Kepentingan Dua Kubu Besar Ramaikan Isu Perdagangan Global
Kepentingan dua kubu besar dalam WTO, kelompok negara maju dan negara berkembang-kurang berkembang, bakal meramaikan isu perdagangan global. TRIPS Waiver, pertanian dan perikanan, serta reformasi WTO jadi isu utamanya.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Di penghujung tahun ini, sejumlah konferensi tingkat tinggi dunia akan digelar. Dua di antaranya adalah Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia ke-12 yang akan digelar pada 30 November-3 Desember 2021 di Geneva, Swiss, dan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-26 pada 31 Oktober-12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia.
Dua konferensi besar ini akan menjadi dasar arah perdagangan global ke depan. Isu-isu perdagangan akan semakin kompleks dan seru, karena tidak hanya menyangkut an sich perdagangan, tetapi juga perubahan iklim dan solidaritas terhadap negara-negara yang masih minim akses terhadap vaksin Covid-19.
KTT Perubahan Iklim ke-26 (COP 26) akan membawa setiap negara di dunia menuju perdagangan dan industri hijau. Setiap negara diminta untuk melaksanakan komitmen mengurangi gas rumah kaca secara bertahap menuju bebas emisi karbon seturut Perjanjian Paris 2015.
Adapun Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-12 akan mengulirkan sejumlah isu perdagangan lama yang masih belum tuntas dibahas dan persoalan baru yang muncul. Tiga isu pokok yang bakal bergulir itu menyangkut krisis perdagangan multilateralisme dan reformasi WTO, Agenda Doha dan Paket Bali, serta pengabaian hak kekayaan intelektual (HAKI) atau Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Waiver.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, Jumat (8/7/2021), mengatakan, dua kubu besar, yaitu negara-negara maju dan negara berkembang-kurang berkembang, akan mewarnai pembahasan isu-isu itu. Kelompok negara maju masih akan fokus pada reformasi WTO, deklarasi mandiri (self declared) status pembangunan negara, dan mempertahankan HAKI.
Amerika Serikat (AS) misalnya, menuding WTO tidak memiliki kriteria jelas untuk menentukan status pembangunan suatu negara. Hal ini membuat negara yang sebenarnya maju tetapi masih berstatus negara berkembang dapat menikmati berbagai fleksibilitas dalam ketentuan perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment/SDT).
"AS menganggap hal itu tidak adil. Beberapa negara dengan status pembangunan yang cukup maju dan dapat diklasifikasikan sebagai negara kaya justru menikmati status negara berkembang dan fleksibilitas SDT. Negara-negara itu antara lain Singapura, Hong Kong, China, Israel, Kuwait, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, dan Qatar," kata Rachmi ketika dihubungi di Jakarta.
Menurut Rachmi, negara-negara maju juga tidak akan menyepakati proposal TRIPS Waiver yang diusung India dan Afrika Selatan yang didukung sejumlah negara berkembang dan kurang berkembang, termasuk Indonesia. Mereka menilai, tanpai pengabaian HAKI, pemerataan akses vaksin, serta obat-obatan pendukung dan sarana medis penanganan Covid-19 tetap bisa dilakukan.
Sebaliknya, negara-negara berkembang dan kurang berkembang lebih menekankan pada isu reformasi pembangunan inklusif. Isu-isu itu antara lain memperkuat ketentuan SDT bagi negara berkembang dan kurang berkembang dan mengegolkan proposal pengabaian TRIPS untuk memerangi pandemi Covid-19.
Isu-isu itu antara lain memperkuat ketentuan SDT bagi negara berkembang dan kurang berkembang dan mengegolkan proposal pengabaian TRIPS untuk memerangi pandemi Covid-19.
Selain itu, lanjut Rachmi, negara berkembang dan kurang berkembang akan mendorong realisasi Agenda Doha dan Paket Bali terutama di sektor perikanan dan pertanian. Hal itu mencakup isu tentang tanggung jawab yang sama tetapi berbeda (common but differentiated responsibilities) dalam disiplin pelarangan subsidi perikanan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing).
“Di sektor pertanian, isu yang digulirkan menyangkut mekanisme penyediaan stok publik untuk ketahanan pangan (public stockholding for food security purposes/PSH) dan perlindungan domestik menyangkut tindakan pengamanan khusus bagi produk atau industri dalam negeri (special safeguard mechanism/SSM),” ujarnya.
Komitmen Indonesia
Sementara itu, dalam Pertemuan Informal Tingkat Menteri (PITM) WTO di Paris, Perancis, pada 5 Oktober 2021, negara-negara anggota WTO membahas isu-isu tetang TRIPS Waiver, subsidi perikanan, pertanian, dan reformasi WTO. PITM itu dihadiri 23 menteri dan perwakilan negara kunci WTO, termasuk Indonesia yang diwakili oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.
“Indonesia akan berupaya menjembatani kepentingan antara negara maju dan negara berkembang, khususnya perundingan pengabaian perjanjian TRIPS,” kata Lutfi melalui siaran pers.
Indonesia merupakan salah satu co-sponsor proposal TRIPS Waiver. Sebagai negara berkembang, Indonesia punya kewajiban moral untuk memperkuat posisi negara berkembang dalam perundingan itu. Tujuannya adalah mendorong akses terhadap kebutuhan vaksin Covid-19, obat, alat dan produk kesehatan untuk penanganan Covid-19 yang distribusinya belum merata, terutama di negara-negara berkembang dan miskin.
Menurut Lutfi, kesepakatan pada isu perdagangan dan kesehatan akan menjadi sinyal positif bagi dunia internasional bahwa WTO dan sistem perdagangan multilateral masih dapat berfungsi, relevan, dan kredibel. Namun, proposal pengabaian sementara ketentuan TRIPS masih diberdebatkan.
Adapun pada isu subsidi perikanan, beberapa negara, termasuk Indonesia menilai draf teks negosiasi masih belum seimbang. Draft tersebut masih belum mencakup ketentuan SDT. "SDT itu tidak cukup kalau sekadar berupa bantuan teknis dan pengembangan kapasitas, namun perlu juga ruang kebijakan yang berpihak pada industri perikanan dan nelayan tradisional," kata Lutfi.
Indonesia juga berhasil menggalang dukungan politik dari negara-negara berkembang dan kurang berkembang dalam PITM G33 pada 16 September 2021. Bersama negara-negara tersebut, Indonesia akan mengusung isu pertanian menjadi Paket Kebijakan dalam KTM WTO ke-12.
Kesepakatan bersama G33 ini merupakan upaya melindungi kepentingan petani kecil dan miskin di negara berkembang dan kurang berkembang, mewujudkan ketahanan pangan, kesejahteraan penghidupan, dan pembangunan pedesaan.
Lutfi menjelaskan, kesepakatan bersama G33 ini merupakan upaya melindungi kepentingan petani kecil dan miskin di negara berkembang dan kurang berkembang, mewujudkan ketahanan pangan, kesejahteraan penghidupan, dan pembangunan pedesaan. Saat ini, masih banyak negara maju memberikan subsidi dengan nilai yang cukup tinggi kepada petani sehingga mendistorsi perdagangan global.
Dalam KTM WTO ke-12 nanti, perwakilan negara G33 akan meminta diberikan ruang kebijakan dalam rangka menjamin ketahanan pangan dan mempertahankan pertanian skala kecil sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat miskin.
“Konsolidasi G33 tersebut diperlukan untuk menyelesaikan isu prioritas WTO dan mencari jalan keluar tentang PSH, SSM, dan pemotongan subsidi pertanian yang mendistorsi perdagangan,” kata dia.