Akar Kebiasaan Membuang Makanan
Seorang bijak pernah berujar, “Membuang-buang makanan adalah tindakan orang bodoh.” Perkataan ini terdengar keras. Tapi, ini undangan lembut bagi kita untuk lebih bijak, meminimalkan praktik membuang-buang makanan.
Kata filsuf, ”Semakin sedikit uraiannya, semakin besar dustanya.” Tetapi, saya harap esensi artikel ini tidak berisi dusta. Isinya terkait salah satu isu yang sedang marak belakangan: membuang-buang makanan (food waste).
Secara umum manusia memang suka makan. Sampai-sampai seorang penulis bernama Alan Wolfelt berujar, ”Makanan adalah simbol cinta ketika kata-kata saja tidak cukup.” Bagi yang merasa suka makan, kalimat ini mungkin saja akan cepat diamini. Namun, masalah menjadi mengemuka ketika kebiasaan suka makan ini tidak dibarengi kemampuan mengelola makanan yang diambil atau ditawarkan dengan bijak.
Pada gilirannya ini akan melahirkan kebiasaan mengambil makanan terlalu banyak, di luar takaran. Makanan yang diambil jadi tidak habis, dan berujung pada membuang makanan yang diambil tadi. Ini sebenarnya masalah serius.
Cukup mengagetkan mengetahui laporan Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2017 bahwa Indonesia berada di peringkat kedua penghasil sampah makanan terbesar di dunia (300 kilogram per orang).
Sampai-sampai seorang penulis bernama Alan Wolfelt berujar, ”Makanan adalah simbol cinta ketika kata-kata saja tidak cukup. ”
Tentu, bisa saja banyak aspek yang menyumbang praktik membuang sampah makanan ini. Tetapi, aspek ketidakmampuan mengelola makanan oleh individu atau kelompok tampaknya turut berpartisipasi aktif dalam kebiasaan membuang makanan pada sebagian anggota masyarakat di Tanah Air.
Ini ironis, sebab negeri kita ternyata masih belum sepenuhnya lepas dari tantangan kelaparan yang dialami penduduknya. Global Hunger Index 2021 menyebut Indonesia menempati urutan ke-73 dari 116 negara dalam hal kelaparan.
Masih jauh dari peringkat ideal. Situasi bertambah runyam karena sisa makanan yang dibuang ke tempat pembuangan akhir juga menghasilkan gas metana yang berdampak buruk bagi lingkungan.
Nafsu makan bukan masalahnya
Makan adalah aktivitas alamiah manusia. Kemampuan makan seseorang dimulai oleh nafsu atau selera makan (appetite) yang timbul. Ini berbeda dengan rasa lapar, yang merupakan respons biologis tubuh terhadap kekurangan atau kebutuhan makanan.
Seseorang dapat memiliki nafsu makan bahkan jika tubuhnya tidak menunjukkan tanda-tanda lapar, dan sebaliknya. Salah satu indikator seseorang sehat tubuh dan jiwanya adalah adanya faktor nafsu makan tersebut. Hal ini menjadi masalah tersendiri jika nafsu makan itu tidak diimbangi dengan kemampuan mengelola porsi makanan yang diambil.
Sebagai contoh, dalam sebuah pesta pernikahan yang menyediakan jamuan makan prasmanan, seorang tamu undangan tertarik beragam makanan yang disediakan mempelai dan keluarganya. Apalagi, jika makanannya disediakan oleh perusahaan katering yang terkenal. Menu makanan yang tampak menggiurkan dan lezat bisa saja membuat sang tamu lupa diri sehingga ingin mencoba menu ini dan itu.
Hal ini menjadi masalah tersendiri jika nafsu makan itu tidak diimbangi dengan kemampuan mengelola porsi makanan yang diambil.
”Jika perlu, semua menu harus kucoba,” gumamnya dalam hati. Memang, dia lapar dan perlu makan. Tetapi, mungkin dia tak sadar bahwa porsi makanan yang akan diambilnya itu berada di luar kemampuan mulutnya mengunyah dan perutnya mencerna. Yang terjadi, ia mengambil terlalu banyak makanan, perutnya terasa kenyang sebelum semua makanan sudah diambil dihabiskan. Alhasil, makanan yang sudah diambil tadi dibuang. Sayang.
Pernahkah Anda mengalami situasi seperti ilustrasi di atas?
Dulu filsuf Sokrates mengatakan bahwa ”orang berbuat yang tidak baik karena tidak tahu apa yang baik”. Jika membuang-buang makanan adalah hal yang tidak baik, maka orang yang biasa membuang-buang makanan tidak tahu bahwa hal itu adalah tidak baik.
