Pengurangan Sampah Makanan Turut Cegah Krisis Pangan
Usaha mengurangi sampah makanan dinilai dapat meningkatkan ketahanan pangan secara signifikan. Hasil kajian Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menunjukkan, sepertiga bahan pangan yang diproduksi di dunia terbuang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurangan sampah makanan dinilai penting dalam usaha meningkatkan ketersediaan pangan di tengah ancaman krisis pangan global. Lewat G20 Presidensi Indonesia, isu itu diharapkan semakin menjadi perhatian bersama sehingga ada pertukaran informasi ataupun metode pendataan agar pengelolaan pangan dapat berkelanjutan.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada pembukaan G20 Agriculture Working Group ”Workshop on Gap Analysis on Food Loss and Waste Indices” yang digelar daring, Selasa (21/6/2022), mengatakan, sektor pertanian tengah dihadapkan pada ancaman krisis pangan. Situasi itu dipicu oleh gangguan suplai dan perdagangan pangan global.
”Penanganan food loss and waste (sampah makanan/FLW) penting karena hasil kajian FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) menunjukkan sepertiga bahan pangan yang diproduksi di dunia terbuang. Pada saat bersamaan, dunia harus mampu menyediakan pangan bagi 9 miliar penduduk pada 2050,” kata Syahrul.
Hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, FLW di Indonesia selama 20 tahun berkisar 23 juta-48 juta ton per tahun atau 115-184 kilogram per kapita per tahun. Kerugian ekonominya setara dengan 4-5 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia, Rp 212 triliun-Rp 551 triliun per tahun (Kompas, 13 Oktober 2021).
Syahrul mengemukakan, sebagai salah satu pilar ketahanan pangan, upaya pengurangan FLW secara signifikan dapat meningkatkan ketahanan pangan. ”Sebagai contoh, mengurangi 25 persen kehilangan produksi padi di Indonesia akan meningkatkan ketersediaan pangan beras hingga 4 kilogram per kapita,” katanya.
FAO dan United Nations Environment Programme (UNEP), lanjut Syahrul, sudah menyiapkan dan mengembangkan cara pengukuran FLW sehingga patut diapresiasi. Namun, dalam implementasinya masih banyak negara yang terkendala mengenai data yang dibutuhkan. Lewat kelompok kerja G20, diharapkan ada rumusan konkretnya.
Sebagai salah satu pilar ketahanan pangan, upaya pengurangan FLW secara signifikan dapat meningkatkan ketahanan pangan.
Kementerian Pertanian bekerja sama dengan Bappenas terus mengupayakan peningkatan kualitas pengukuran FLW di Indonesia. Menurut Syahrul, pihaknya juga akan meningkatkan keandalan manajemen data dan metode pengendaliannya. Selain itu, pihaknya juga mengembangkan variabel dan indikator yang sesuai untuk mengurangi FLW.
”Dengan mempertimbangkan adanya ancaman krisis pangan global, isu FLW harus menjadi bagian penting dalam pembangunan pertanian. Workshop (G20) ini harus dapat menghasilkan rekomendasi dan kesepakatan yang operasional bagi negara-negara anggota G20, untuk bersama-sama meningkatan ketersediaan pangan gobal,” kata Syahrul.
Berbagi pengalaman
Leader of Methodological Innovation and SDG 12.3.2 a Focal Point, FAO, Carola Fabi, menuturkan, FLW merupakan masalah global. Oleh karena itu, berbagi pengalaman antarnegara dalam menekan FLW menjadi kunci dalam penanganannya. Selain melihat aspek data, penting juga bagi sebuah negara untuk menerapkan strategi penanganannya.
”Kita semua ingin mendengar dari para partisipan (kelompok kerja G20 terkait FLW) yang berasal dari sejumlah wilayah dengan kebudayaan yang beragam. Juga, tingkat pendapatan negara yang berbeda. Ada beragam solusi dan kebijakan data dari setiap negara,” kata Fabi.
Fabi memaparkan, berdasarkan laporan SDG (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) terkait engan makanan terbuang di tingkat global pada 2020 mencapai 13,3 persen. Dari kelompok jenis makanannya, buah-buahan dan sayuran merupakan yang tertinggi, yakni mencapai 32,7 persen. Sementara berdasarkan kawasan, Sub-Sahara Afrika merupakan kawasan dengan makanan terbuang tertinggi, yakni mencapai 21,4 persen.
Karin Lindow dari Divisi Food Chain and Exports, Swedish Board of Agriculture, Swedia, mengemukakan, tujuan utama pengurangan FLW ialah terkait dampak pada lingkungan serta ketahanan pangan di masa depan. Swedia memiliki standar tinggi mengenai kesejahteraan hewan. Orientasinya ialah efisiensi. Kualitas makanan pun terjaga serta memberi keuntungan ekonomi bagi produsen.
”Dalam menekan FLW, kami melibatkan para peneliti yang berpengalaman di lapangan. Dibentuk kelompok peneliti dan ahli untuk berdiskusi terkait dengan komoditas utama untuk dijadikan prioritas. Setelah itu, kami libatkan lebih banyak peneliti, juga melibatkan petani dan organisasi industri,” kata Karin.
Ia menambahkan, pemilihan komoditas utama mempertimbangkan beberapa hal, yakni potensi, value (nilai), volume, dampak terhadap iklim, dan terkait dengan komoditas mana yang segar ataupun yang bisa disimpan. Akhirnya diputuskan delapan komoditas utama, yakni daging sapi, daging babi, susu, seafood, gandum, kentang, wortel, dan stroberi.