Apabila subsidi energi tidak ditambah, harga jual BBM eceran dan tarif listrik harus dinaikkan. Pemerintah berupaya melindungi daya beli masyarakat.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengusulkan kepada legislatif untuk menambah anggaran subsidi energi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2022. Usulan dilakukan menyusul lonjakan harga minyak dunia yang semakin menjauhi asumsi harga minyak mentah Indonesia. Usulan tersebut membuat kebutuhan anggaran subsidi energi membengkak menjadi Rp 208,9 triliun.
Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR, di Jakarta, Kamis (19/5/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, dukungan tambahan anggaran subsidi dan kompensasi energi diperlukan agar APBN tetap mampu melindungi daya beli masyarakat dari lonjakan harga komoditas energi, khususnya minyak bumi.
Lonjakan harga minyak dunia membuat pemerintah mengusulkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik dari sebelumnya 63 dollar AS per barel menjadi ke kisaran 99,4 dollar AS per barel-102,5 dollar AS per barel. Hingga Kamis sore, mengutip Bloomberg, minyak mentah jenis Brent dijual 107,25 dollar AS per barel.
Sejalan dengan kenaikan ICP, pemerintah juga mengusulkan tambahan anggaran subsidi energi Rp 74,9 triliun dari sebelumnya yang telah ditetapkan dalam APBN 2022 sebesar Rp 134 triliun.
Usulan tambahan subsidi energi tersebut terdiri dari Rp 71,8 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji serta Rp 3,1 triliun untuk subsidi listrik. Dengan kenaikan ini, keseluruhan anggaran subsidi energi untuk tahun 2022 mencapai Rp 208,9 triliun.
”Hanya ada dua pilihan. Kalau tidak ada tambahan subsidi energi dan kompensasi, harga BBM dan listrik harus naik,” kata Sri Mulyani.
Adanya selisih antara harga ICP yang tercantum dalam APBN 2022 saat ini dan realitas harga minyak dunia turut membengkakkan pembayaran kompensasi harga energi kepada PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Pembayaran kompensasi energi membengkak dari Rp 216,1 triliun menjadi Rp 293,5 triliun. Rincian tambahan pembayaran kompensasi tersebut, di antaranya, kompensasi BBM kepada Pertamina Rp 255,5 triliun dan kompensasi listrik kepada PLN Rp 41 triliun.
Jumlah ini belum termasuk adanya tagihan kompensasi tahun-tahun sebelumnya kepada Pertamina dan PLN yang mencapai Rp 108,4 triliun.
Hanya ada dua pilihan. Kalau tidak ada tambahan subsidi energi dan kompensasi, harga BBM dan listrik harus naik. (Sri Mulyani)
Kendati begitu, Sri Mulyani mengusulkan pembayaran untuk tahun ini Rp 275 triliun dari total tambahan pembayaran kompensasi tersebut, terdiri dari kompensasi BBM Rp 234 triliun dan kompensasi listrik Rp 41 triliun.
”Sisanya nanti kami akan minta audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan pembayaran pada 2023,” kata Sri Mulyani.
Beban subsidi
Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan, dinamika yang ada saat ini telah membuat pengelolaan keuangan negara rentan terdampak gejolak. Perubahan pada sektor belanja negara perlu dilakukan untuk mengimbangi beban subsidi energi sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga.
Dihubungi secara terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo optimistis APBN masih memiliki ruang untuk menambah subsidi.
”Selain dengan opsi realokasi anggaran, pemerintah juga memiliki peluang dari potensi tambahan penerimaan negara,” ujarnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai, keputusan pemerintah menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi sudah tepat untuk mendukung pemulihan ekonomi.
”Kebutuhan BBM bersubsidi meningkat, tetapi harga tetap stabil. Ini membuat disposable income rumah tangga meningkat. Akhirnya, sisa pendapatan bisa digunakan untuk belanja lain,” ucap Bhima.
Perubahan anggaran
Sri Mulyani memperkirakan, belanja negara tahun ini akan mencapai Rp 3.106,5 triliun, bertambah Rp 392,3 triliun dari penetapan APBN 2022 yang sebesar Rp 2.714,2 triliun.
Selain didorong oleh kenaikan subsidi dan kompensasi energi, anggaran belanja negara diperkirakan juga bertambah karena penebalan anggaran perlindungan sosial Rp 19,86 triliun dan anggaran pendidikan Rp 23,9 triliun.
Meski ada pembengkakan anggaran belanja tahun ini, Sri Mulyani mengatakan, defisit anggaran tak serta-merta naik. Pasalnya, pendapatan negara lebih tinggi dari perkiraan awal sejalan dengan kenaikan harga komoditas global, seperti batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Pendapatan negara diperkirakan bertambah Rp 420,1 triliun dari sebelumnya Rp 1.846,1 triliun menjadi Rp 2.266,2 triliun. Kenaikan tersebut berasal dari peningkatan penerimaan perpajakan Rp 274 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 146,1 triliun.
”Kenaikan pendapatan negara digunakan untuk menambal belanja negara agar persentase defisit APBN tahun ini bisa ikut turun dari target sebelumnya 4,85 persen menjadi 4,5 persen dari PDB,” ujarnya.