Pembahasan Subsidi Pangan di WTO Masuki Babak Baru
WTO tengah mematangkan tiga draf teks tentang reformasi perdagangan pertanian, perdagangan dan ketahanan pangan, serta pembebasan komoditas pangan yang dibeli WFP PBB untuk tujuan kemanusiaan dari larangan ekspor.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan kenaikan inflasi global membawa babak baru pembahasan subsidi dan cadangan pangan di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Sebanyak 60 negara, termasuk Indonesia, menginginkan WTO memperlonggar regulasi subsidi dan cadangan pangan untuk menjaga ketahanan stok dan kesejahteraan petani di dalam negeri.
Hal itu merupakan salah satu bagian dari tiga draf teks yang tengah dibahas WTO. Ketiga teks itu meliputi rancangan keputusan menteri tentang reformasi perdagangan pertanian, rancangan deklarasi menteri tentang perdagangan dan ketahanan pangan, serta rancangan deklarasi menteri tentang pembebasan komoditas pangan yang dibeli Program Pangan Dunia (WFP) PBB untuk tujuan kemanusiaan dari larangan ekspor.
Pembahasan tersebut bergulir dalam pertemuan para ketua delegasi negara-negara anggota WTO di Geneva, Swiss, 1-2 Juni 2022. WTO berharap draf itu dapat kelar dan disetujui dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO Ke-12 pada 12-15 Juni 2022 di Geneva.
Ketua Negosiasi Bidang Pertanian WTO dan juga Duta Besar Kosta Rika untuk WTO Gloria Abraham Peralta menyatakan, pembahasan ketiga draf teks itu penting untuk menjaga arus rantai pasok pangan dan meminimalkan distorsi perdagangan. Teks tersebut juga turut mempertimbangkan kebutuhan pangan negara-negara kurang berkembang (LDCs) dan negara-negara berkembang pengimpor pangan bersih (NFIDCs).
”WTO juga akan memastikan pembebasan pembatasan ekspor komoditas pangan yang dibeli oleh WFP tidak akan memengaruhi hak anggota untuk membuat kebijakan domestik guna memastikan ketahanan pangan di dalam negeri,” ujarnya dalam siaran pers, Kamis (2/6/2022).
Pembahasan ketiga draf teks itu penting untuk menjaga arus rantai pasok pangan dan meminimalkan distorsi perdagangan.
Dalam pembahasan itu, kelompok G33, termasuk Indonesia, China, India, Pakistan, Mesir, serta negara-negara di Afrika, Karibia, dan Pasifik, berharap ada solusi permanen atas subsidi dan cadangan pangan. Di tengah ancaman inflasi pangan dan energi, serta restriksi pangan, WTO perlu mengubah regulasi lama terkait subsidi dan cadangan pangan.
Perwakilan negara-negara tersebut meminta kebijakan subsidi dan cadangan pangan harus memperhitungkan tingkat inflasi dan juga didasarkan pada harga referensi baru. Mereka menyarankan metodologi baru untuk menghitung subsidi dengan memperhitungkan tingkat inflasi dalam penentuan harga referensi eksternal (external reference price/ERP) atau berdasarkan perkembangan harga komoditas pangan lima tahun terakhir.
Selama ini, WTO mengamanatkan kebijakan subsidi dan cadangan pangan yang dibuat setiap negara anggota tidak boleh melanggar 10 persen dari nilai produksi berdasarkan ERP 1986-1988. Hingga kini, ERP tersebut belum diperbarui.
Mereka, terutama India, juga meminta agar klasifikasi komoditas yang diperbolehkan disubsidi atau yang tidak diizinkan. Dalam terminologi WTO, subsidi diidentifikasikan dengan ”kotak-kotak” yang diberi warna lampu lalu lintas. Hijau berarti diizinkan, kuning dikurangi, dan merah dilarang.
Selain itu, ada juga kotak biru untuk subsidi yang terkait dengan program atau kebijakan pembatasan produksi. Ada juga kotak pengembangan yang disebut S&D (special and differential treatment provisions) bagi negara-negara bekembang dan berpenghasilan rendah.
Pada Desember 2013 di Bali, Indonesia sebenarnya telah mengusulkan solusi sementara untuk mengatasi perbedaan subsidi pangan antarnegara anggota WTO. Solusi itu tertuang dalam Klausul Perdamaian. Klausul itu menetapkan bahwa tidak ada negara yang secara hukum dilarang dari program ketahanan pangan untuk rakyatnya, bahkan jika subsidi tersebut melanggar batas yang ditentukan dalam Perjanjian WTO tentang Pertanian.
Selain pandemi Covid-19, dunia saat ini tengah menghadapi tantangan kenaikan inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi. Perang Rusia-Ukraina yang diperburuk dengan maraknya restriksi pangan yang dilakukan negara produsen pangan membuat kenaikan harga pangan lambat turun dan inflasi di sejumlah negara meningkat.
International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyebutkan, sejak invasi Rusia atas Ukraina pada 24 Februari 2022, jumlah negara yang membatasi ekspor bertambah. Per 1 Juni 2022, sebanyak 20 negara masih aktif membatasi ekspor komoditas pangan, 7 negara menerapkan perizinan khusus ekspor, dan 3 negara menaikkan pajak atau pungutan ekspor. Komoditas itu, antara lain, gandum, gula, beras, daging, minyak sawit mentah (CPO), serta minyak dan biji bunga matahari. Selain itu, empat negara masih aktif membatasi ekspor pupuk, dua negara menerapkan perizinan khusus ekspor, dan satu negara menaikkan pajak ekspor.
Indonesia dihadapkan pada tantangan tersebut, yakni menjaga stok dan harga pangan domestik, sekaligus mengatasi restriksi pangan dan hambatan dagang. Hambatan dagang perlu diatasi agar ekspor komoditas Indonesia tidak terganggu.
Setelah hampir tiga tahun menghadapi Madagaskar dalam penyidikan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) terhadap impor minyak nabati dan margarin, Indonesia berhasil merampungkan persoalan itu. Pemerintah Madagaskar memutuskan tidak mengenakan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atas produk-produk tersebut. Keputusan itu tertuang dalam notifikasi Pemerintah Madagaskar kepada WTO pada 17 Desember 2021.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, Pemerintah Madagaskar telah mengambil keputusan yang tepat. Jika BMTP diberlakukan terhadap produk minyak nabati dan margarin, justru akan mempersulit Pemerintah Madagaskar menjaga ketersediaan produk dan harganya di pasar domestik.
”Di sisi lain, keputusan itu dapat mengangkat daya saing produk minyak nabati dan margarin Indonesia di Madagaskar. Indonesia merupakan salah satu eksportir utama produk-produk ini ke Madagaskar. Produk minyak nabati dan margarin asal Indonesia juga menjadi preferensi utama penduduk Madagaskar,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (3/6/2022) malam.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, total perdagangan Indonesia dan Madagaskar pada 2021 naik menjadi 100,68 juta dollar AS dari 2020 yang sebesar 72,10 juta dollar AS. Pada Januari-Maret 2022, perdagangan kedua negara mencapai 67,48 juta dollar AS atau naik dari periode sama 2021 yang sebesar 21,31 juta dollar AS.