Terakselerasi Pandemi, tapi Belum Cukup Inklusif
Pandemi telah mengakselerasi transformasi digital di segala lini kehidupan masyarakat. Namun, perkembangannya belum inklusif. Persoalan akses internet serta minimnya literasi digital dan tenaga kompeten jadi penghambat.
Pandemi Covid-19 yang menyebabkan pembatasan sosial diyakini telah mengakselerasi pemanfaatan teknologi digital di berbagai lini kehidupan. Laporan riset Southeast Asia, The Home for Digital Transformation yang disusun Bain&Company didukung penuh Facebook Inc (2021) menyebutkan, wilayah Asia Tenggara, yang dipimpin Indonesia, menambahkan 70 juta konsumen baru layanan digital sejak awal pandemi. Layanan itu mulai dari media sosial hingga pembayaran digital.
Sementara Bain&Company bersama Google dan Temasek melalui laporan e-Economy SEA 2021 menyebutkan, sepanjang 2020 sampai semester I-2021, sebanyak 72 persen dari tambahan 21 juta konsumen baru layanan digital berasal dari non-kota besar. Bedanya
dengan laporan Southeast Asia, The Home for Digital Transformation, laporan e-Economy SEA 2021 membatasi layanan digital dalam konsep ekonomi internet yang berasal dari e-dagang, media daring, ride hailing, wisata dan perjalanan, jasa keuangan digital, teknologi edukasi, serta teknologi kesehatan.
Dalam laporan e-Economy SEA 2021 turut disebutkan, 28 persen pelaku usaha kecil menengah (UKM) Indonesia yang mengadopsi teknologi digital mampu bertahan selama pandemi. Salah satu UKM minuman herbal asal Bantul, DI Yogyakarta, Herdiana Dewi Utari, yang merintis usaha tahun 2008, telah membuktikannya.
Ketika Covid-19 resmi diumumkan sebagai pandemi dan pembatasan sosial diberlakukan, toko-toko ritel — yang menjadi tujuan produk herbalnya berupa minuman celup dan rempah-rempah instan — harus tutup. Padahal, stok sudah telanjur diadakan. Dari hasil mengikuti berbagai pelatihan pemasaran digital, di antaranya dari Yayasan Dharma Bakti Astra, dia akhirnya membuka toko daring di berbagai lokapasar dan media sosial.
Baca juga : Pertumbuhan E-Dagang Indonesia Kian Menjanjikan
Saat dihubungi Jumat (10/6/2022), Herdiana mengaku permintaan produk herbal terus meningkat sejak dia memakai saluran penjualan daring. Sejumlah temannya yang selama ini berkecimpung di bidang produk kerajinan terpaksa beralih mencari pekerjaan lain sehingga Herdiana mengajak mereka untuk membantu penjualan sebagai reseller.
H Nuryaman (50) memiliki pengalaman serupa. Dia tak menyangka, sejak pandemi melanda, sistem penjualan kue ikut berubah. Dia tidak lagi menitipkan kue di pasar-pasar di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang tentu baru terima uang saat dagangan laku. Kini, mayoritas kue dijual secara daring. Dia mengaku punya akun Toko Pasti Puas di lokapasar Shopee.
”Pada tahun 2020, pesanan mencapai 5.400 buah dengan nilai Rp 77,79 juta. Tahun 2021, begitu banyak orang harus bekerja dari rumah membuat pesanan mencapai 12.625 buah dengan nilai Rp 138,29 juta. Kemudian, baru terhitung Januari-Mei 2022, jumlah pesanan loyangnya sudah mencapai 6.690 buah dengan nilai Rp 62,67 juta,” ujar Maman.
Jika mengacu pada laporan e-Economy SEA 2021, sektor e-dagang menjadi kontributor terbesar melonjaknya nilai ekonomi internet. Tidak main-main, 52 persen dari 70 miliar dollar AS proyeksi nilai ekonomi internet Indonesia tahun 2021 datang dari e-dagang. Semuanya ini tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah yang mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masuk ke pemasaran digital (digital onboarding). Tak lama setelah Covid-19 diumumkan jadi pandemi, pemerintah menyerukan Gerakan Bangga Buatan Indonesia. Seluruh kementerian/lembaga dan tentunya swasta didorong terlibat aktif melatih, tak terkecuali jenama lokapasar.
Direktur Eksekutif Shopee Indonesia Handhika Jahja mengatakan, puluhan ribu UMKM mitra telah ikut pelatihan pemasaran digital di sembilan Kampus UMKM Shopee. Pelatihan ekspor juga tetap jalan selama pandemi. Jika dihitung sampai sekarang, Shopee telah memiliki mitra 180.000 UMKM yang akhirnya punya pasar di mancanegara. Misalnya, Dinova Store, Monica The Label, dan Gudang Barang Bandung.
Baca juga : Tingkat Penetrasi Internet 77 Persen, Pemerintah Akan Dorong Lebih Tinggi
Pesatnya perkembangan sektor e-dagang seperti itu ternyata juga berdampak ke bisnis penyokongnya, seperti gudang, jasa kurir, dan solusi pencatatan keuangan. Head of Product Marketing BukuWarung Irwansyah Fansury mengakui, muncul kesadaran UMKM untuk mendigitalkan proses bisnis mereka bukan sebatas pemasaran. Jumlah pengguna aplikasi pembukuan keuangan milik BukuWarung naik 333 persen atau menjadi 6,5 juta pengguna pada akhir 2021.
