0,63 persen. Perdagangan beras sangat sepi, perbedaan harga antarmusim hampir tak terjadi.
Harga beras sangat stabil, terjadi di pasar grosir beras ataupun pasar eceran. Konsumen sangat diuntungkan. Tingkat stabilisasi harga beras yang diukur dengan coefficient of variation sangat rendah, hanya 1,2 persen periode Januari 2021 hingga April 2022, sedangkan periode 2016-2017, misalnya, mencapai 4,4 persen.
Kalau kita menggunakan kacamata ”kuda”, tampak pemerintah cukup berhasil dalam menstabilkan harga beras. Hal ini tentunya berpengaruh positif terhadap inflasi pangan, yaitu rendah. Namun, beban yang ditanggung oleh petani (produsen gabah) dan penggilingan padi (produsen beras) sangat memberatkan.
Namun, beban yang ditanggung petani (produsen gabah) dan penggilingan padi (produsen beras) sangat memberatkan.
Padahal, tujuan kebijakan beras tidak tunggal, ada pendapatan petani yang harus dijaga dan industri penggilingan padi yang harus ditumbuhkembangkan. Industri penggilingan padi salah satu industri kunci dalam pembangunan, khususnya perdesaan. Industri yang mampu menarik dan mendorong industri padi dan beras, yang menyerap puluhan juta tenaga kerja.
Dalam kaitan dengan itu, diharapkan pemerintah meninjau ulang kebijakan HET, diganti dengan harga langit-langit (ceiling price) sebagai acuan stabilisasi harga beras. Kebijakan harga langit-langit tidak mengikat masyarakat luas, hanya Bulog yang terikat. Tanpa koreksi kebijakan HET, petani padi akan terus terpuruk, seperti yang telah dijalaninya selama lima tahun terakhir.
M Husein Sawit, Anggota Dewan Penasihat PP Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)