Realisasi migrasi siaran televisi ke digital masih jauh dari target kendati tenggat tahap I pada 30 April 2022 telah lewat. Sejauh ini baru tiga dari target 56 wilayah siaran yang mendapatkan siaran digital secara penuh.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga awal Juni 2022 belum ada kemajuan signifikan migrasi siaran televisi analog ke digital terestrial atau analog switch off/ASO tahap I yang tenggat seharusnya 30 April 2022. Sejauh ini baru tiga wilayah siaran yang meliputi delapan kabupaten/kota yang mengalami siaran digital terestrial secara penuh.
Padahal, migrasi tahap I ditargetkan menjangkau 56 wilayah siaran yang mencakup 166 kabupaten kota. Keterbatasan alat bantu penerima siaran, ketidakakuratan data calon penerima bantuan, serta sosialisasi program yang belum masif dinilai menjadi pemicunya.
Pada konferensi pers perkembangan ASO tahap I, Jumat (29/4/2022), Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menyampaikan, tiga wilayah siaran yang telah migrasi adalah Riau-4 (Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Meranti), Nusa Tenggara Timur-3 (Kabupaten Timor Tengah Utara, Belu, Malaka), dan Papua Barat-1 (Kabupaten Sorong dan Kota Sorong). Di ketiga wilayah siaran itu pembagian alat bantu penerima siaran digital bagi rumah tangga miskin sudah tuntas (Kompas, 30/4/2022).
Migrasi tahap I ini seharusnya menyasar 56 wilayah siaran di 166 kabupaten/kota. Contoh kabupaten dan kota yang seharusnya migrasi ke siaran televisi digital per 30 April 2022 adalah Kota Banda Aceh, Kota Padang, Kota Bukittinggi, Kota Pekanbaru, Kota Jambi, Kota Bengkulu, Kabupaten Garut, Kabupaten dan Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tegal, Kabupaten Jember, dan Kota Denpasar.
”Hingga saat ini delapan kabupaten/kota di Indonesia yang sudah mengalami ASO. Persiapan pelaksanaan ASO di wilayah tahap 1 lainnya sedang dilakukan, termasuk distribusi alat bantu penerima siaran digital gratis untuk rumah tangga miskin. Beberapa wilayah lain yang segera mengalami ASO akan kami umumkan,” ujar Juru Bicara Kemenkominfo, Dedy Permadi, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (8/6/2022).
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Wakil Ketua I Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil Tobing saat dihubungi secara terpisah. Dia menyebut sudah beberapa kali diskusi dengan pemerintah akan ada tambahan sekitar 12 provinsi lagi yang akan menerima siaran televisi digital terestrial secara penuh.
”Belum ada tambahan baru wilayah yang menerima siaran televisi digital terestrial secara penuh sampai sekarang. Dengan kata lain, di luar delapan kabupaten/kota itu, masyarakat menerima siaran televisi analog dan digital terestrial bersamaan atau simulcast,” kata Neil.
Menurut Neil, situasi belum ada penambahan kabupaten/kota mengalami siaran digital terestrial penuh disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya, masyarakat rumah tangga miskin dirasa belum siap, data calon penerima bantuan tidak akurat, dan sosialisasi ASO belum masif. Ketersediaan alat bantu penerima siaran televisi digital juga dia klaim terbatas. Kalaupun ada, alat yang digunakan tidak tersertifikasi dari Kementerian Kominfo.
Berbagai kritik
Berdasarkan data Kementerian Kominfo, tujuh lembaga penyiaran swasta penyelenggara multipleksing sebenarnya berkomitmen menyediakan dan mendistribusikan alat bantu penerima siaran televisi digital terestrial untuk ASO tahap I sebanyak 3.016.602 unit, tetapi per 8 Juni 2022 baru tersalurkan 67.913 unit.
Di sisi lain, Kementerian Kominfo berkomitmen menyediakan dan mendistribusikan alat bantu penerima siaran televisi digital tahap I sebanyak 87.310 unit. Realisasinya per 8 Juni 2022 mencapai 80.742 unit.
Rapat kerja Komisi I DPR RI dengan Kemenkominfo, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi Pusat (KIP), dan Dewan Pers, pada hari sama, diwarnai kritik oleh sejumlah anggota Komisi I DPR RI terkait penyelenggaraan ASO. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, Kresna Dewanata, berpendapat, Kemenkominfo seharusnya menagih komitmen lembaga penyiaran swasta penyelenggara multipleksing agar menyalurkan alat bantu penerima siaran televisi digital terestrial kepada rumah tangga miskin.
Dave Akbarshah Fikarno, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, menambahkan, ketepatan penyaluran bantuan alat itu penting, termasuk upaya menanggulangi apabila ada rumah tangga miskin sasaran belum kunjung menerima bantuan sampai sekarang.
Rizki Aulia Rahman Natakusumah, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat, mempersoalkan kondisi bantuan alat yang diterima. Sebab, dirinya pernah menerima keluhan rumah tangga miskin sasaran bantuan yang sudah menerima alat, tetapi alat bersangkutan tidak bisa dipakai.
Berbeda dengan anggota komisi lainnya, Krisantus Kurniawan, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, lebih menyorot urgensi ASO. Dia menceritakan, warga di Kalimantan Barat yang tinggal berbatasan langsung dengan Malaysia kerap mengalami interferensi siaran televisi dari stasiun televisi negara jiran. Dia berharap pelaksanaan ASO bisa lekas optimal sehingga masyarakat perbatasan dapat menikmati siaran televisi Indonesia.
Adapun Wakil Ketua Komisi I DPR RI sekaligus pemimpin rapat kerja kemarin, Bambang Kristina, mengatakan, dia mengamati masih terjadi kesalahpahaman manfaat ASO di masyarakat, seperti siaran televisi digital terestrial disamakan dengan siaran televisi berbayar.
Realistis dan tegas
Menanggapi fenomena tersebut, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rahayu, saat dihubungi secara terpisah, berpendapat, pemerintah perlu mempersiapkan jadwal baru ASO yang lebih realistis. Pemerintah juga seharusnya memastikan infrastruktur siaran televisi digital terestrial dan alat bantu penerima siarannya tersedia di wilayah yang menjadi target ASO.
Selain itu, untuk pengadaan siaran televisi digital terestrial di daerah, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan lembaga penyiaran swasta dari Jakarta. Pemerintah seharusnya melibatkan lembaga penyiaran televisi lokal yang selama ini terpinggirkan.
Menurut Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno, dari uji coba ASO tahun 2019 hingga agenda tenggat ASO tahap I, 30 April 2022, terdapat pelajaran penting yang semestinya disadari pemerintah. Salah satunya adalah kesiapan dan kewajiban migrasi lembaga penyiaran swasta penyelenggara multipleksing yang seharusnya ada ketegasan tenggat dari pemerintah.
”Jadi, kalau mereka (lembaga penyelenggara multipleksing) tidak melaksanakan migrasi, pemerintah tegas menganggap mereka sudah menghitung risiko bisnis. Pemerintah berhak memanfaatkan spektrum frekuensinya untuk kebutuhan lain, seperti pelayanan infrastruktur internet,” kata Sarwoto.