Apakah benar demikian? Sejak kita kecil, saya kira, sebagian besar dari kita yang besar di Indonesia diajari untuk tidak membuang-buang makanan yang sudah ada di piring kita. ”Kalau nasinya tidak dihabiskan, nanti nasinya nangis,” demikian kata orangtua dulu. Jadi, tampaknya sebagian besar dari kita tahu praktik membuang-buang makanan adalah hal yang tidak baik.
Spiritualitas yang terpecah dan akarnya
Lantas, kenapa praktik menyia-nyiakan makanan masih terjadi dan kerap dilakukan?
Dalam konteks Indonesia, membuang-buang makanan, saya pikir, tak terjadi karena seseorang kurang mengetahui apa yang baik atau tidak baik. Tidak pula karena rendahnya intelektualitas seseorang. Kenyataan masih ada di antara kita yang masih ”suka” membuang-buang makanan adalah suatu fenomena yang layak dilihat sedikit lebih mendalam.
Leon Festinger di dalam bukunya, A Theory of Cognitive Dissonance, menyebut situasi semacam ini sebagai ”disonansi kognitif”, yaitu konflik di dalam diri seseorang ketika perilakunya berbeda dengan wawasan dunia yang ia pegang. Disonansi kognitif juga menjelaskan keadaan batin, di mana orang memegang dua pandangan yang saling bertentangan satu sama lain, yang dalam istilah saya pribadi, saya sebut sebagai ”spiritualitas yang terpecah”.
Menggunakan kata ”spiritualitas” karena, sebagaimana kita tahu, ia bukanlah sekadar ”kehidupan batin” atau sesuatu yang bersifat rohani, lebih dari itu, spiritualitas juga menyatu dengan aspek tubuh dan jiwa seseorang, yang terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, seluruh aspek kehidupan seseorang sejatinya adalah spiritualitas.
Baca juga Berbagi Makanan, Kurangi Sampah
Baca juga Kota-kota Penyumbang Sampah
Spiritualitas yang terpecah tampaknya memiliki akar pada ketidakmampuan mengendalikan hasrat di dalam diri. Psikologi Yunani Klasik meyakini jiwa manusia terdiri dari tiga aspek, yaitu hasrat dari perut ke bawah (epithumia) yang meliputi: nafsu makan, minum, seks; hasrat di dada (thumos) yang meliputi: keinginan untuk diakui, harga diri; dan rasio (logistikon), yaitu akal budi.
Epithumia dan thumos adalah unsur alamiah yang ada dalam jiwa seseorang. Dua aspek jiwa manusia ini digambarkan sebagai dua kuda yang menarik kereta perang, sementara logistikon adalah sais atau pengendali kereta itu, yang bertugas mengendalikan jalan dan arah dua kuda tadi.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang diperhadapkan beragam tawaran dan godaan yang memicu hasrat epithumia untuk menuntut pemuasan di luar batas kewajaran.
Di hadapan hidangan makanan yang menggugah selera, ”kuda” epithumia akan mendorong jiwa seseorang untuk mengambil makanan. Ini wajar dan itulah fungsinya.
Namun, epithumia bisa saja bergerak tidak wajar dan menyeret jiwa seseorang mengambil makanan di luar batas kemampuan mulut dan perutnya. Di sinilah peran logistikon atau akal budi menjadi signifikan, sebab ia adalah bagian jiwa paling tinggi yang bertanggung jawab mengontrol gerak laju epithumia yang mulai menjadi ”sedikit” liar.
Menurut Platon, logistikon merupakan bagian terbaik dalam jiwa manusia karena tugas pokok dan fungsi (tupoksi) utamanya ini. Ia menjadi alat bagi seseorang untuk bisa mengendalikan hasratnya agar tidak menyerah begitu saja terhadap gerak liar dua ”kuda” dalam jiwa lainnya.
Praktik membuang-buang makanan masih terjadi di sekitar kita. Apakah kita memiliki tanggung jawab etis untuk mengingatkan lingkar sosial terdekat kita agar meminimalkan praktik tersebut? Saya pikir iya. Ribuan tahun lalu seorang bijak pernah berujar, ”Membuang-buang makanan adalah tindakan orang bodoh.”
Perkataan ini terdengar keras. Tetapi, sebenarnya ini adalah undangan yang lembut bagi kita untuk lebih bijak mengelola berkat jasmani yang Sang Khalik karuniakan kepada kita, yang dalam hal ini, meminimalkan praktik membuang-buang makanan.
Dhimas Anugrah, Pendiri Lingkar Filsafat (Circles) Indonesia. Komunitas Pembelajar di Bidang Budaya, Filsafat, dan Sains.