Ketimbang ”membakar seisi rumah” dengan menghentikan ekspor CPO, pemerintah perlu fokus memburu ”tikus” yang membuat target stabilisasi pasokan/harga minyak goreng tak tercapai. Dampak larangan ekspor tidaklah ringan.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Pekerja menutup tangki yang telah penuh dengan minyak goreng curah di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (24/7/2020). CPO yang sudah diolah menjadi minyak goreng tersebut didatangkan dari Kalimantan Tengah untuk kemudian dikirim di pabrik pengemasan minyak goreng di kawasan Pulogadung, Jakarta.
Harga minyak kedelai di Chicago Board of Trade, Jumat (22/4/2022), mencapai lebih dari 84 sen per pon dan menggapai rekor tertinggi baru dalam lima tahun terakhir. Lonjakan itu terjadi tidak lama setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai 28 April 2022. Keputusan tak terduga dari Indonesia itu dinilai meningkatkan kekhawatiran tentang pasokan minyak nabati global yang terbatas.
Langkah Indonesia juga dianggap bakal mendorong inflasi pangan yang sudah melonjak di banyak negara beberapa bulan terakhir. Apalagi larangan terjadi di tengah keterbatasan pasokan minyak bunga matahari, minyak kedelai, dan minyak lobak (rapeseed). Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, harga pangan dunia melonjak hampir 13 persen pada Maret 2022 dan mencapai rekor tertinggi baru di tengah gejolak pasar komoditas biji-bijian pokok dan minyak nabati akibat perang Rusia-Ukraina.
Namun, tak hanya ke pasar global, pelarangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng akan tertransmisi ke pasar dalam negeri. Pihak yang akan paling terdampak oleh kebijakan itu di dalam negeri adalah para petani kelapa sawit rakyat karena segenap keterbatasannya. Tahun lalu mereka menyumbang 33,8 persen dari 49,7 juta ton produksi minyak sawit nasional.
Serupa dengan situasi saat pemerintah menetapkan kebijakan pemenuhan CPO dan produk turunannya untuk pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO), Januari 2022, petani khawatir pelarangan ekspor CPO kali ini bakal menekan harga jual tandan buah segar (TBS). Pada akhir Januari 2022, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) melaporkan, harga TBS turun dari Rp 3.520 per kilogram (kg) menjadi Rp 2.550 per kg sebelum dan setelah kebijakan DMO diterapkan dengan harga patokan harga CPO Rp 9.300 per kg. Ketentuan tentang harga patokan DMO jadi alasan produsen menekan harga TBS di petani.
Situasinya bisa semakin menekan petani ketika Indonesia menghentikan ekspor CPO. Sebab, industri pengolah diyakini tidak akan menyerap hasil panen petani ketika saluran ke hilir tersumbat. Apalagi, selama ini pasar ekspor menyerap 60-64 persen produksi minyak sawit Indonesia, sementara untuk kebutuhan pangan, biodiesel, dan oleokimia di dalam negeri hanya 8 juta-9 juta ton per tahun.
Penghentian ekspor CPO juga bakal menutup celah pemasukan devisa bagi negara. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, nilai ekspor CPO Indonesia tahun lalu mencapai 35 miliar dollar AS atau sekitar Rp 504 triliun (asumsi Rp 14.400 per dollar AS). Angka itu naik 52,8 persen dari 22,9 miliar dollar AS tahun 2020 karena didorong oleh lonjakan harga rata-rata CPO yang mencapai 1.194 dollar AS per ton atau naik 67 persen dibandingkan 715 dollar AS per ton tahun 2020.
Selain itu, penghentian ekspor CPO bakal menyumbat aliran dana pungutan ekspor. Padahal, selama ini dana itu menopang program biodiesel yang diharapkan pemerintah dapat menekan ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM) impor sekaligus mendorong transisi ke energi yang lebih bersih. Dana pungutan ekspor juga diharapkan dapat menyokong peremajaan kelapa sawit petani rakyat kendati selama ini porsinya masih sangat kecil.
Di tengah masih tingginya harga CPO di pasar global, penghentian ekspor juga berpotensi membuka celah penyelundupan. Disparitas harga akan selalu mengundang pelaku di seluruh lini untuk mencari celah keuntungan. Disparitas juga membuka celah penyimpangan kewenangan oleh penanggung jawab kebijakan.
Dalam pengumumannya, Presiden menyatakan pemerintah akan mengevaluasi kebijakan itu guna memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau. Namun, sejumlah pihak menilai pemerintah tidak perlu sampai melarang ekspor guna memastikan minyak goreng tersedia dengan harga terjangkau. Sebab, kebutuhan minyak sawit untuk pangan di dalam negeri hanya sekitar 9 juta ton per tahun.
Pemerintah juga memiliki program subsidi minyak goreng curah untuk masyarakat menengah bawah. Ada juga program bantuan langsung tunai minyak goreng untuk 20,5 juta keluarga dan 2,5 juta pedagang kaki lima selama April-Juni 2022. Maka, ketimbang ”membakar seisi rumah” dengan menghentikan ekspor, pemerintah sebaiknya fokus ”memburu tikus” yang membuat target stabilisasi pasokan dan harga minyak goreng belum tercapai. Sebab, dampak pelarangan ekspor tidaklah ringan. Sekujur industri sawit nasional bisa sakit karenanya.