Proteksi Daya Beli Masyarakat Jadi Prioritas Anggaran Belanja
Dinamika global yang belakangan terjadi membuat dua pos belanja anggaran negara, yakni pos belanja subsidi energi serta pos belanja perlindungan sosial, menjadi sangat vital untuk menjaga daya beli masyarakat.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan untuk kembali mengutak-atik fiskal guna merespons dinamika global yang dapat memicu inflasi, salah satunya akibat terkereknya harga energi dunia. Pada akhirnya, anggaran belanja negara tahun ini difokuskan sebagai instrumen penjaga daya beli rakyat sehingga risiko global dapat diantisipasi secara lebih optimal.
Upaya meracik ulang anggaran dilakukan untuk mengakomodasi penebalan anggaran belanja negara untuk subsidi energi dan perlindungan sosial. Kedua pos belanja itu wajib dinaikkan untuk menjaga daya beli masyarakat demi memastikan inflasi tetap terkendali.
Dalam konferensi pers APBN Kita yang dilakukan secara virtual, Senin (23/5/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kenaikan harga minyak memang menjadi katalis positif bagi penerimaan negara. Akan tetapi, kondisi ini juga membawa konsekuensi besar, yakni makin gemuknya kebutuhan belanja untuk subsidi energi dan perlindungan sosial.
Belanja subsidi energi juga melonjak cukup tinggi, konsekuensi dari kenaikan harga energi dunia. (Sri Mulyani Indrawati)
”Melalui APBN, pemerintah memberikan perlindungan sosial yang sangat tinggi, terutama pada triwulan I-2022. Belanja subsidi energi juga melonjak cukup tinggi, konsekuensi dari kenaikan harga energi dunia,” kata Sri Mulyani.
Eskalasi tensi geopolitik, terutama konflik Rusia-Ukraina, menyebabkan lonjakan harga komoditas pangan dan energi. Sri Mulyani mencatat, hingga 30 April 2022, harga gas alam dunia melonjak 125,8 persen secara tahunan. Kenaikan harga pada periode yang sama juga dialami oleh batubara (166 persen), minyak mentah jenis Brent (45,7 persen), hingga minyak kelapa sawit mentah atau CPO (20,9 persen).
Gejolak yang terjadi pada harga energi dunia menyebabkan adanya selisih dalam asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang dalam APBN 2022 ditetapkan sebesar 63 dollar AS per barel. Padahal, harga ICP pada Maret 2022 sempat menyentuh level 113,5 dollar AS per barel akibat konflik Rusia-Ukraina yang masih berlanjut sehingga mengerek harga minyak mentah di pasar internasional.
Selisih tersebut memicu terjadinya kekurangan kebutuhan anggaran untuk subsidi energi dan pembayaran kompensasi kepada PT Pertamina (Persero). Sri Mulyani mengatakan, Badan Anggaran DPR telah menyetujui kenaikan biaya subsidi energi tahun ini sebesar Rp 74,9 triliun. Dengan demikian, alokasi subsidi energi yang sebelumnya ditetapkan dalam APBN 2022 sebesar Rp 134 triliun naik menjadi Rp 208,9 triliun.
Kementerian Keuangan mencatat realisasi belanja subsidi energi untuk bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji sejak awal Januari hingga April 2022 sudah mencapai Rp 34,8 triliun, naik hingga 50 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 23,2 triliun.
”Tingginya pertumbuhan realisasi belanja subsidi di luar perlindungan sosial ini diakibatkan kenaikan harga minyak mentah Indonesia yang menyebabkan naiknya harga komoditas energi,” ujar Sri Mulyani.
Sementara itu, Badan Anggaran DPR juga telah menyetujui tambahan anggaran perlindungan sosial pada tahun ini senilai Rp 18,6 triliun. Dengan adanya tambahan anggaran ini, anggaran perlindungan sosial dalam APBN 2022 menjadi Rp 431,5 triliun.
Menurut Sri Mulyani, penambahan anggaran perlindungan sosial merupakan bentuk antisipasi atas risiko inflasi global. Dengan begitu, fungsi APBN sebagai stabilitator sosial dapat dimaksimalkan seoptimal mungkin.
Kementerian Keuangan melaporkan, realisasi belanja untuk perlindungan sosial sejak awal Januari hingga April 2022 telah mencapai Rp 129 triliun, meningkat 2,88 persen dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 124 triliun.
Sri Mulyani menambahkan, kenaikan belanja perlindungan sosial dipengaruhi oleh percepatan penyaluran bantuan sosial, penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), peningkatan realisasi subsidi BBM dan elpiji, serta peningkatan realisasi BLT dana desa.
”Realisasi pada program perlindungan sosial sangat tinggi, terutama pada masa pemulihan ekonomi di empat bulan pertama tahun ini, pada saat guncangan semakin tinggi,” ucap Sri Mulyani.
Tingkat inflasi pada tahun ini, imbuh Sri Mulyani, berpotensi menanjak sehingga berisiko menimbulkan distorsi di pasar keuangan. ”Untuk itu kami melihat 2022 dengan kecenderungan inflasi dan kami harus menjaga APBN secara hati-hati,” katanya.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo optimistis APBN masih memiliki ruang untuk menambah subsidi. ”Selain dengan opsi realokasi anggaran, pemerintah juga memiliki peluang dari potensi tambahan penerimaan negara,” ujarnya.
Belum pulih
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, penambahan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 18,6 triliun terhitung kecil jika dibandingkan dengan daya beli masyarakat kelompok ekonomi menengah ke bawah yang berpotensi melemah.
Potensi pelemahan daya beli, lanjutnya, disebabkan oleh faktor pendapatan yang masih belum pulih seperti masa sebelum pandemi sehingga kelompok rentan berisiko mengalami tekanan inflasi lebih berat, terutama yang bersumber dari komoditas pangan.
Potensi pelemahan daya beli masyarakat dipicu oleh faktor pendapatan yang masih belum pulih seperti masa sebelum pandemi sehingga kelompok rentan berisiko mengalami tekanan inflasi lebih berat, terutama yang bersumber dari komoditas pangan. (Bhima Yudhistira)
”Jika mau memastikan daya beli masyarakat terjaga, tambahan anggaran perlindungan sosial mencapai Rp 50 triliun-Rp 80 triliun. Namun, dengan begitu, terdapat konsekuensi pelebaran defisit fiskal,” ucap Bhima.
Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyampaikan tantangan inflasi pada tahun ini ditentukan oleh tiga faktor, yakni durasi konflik Rusia-Ukraina, prospek pemulihan ekonomi China dan AS yang berkorelasi dengan ekonomi nasional ataupun rantai pasok global, serta kebijakan ekonomi domestik.