Penghargaan IRRI dan Tugas Mewujudkan Kesejahteraan
Penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional mesti menjadi pelecut bagi pemerintah untuk terus mendorong kesejahteraan petani. Penghargaan diterima Indonesia di tengah penurunan NTP tanaman pangan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional atau IRRI karena dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021. Penghargaan itu diserahkan secara langsung oleh Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Minggu (14/8/2022).
Apresiasi bertajuk ”Penghargaan Sistem Pertanian-Pangan Tangguh dan Swasembada Beras Tahun 2019-2021 melalui Penggunaan Teknologi Inovasi Padi” itu dinilai menjadi capaian yang positif. Namun, penghargaan itu harus menjadi pelecut, tidak hanya untuk meningkatkan produksi, tetapi juga menjamin kesejahteraan petani.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi beras Indonesia pada 2019 mencapai 31,31 juta ton. Produksi meningkat menjadi 31,5 juta ton pada 2020 dan turun menjadi 31,36 juta ton pada 2021. Tiga tahun terakhir, Indonesia memang tidak mengimpor beras umum yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat atau hanya mengimpor beras khusus atau jenis tertentu.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan (KRKP) Said Abdullah saat dihubungi, Minggu, berpendapat, pengakuan dari lembaga internasional itu positif. Namun, Indonesia jangan lengah karenanya. Sebab, pada 1984 Indonesia pun berhasil swasembada beras hingga mendapat penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB). Namun, dua tahun kemudian, ada ledakan hama yang menekan produksi beras nasional.
Kini gangguan produksi berpotensi meningkat seiring dengan meningkatnya ancaman akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, mitigasi perlu terus dilakukan agar swasembada bisa berlanjut di tahun-tahun mendatang.
”Penghargaan juga harus jadi cambuk untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Nilai tukar petani (NTP) petani tanaman pangan merupakan yang terendah (dibandingkan dengan subsektor lain). Ini anomali, kita mendapat penghargaan dari sisi produksi, tetapi petani atau subyeknya belum sejahtera,” katanya.
Penghargaan harus jadi cambuk untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Nilai tukar petani (NTP) petani tanaman pangan merupakan yang terendah.
NTP merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat kesejahteraan petani. NTP lebih dari 100 berarti indeks harga yang diterima petani lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang dibayarkannya. BPS mencatat, hanya pada Januari 2021 NTP tanaman pangan berada di atas 100. Pada 2022, kondisinya belum membaik, bahkan turun dari 100,86 pada Januari menjadi 95,28 pada Juli.
Said menambahkan, perlu dukungan lebih guna meningkatkan kesejahteraan petani. ”Paling dasar adalah soal akses terhadap lahan. Petani-petani kecil perlu diberi akses lahan-lahan yang idle, lalu dukungan input serta pendampingan yang hingga sekarang relatif kurang,” katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Zulharman Djusman berharap pendataan terkait produksi atau tata kelola pangan nasional dibenahi. Selama ini, kerap muncul data berbeda antara satu instansi dan instansi lain sehingga membingungkan petani ataupun asosiasi petani.
Rektor IPB University Arif Satria, yang hadir dalam penyerahan penghargaan itu, mengemukakan, ke depan perlu sistem pangan yang tangguh agar produksi, nutrisi, lingkungan, dan kehidupan lebih baik. Dengan sistem yang tangguh, ketahanan pangan nasional diharapkan tidak mudah terguncang oleh dinamika geopolitik, perubahan iklim, dan bencana.
Menurut Rajendra, transformasi sistem diperlukan dalam penguatan pangan Indonesia di tengah kompleksnya tantangan. ”Dunia sedang menghadapi tantangan ketahanan pangan yang cukup sulit, FAO berkomitmen bekerja sama dengan Indonesia dalam upaya transformasi menuju sistem pangan dan pertanian yang efisien, inklusif, tangguh, dan berkelanjutan,” ujarnya.