Pemerintah dinilai buruk serta tak matang dalam merumuskan dan mengambil kebijakan terkait larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Inkonsistensi kebijakan itu akan menimbulkan sentimen negatif pasar.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perumusan dan pengambilan kebijakan pemerintah tentang larangan ekspor minyak goreng beserta bahan bakunya dinilai buruk. Inkonsistensi kebijakan itu justru akan mengacaukan pasar dan menuai reaksi internasional.
Dalam tempo sehari, pemerintah kembali meralat kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Pada Selasa (26/4/2022) malam, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, larangan ekspor itu hanya ditujukan pada refined, bleached, dan deodorized (RBD) palm olein yang memiliki tiga kode klasifikasi barang perdagangan (harmonized system/HS), yaitu HS 1511.90.36, HS 1511.90.37, dan HS 1511.90.39.
Kemudian pada Rabu (27/4/2022) malam, Airlangga menyatakan, pemerintah tidak hanya melarang ekspor RBD palm olein, tetapi juga minyak kelapa sawit mentah (CPO), refined palm oil (RPO), palm oil mill effluent (POME) atau limbah sawit, dan minyak jelantah (used cooking oil). Airlangga mengumumkan hal itu setelah mendapatkan arahan dari Presiden Joko Widodo.
Sebelumnya, pada 22 April 2022, Presiden mengumumkan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng tanpa memerinci produk-produk yang akan dilarang. Hal itu menyebabkan kesimpangsiuran informasi dan menyebabkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani turun drastis.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Rabu, menilai, pemerintah buruk serta tidak matang dalam merumuskan dan mengambil kebijakan terkait larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Hal itu terlihat dari perubahan dan koreksi kebijakan yang sangat cepat.
Ini menunjukkan tidak ada analisis yang mendalam, ada sejumlah kepentingan, dan tidak dilibatkannya pelaku usaha dan petani sawit dalam perumusan kebijakan itu. Inkonsistensi kebijakan itu memunculkan sentimen negatif pasar sehingga membuat harga TBS di tingkat petani turun drastis.
”Inkonsistensi kebijakan ini juga akan dicermati oleh negara-negara lain sehingga akan memperburuk citra Indonesia dan berpotensi memunculkan tekanan internasional terhadap Indonesia,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Rabu.
Ini menunjukkan tidak ada analisis yang mendalam, ada sejumlah kepentingan, dan tidak dilibatkannya pelaku usaha dan petani sawit dalam perumusan kebijakan itu. Inkonsistensi kebijakan itu memunculkan sentimen negatif pasar sehingga membuat harga TBS petani turun drastis.
Namun, lanjut Tauhid, kebijakan larangan eskpor CPO dan sejumlah produk turunannya sudah diputuskan. Kini tinggal bagaimana pemerintah mengawasi, memanfaatkan, dan mendistribusikannya dengan baik.
Selama ini pengawasan dan distribusi selalu menjadi kendala karena pemerintah tidak menguasai jaringannya. Jangan sampai kebijakan ini justru tidak membuat harga minyak goreng curah turun sesuai target pemerintah, yaitu sebesar Rp 14.000 per liter.
”Pastikan distribusinya melibatkan sejumlah badan usaha milik negara, seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) dan Perum Bulog,” ujarnya.
Sementara itu, hingga Rabu pukul 21.00, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indnonesia (Gapki) belum merespons permintaan Kompas untuk menanggapi pernyataan terbaru Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tersebut. Namun, pada Rabu sore atau sebelum kebijakan larangan terbaru itu diumumkan, Gapki berharap pemerintah tidak menerapkan kebijakan larangan RBD palm olein lebih dari sebulan.
Seketaris Jenderal Gapki Eddy Martono menuturkan, melalui larangan ekspor RBD palm olein, stok bahan baku minyak goreng di dalam negeri akan berlimpah. Gapki mencatat, produksi TBS kelapa sawit pada tahun 2021 mencapai 234,44 juta ton. Dari jumlah itu, CPO yang diproduksi mencapai 52,099 juta ton dan RBD palm olein sebanyak 22,47 juta ton.
Pada tahun yang sama, jumlah CPO yang diekspor sebanyak 2,77 juta ton dan RBD palm olein sebanyak 14,17 juta kiloliter diekspor. Khusus RBD palm olein, dari total produksi yang sebesar 22,4 juta ton, sebanyak 8,3 juta kiloliter untuk kebutuhan di dalam negeri.
Berdasarkan data tersebut, lanjut Eddy, kebutuhan RBD palm olein di dalam negeri per bulan sebanyak 691.666 kiloliter. Tanpa ada larangan ekspor komoditas itu, kebutuhan akan bahan baku minyak goreng secara bulan sudah mencukupi.
Dengan larangan tersebut, kebutuhan akan RBD palm olein itu berarti akan bertambah 1,18 juta kiloliter menjadi 1,87 juta kiloliter. Artinya, dalam sebulan penerapan kebijakan itu, persoalan pemenuhan kebutuhan akan bahan baku minyak goreng dalam negeri sudah terselesaikan.
”Tinggal bagaimana menyelesaikan persoalan distribusi dan pengawasan penyalurannya. Hal ini mengingat perusahan-perusahaan produsen RBD palm olein ada yang memiliki jaringan distribusi dan ada yang hanya berorientasi ekspor,” ujarnya.
Dengan larangan tersebut, kebutuhan akan RBD palm olein itu berarti akan bertambah 1,18 juta kiloliter menjadi 1,87 juta kiloliter. Artinya, dalam sebulan penerapan kebijakan itu, persoalan pemenuhan kebutuhan akan bahan baku minyak goreng dalam negeri sudah terselesaikan.
Oleh karena itu, lanjut Eddy, pemerintah perlu menunjuk Perum Bulog untuk mendistribusikan bahan baku minyak goreng dan minyak goreng yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki jaringan distribusi di dalam negeri. Gapki mengapresiasi upaya pemerintah tersebut.
Gapki juga berharap agar dana subsidi minyak goreng curah dikelola Bulog, bukan pengusaha ataupun produsen terkait. Salah satu caranya ialah Bulog bisa membelinya dari para produsen tersebut.
Ketika ditanya terkait potensi peralihan ekspor RBD palm olein menjadi CPO, Eddy berpendapat, volume ekspor CPO memang lebih kecil dibandingkan volume ekspor RBD palm olein. Namun, apabila kebijakan itu hanya berlaku sementara dan tidak lebih dari sebulan, pengalihan ekspor itu tidak akan terjadi. Saat ini Gapki akan fokus untuk memenuhi permintaan pemerintah.