Non-perdagangan
Dari sisi sektor perikanan, CEO dan Co-Founder Jala Tech Liris Maduningtyas mengatakan, pandemi yang membatasi aktivitas orang justru mendorong petambak udang lebih aktif menggunakan aplikasi untuk memantau produksi di tambak, termasuk memasukkan data kolektif pertumbuhan.
Jala Tech bahkan mampu mengembangkan beberapa model bisnis baru, di antaranya budidaya udang juga berkolaborasi dengan bakul-bakul udang untuk mendapatkan suplai udang dari petambak lewat aplikasi Jala. Dengan pola itu, bakul mampu meningkatkan suplai udang dari 20 ton menjadi 60 ton per minggu. Pada tahun 2021, Liris menceritakan Jala memperoleh suntikan investasi baru senilai 6 juta dollar AS yang diperoleh antara lain dari Mirova dan Meloy Fund.
Baca juga: Infrastruktur Tidak Merata, Potensi Bisa Terganjal
Dunia pendidikan juga termasuk sektor paling terpukul dengan adanya pembatasan sosial karena pandemi Covid-19. Namun, situasi ini justru mempercepat adopsi layanan teknologi pendidikan yang sudah berkembang sejak 2012. Per Juni 2020, mengutip laporan DailySocial EdTech Report 2020, terdapat 19 perusahaan rintisan teknologi pendidikan bervaluasi lebih dari 1 miliar dollar AS atau unicorn di seluruh dunia yang secara kolektif mengumpulkan lebih dari 9 miliar dollar AS dari total pendanaan selama 10 tahun terakhir.
Sebagian telah masuk dan populer di Indonesia, seperti Duolingo, Udemy, dan Cousera. Holon IQ bahkan menyebut beberapa perusahaan rintisan edtech Indonesia masuk dalam daftar 50 besar di Asia Tenggara, antara lain RuangGuru, HarukaEdu, Bahaso, Quintal, dan Zenius (Kompas, 21/12/2020).
”Layanan kami kini menjangkau 38 juta pengguna terdaftar dan diakses 200 juta kali per bulan. Solusi sistem manajemen pembelajaran atau LMS yang kami kembangkan telah dipakai 38.000 sekolah,” ujar Direktur Utama RuangGuru Adamas Belva S Devara.
Persoalan
Terlepas dari pencapaian-pencapaian digitalisasi yang cemerlang itu, tersimpan beberapa persoalan. Mengutip laporan Bank Dunia, Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion (2021), Asosiasi HealthTech Indonesia melaporkan bahwa sekitar 250 perusahaan terdaftar beroperasi di ranah layanan teknologi kesehatan.
Sama seperti usaha rintisan (start up) teknologi edukasi, start up teknologi kesehatan yang belum lama lahir di Indonesia menerima dorongan penggunaan besar dan mengisi kekosongan layanan selama pandemi Covid-19. Meski demikian, jangkauan mereka secara keseluruhan terbatas pada klien yang lebih kaya di pusat kota, sebagian besar di Jawa.
Sekretaris Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah AH Novie, yang ditemui di Jakarta, Senin (6/6/2022), mencontohkan persoalan klasik infrastruktur jaringan internet juga masih dirasakan sebagai penghambat UMKM di sejumlah daerah. Ketika jaringan internet lambat, akibatnya mengganggu akses data sehingga disebut-sebut mahal biayanya.
”Pernah ada cerita mengenai pelaku usaha ingin mengakses perizinan nomor induk berusaha (NIB). Mereka mengalami kesulitan akibat jaringan internet yang lemah, sementara data-data sudah diberikan kepada pendamping dan diolah di PLUT (Pusat Layanan Usaha Terpadu) Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Permintaan notifikasi terus gagal akibat tidak ada jaringan internet,” paparnya.
Baca juga: Tegakkan Tata Laksana E-dagang, Pemerintah Akan Rilis Aturan Baru
Asisten Deputi Ekonomi Digital Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Edwin menyebut masih ada persoalan terkait sumber daya manusia. Indeks literasi digital di Indonesia pada 2021 masih tergolong sedang. Indeks inklusi keuangan tahun 2019 memang telah mencapai 76,19 persen, tetapi literasi keuangan masih 38,03 persen. Indonesia pun masih kekurangan sekitar 600.000 orang talenta berkompeten bidang teknologi digital per tahun sampai 2030.
Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen, dalam laporan Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion (2021), berpendapat, universalisasi internet adalah titik awal pemikiran kebijakan penting yang harus dimiliki Pemerintah Indonesia. Karena itu, intervensi kebijakan tidak hanya untuk menangani persoalan infrastruktur telekomunikasi, tetapi juga peraturan yang memungkinkan ekonomi digital tumbuh lebih inklusif.
”Pemerintah perlu intervensi aktif untuk memastikan para pekerja di seluruh negeri dilengkapi dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk memanfaatkan peluang digital secara maksimal,” katanya.