Lewat dari Target Awal, Pekerja Masih Menanti Cairnya Bantuan Subsidi Upah
Bantuan subsidi upah bagi pekerja belum cair meski awalnya dijanjikan akan cair pada bulan April bertepatan dengan Lebaran. Kesiapan anggaran negara untuk menjalankan program tersebut pun dipertanyakan.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program bantuan subsidi upah yang awalnya dijanjikan cair pada bulan April untuk menjaga daya beli pekerja di tengah naiknya harga sejumlah kebutuhan pokok tak kunjung disalurkan. Pemerintah diharapkan segera mengeksekusi program tersebut untuk menjaga laju konsumsi masyarakat selepas momen hari raya.
Menurut rencana awal, bantuan subsidi upah (BSU) akan ditujukan bagi 8,8 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta. Besaran yang diterima adalah Rp 500.000 per orang per bulan, yang akan diberikan sekaligus untuk dua bulan. Pemerintah telah menyiapkan anggaran senilai Rp 8,8 triliun untuk menjalankan program tersebut. Namun, hingga sekarang, bantuan tak kunjung turun.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, untuk memastikan geliat roda perekonomian tetap berjalan, konsumsi masyarakat seharusnya dijaga. Salah satunya, melalui instrumen BSU bagi pekerja. Namun, bantuan itu belum juga cair meskipun awalnya pemerintah menjanjikan akan cair pada April 2022 bertepatan dengan momen Lebaran.
Mirah pun meragukan kesiapan dana pemerintah untuk menjalankan program tersebut. ”Pemerintah tampaknya lebih memprioritaskan pengeluaran anggaran untuk hal-hal lain yang dinilai lebihurgen. Padahal, BSU bagi pekerja bisa mengangkat konsumsi masyarakat, yang ujung-ujungnya akan menggerakkan dunia usaha dan roda perekonomian nasional,” katanya, Minggu (8/5/2022).
Ia mengatakan, pekerja masih menantikan turunnya dana BSU tersebut. Apalagi, sampai sekarang, harga sejumlah barang kebutuhan pokok belum kembali normal. Per 7 Mei 2022, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras masih mengalami kenaikan harga dibandingkan sebulan sebelumnya. Harga daging sapi naik 7,56 persen, daging ayam ras naik 7,45 persen, dan telur ayam ras naik 5,38 persen.
Demikian pula kebutuhan pokok lain seperti bawang merah yang harganya masih naik 9,8 persen pada kurun waktu yang sama. Harga minyak goreng curah pun belum menyentuh harga eceran tertinggi (HET). Meskipun menurun 5,4 persen dibandingkan bulan lalu, rata-rata harga minyak goreng curah masih Rp 17.300 per liter, di atas HET Rp 14.000 per liter.
Dalam Hari Buruh, 1 Mei 2022 lalu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, pemerintah masih menyiapkan landasan hukum untuk program BSU tahun 2022. ”Saat ini, kami masih mempersiapkan instrumen kebijakan pelaksanaan BSU 2022, untuk memastikan program ini dijalankan secara lebih cepat, tepat, akurat dan akuntabel,” kata Ida.
Pekerja masih menantikan turunnya dana BSU tersebut. Apalagi, sampai sekarang, harga sejumlah barang kebutuhan pokok belum kembali normal.
Harus transparan
Komisioner Ombudsman RI Robert Endy Jaweng pun meminta pemerintah menjelaskan secara terbuka kepada publik yang masih menanti turunnya BSU mengenai alasan di balik keterlambatan pencairan dana itu. Selain faktor regulasi yang belum selesai disusun, ia juga menduga ada masalah keterbatasan anggaran untuk membiayai program tersebut.
”Harus transparan, agar tidak memunculkan pertanyaan dan asumsi dari para pekerja calon penerima manfaat. Sejauh mana progress pelaksanaannya dari sisi kebijakan, teknisnya bagaimana, dan kapan kira-kira program itu akan efektif diberlakukan,” katanya.
Menurut dia, dana BSU yang terlambat cair dapat mengganggu daya beli pekerja di tengah kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok. Ia berharap pemerintah dapat segera mengeksekusi program BSU untuk menjaga konsumsi masyarakat pasca-Lebaran.
”Momentum yang tepat untuk mencairkannya adalah sekarang, selesai Lebaran, untuk tetap menjaga laju permintaan dan konsumsi masyarakat. Apalagi, masih ada ribuan kasus pekerja yang tunjangan hari rayanya belum dibayarkan. BSU menjadi harapan untuk menyubsidi biaya hidup,” kata Robert.
Setengah hati
Selain persoalan dana yang tak kunjung turun, kebijakan BSU juga dinilai setengah hati. Sebelumnya, belajar dari pengalaman dua tahun yang lalu, berbagai unsur, dari serikat buruh, ekonom dan akademisi, serta Ombudsman RI, telah memberi masukan agar pemerintah memperluas cakupan penerima bantuan dan tidak hanya berpatok pada data BP Jamsostek yang eksklusif. Namun, pemerintah tetap kukuh menggunakan data BP Jamsostek sebagai acuan tunggal.
”Dari awal, kebijakan ini sudah terkesan setengah hati. Seolah-olah hanya supaya negara tidak dianggap absen di tengah krisis kebutuhan pokok. Padahal, kenyataannya, banyak pekerja yang sebenarnya lebih membutuhkan tidak bisa mendapat bantuan karena syarat penerima yang sangat eksklusif,” kata Mirah.
Kenyataannya, banyak pekerja yang sebenarnya lebih membutuhkan tidak bisa mendapat bantuan karena syarat penerima yang sangat eksklusif.
Ia mencontohkan, ada banyak buruh kelapa sawit di perusahaan-perusahaan ternama yang selama dua tahun terakhir ini tidak pernah tersentuh BSU sama sekali. Meskipun upah mereka ada di kisaran Rp 1 juta, hanya karena perusahaan tidak mendaftarkan mereka di BP Jamsostek, mereka tidak berhak mendapat bantuan. Kasus serupa juga banyak ditemukan di berbagai sektor lain.
Menurut Mirah, jika pemerintah mau berusaha lebih keras, perluasan cakupan penerima seharusnya dapat dilakukan dengan mengonsolidasikan data dari berbagai sumber. Seperti diketahui, selama ini, pemerintah berdalih perluasan cakupan penerima bantuan tidak bisa dilakukan karena masalah data yang tidak tersedia.
”Pemerintah punya jaringan dan perangkat yang sangat luas sampai ke daerah, seharusnya itu bisa dipakai. Atau, paling tidak, bisa bekerja sama dengan konfederasi serikat buruh yang pasti memiliki data anggota, data itu kemudian tinggal diverifikasi,” katanya.
Robert mengatakan, Ombudsman sudah menyampaikan rekomendasi ke pemerintah agar syarat penerima BSU dibuat lebih inklusif bagi pekerja formal non-BP Jamsostek dan pekerja informal. Namun, gayung tak bersambut. ”Kesan yang kami tangkap, pemerintah memang tidak mau repot dengan urusan data, makanya berbasis pada data BP Jamsostek,” ujarnya.
Hal itu tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Sebab, jika demikian, pekerja formal dan informal yang tidak terdaftar di BP Jamsostek akan selalu terlewatkan setiap kali program bantuan sosial bagi pekerja digulirkan. ”Instrumen perlindungan sosial ke depan harus lebih inklusif. Jangan sampai karena pemerintah tidak mau repot dan mau yang pasti-pasti saja, banyak pekerja yang dikucilkan,” katanya.