Migrasi siaran televisi analog terestrial ke siaran digital terestrial sudah sejak 2006 dikumandangkan. Hingga keluar UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja pun, praktik migrasi masih tidak berjalan lancar.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Suasana proses produksi di perusahaan manufaktur PT Pampas Electric di Kawasan Industri Delta Silicon, Cikarang Selatan, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/12/2021). Pabrik manufaktur tersebut memproduksi peralatan elektronik, seperti alat bantu siaran televisi digital (STB) baik untuk siaran televisi terestrial maupun tv kabel serta produksi papan sirkuit cetak.
Migrasi sistem penyiaran televisi terestrial analog ke televisi digital terestrial merupakan isu global melibatkan seluruh negara yang tergabung dalam International Telecommunication Union (ITU). Dalam Forum the Geneva Frequency Plan Agreement yang diselenggarakan ITU di 2006, seluruh negara sepakat bahwa 17 Juni 2015 merupakan batas akhir migrasi siaran televisi secara analog dan beralih ke digital. Di Indonesia, yang tergabung dalam ITU, realisasinya masih maju-mundur.
Tindak lanjut kesepakat ITU tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun aturan turunannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. Mengenai teknis migrasi siaran analog ke digital ( analog switch off/ASO) diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran. Regulasi yang terakhir ini merupakan perubahan aturan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 6/2021.
Berdasar Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 11/2021, jadwal ASO yang semula terbagi dalam lima tahap dikurangi menjadi tiga tahap. Pada tahap I, tenggat migrasi yang sebelumnya 17 Agustus 2021 diundur menjadi 30 April 2022. Sementara pada tahap II, tenggat migrasi yang semula 31 Desember 2021 diundur menjadi 31 Agustus 2022. Tahap III yang seharusnya 31 Maret 2022 diubah selambatnya menjadi 2 November 2022.
Sejumlah negara maju sudah bermigrasi sebelum 17 Juni 2015, seperti Amerika Serikat (2009), Jepang (2011), Kanada (2011), Inggris dan Irlandia (2012), serta Australia (2013). Dari arsip Kompas, 22 Mei 2018, lima negara tetangga Indonesia, yakni Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Papua Niugini, dan Australia, merasakan bagaimana mereka tidak bisa membentangkan industri telekomunikasi generasi keempat (4G) lantaran frekuensi yang digunakan televisi analog di Indonesia masih dikunci penggunaannya oleh industri-industri penyiaran.
Akibatnya, negara-negara itu tidak bisa memanfaatkan ASO mereka dengan bebas karena terjadi interferensi. Interferensi adalah gangguan frekuensi (tumpang tindih frekuensi). Perlu diketahui, pelaku industri penyiaran terestrial menggunakan frekuensi 700 megahertz (MHz). Frekuensi inilah yang disebut golden frequency atau frekuensi emas, yaitu frekuensi terbaik yang merupakan ”tambang emas” di udara yang dimiliki Indonesia.
Alat bantu
Terkait migrasi di Indonesia, penyediaan dan pendistribusian alat bantu penerima siaran digital terestrial bagi rumah tangga miskin tak kunjung terlaksana. Padahal, mengacu PP No 46/2021, penyediaan alat bantu penerima siaran digital kepada rumah tangga miskin berasal dari komitmen lembaga penyiaran swasta (LPS) penyelenggara multipleksing. Pemerintah hanya membantu mencukupi kekurangan yang tersisa.
Dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) disebutkan ada 6,7 juta rumah tangga miskin yang berhak mendapat bantuan alat bantu siaran digital. LPS penyelenggara multipleksing sudah berkomitmen menyalurkan sebanyak 4 juta unit, sedangkan pemerintah hanya sanggup 1 juta unit. Sejumlah industri manufaktur elektronik telah mendaftarkan produk alat bantu penerima siaran televisi digital terestrial ke Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Namun, pemerintah belum membeli dan masih akan melelang perusahaan yang akan mendistribusikan alat bantu.
Diduga, lambannya migrasi dan pendistribusian alat bantu siaran digital disebabkan sejumlah faktor. Pertama, biaya investasi infrastruktur siaran televisi digital terestrial cukup besar. Sementara saat bersamaan, ada tren perubahan perilaku menikmati audio visual di masyarakat. Publik sudah tidak lagi tergantung pada lembaga penyiaran mainstream untuk mengakses audiovisual. Mereka telah beralih ke aplikasi internet ( over the top/OTT) yang dianggap lebih fleksibel.
RADITYA HELABUMI
Pekerja melakukan instalasi perangkat lunak alat bantu siaran televisi digital (set top box/STB DVB-T2) yang diproduksi oleh perusahaan manufaktur PT Pampas Electric di Kawasan Industri Delta Silicon, Cikarang Selatan, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/12/2021).
Kedua, faktor kepentingan bisnis tertentu dari korporasi LPS yang takut kehilangan segmen penonton terbesar mereka, yakni kelompok menengah ke bawah, jika harus bermigrasi ke siaran televisi digital. Ada pula yang menginginkan migrasi sebaiknya berlangsung secara alamiah, tidak perlu diatur-atur dan diberi tenggat.
Padahal, ketika ASO tidak segera terealisasi, itu akan menimbulkan pemborosan sumber daya. Spektrum frekuensi 700 MHz, yang jika ASO sukses, bisa dipakai siaran televisi digital terestrial dan kebutuhan lain, terutama kebutuhan spektrum frekuensi yang dialami operator telekomunikasi seluler untuk layanan 5G. Berlarut-larutnya masalah ASO akan membuat Indonesia kehilangan digital dividen. Negara-negara tetangga juga tidak dapat mengimplementasikan ASO mereka dengan bebas karena terjadi interferensi tadi.
Hal terakhir yang harus ditegaskan pemerintah adalah, jika proses migrasi berjalan, akan tercipta keadilan bagi lembaga penyiaran publik lokal, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran swasta lokal yang bisa mendapat harga sewa multipleksing terjangkau. Jangan sampai mereka tertutup kesempatannya di era siaran digital terestrial dan berdampak pada isu ketiadaan keragaman konten.