Wapres Sebut Larangan Ekspor Minyak Goreng sebagai Terapi Kejut
Wakil Presiden Ma'ruf Amin berpandangan, terapi kejut kadang kala diperlukan demi menyelamatkan kepentingan nasional dan masyarakat, termasuk dalam tata niaga minyak goreng dan bahan bakunya.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng merupakan terapi kejut yang diharapkan mampu menstabilkan harga dan ketersediaan komoditas tersebut di dalam negeri. Pemerintah akan mengevaluasi efektivitas kebijakan ini setelah beberapa waktu diterapkan.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, keputusan menghentikan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng sudah dibahas dalam sidang kabinet. Kebijakan ini diambil untuk kebaikan semua pihak, terutama kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat.
Tujuannya adalah stabilisasi harga dan ketersediaan. Harga minyak goreng curah yang ditetapkan pemerintah diharap bisa benar-benar diterapkan di lapangan. Selain itu, jangan sampai terjadi kelangkaan minyak goreng langka.
”Langkah-langkah shock terapy kadang-kadang diperlukan pada suatu saat, tetapi kemudian dilakukan evaluasi lagi, saya kira itu,” tutur Wapres Amin saat menjawab pertanyaan media seusai menghadiri peringatan Hari Kekayaan Intelektual Se-Dunia Tahun 2022 di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 6, Jakarta, Selasa (26/4/2022).
Sebelumnya, dalam beberapa kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Jambi, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, didapati harga minyak goreng curah tak sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram. Umumnya minyak goreng curah dijual Rp 17.000-Rp 18.000 per kilogram.
Sehubungan dengan permasalahan minyak goreng ini, keluhan masyarakat pun tak henti-hentinya disampaikan. Selain itu, masih ada penyimpangan berupa pengemasan minyak goreng curah menjadi minyak goreng kemasan sederhana yang harganya diserahkan pada mekanisme pasar.
Langkah-langkah shock terapy itu kadang-kadang diperlukan pada suatu saat, tetapi kemudian dilakukan evaluasi lagi, saya kira itu.
Pada Jumat (22/4/2022), Presiden Jokowi memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, terutama yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Kepala negara menuturkan, dalam rapat tersebut dirinya telah memutuskan bahwa pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian.
”Saya akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau,” kata Presiden Jokowi saat menyampaikan pernyataan terkait kebijakan minyak goreng di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat lalu.
Senada, Wapres Amin menuturkan bahwa setelah tujuan kebijakan itu terpenuhi, evaluasi akan dilakukan. Namun, Wapres tak bisa menyebutkan berapa lama kebijakan ini akan diterapkan. ”Saya kira pemerintah akan melihat, ya, kami akan menjaga kepentingan seluruh pihak. Tidak hanya untuk kemudian akan menimbulkan kerugian di satu pihak,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia menuturkan bahwa larangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) merupakan pilihan terbaik dari yang terjelek. ”Kenapa? Sebenarnya kalau pengusaha-pengusaha ini tertib, kalau kita mau menanggung gotong royong, bareng-bareng, agar harga (minyak goreng curah) domestiknya itu bisa dijaga dengan Rp 14.000 (per liter), kami mungkin enggak akan melarang ekspor CPO itu. (Namun ternyata) DMO-nya di-main-mainin. Harganya enggak ada kesadaran,” kata Bahlil di sesi tanya jawab pada keterangan pers secara luring di Jakarta,yang juga ditayangkan kanal Youtube Kementerian Investasi-BKPM, Senin (25/4/2022).
Bahlil menuturkan, kondisi ini terjadi karena harga komoditas tersebut di dunia sedang tinggi. ”Yang namanya pengusaha, kan, pengin mencari keuntungan besar. Tapi, Presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dia memikirkan dunia usaha tapi jauh lebih penting memikirkan rakyatnya. Nah, ternyata setelah kami cek, ini, kan, cuma dua; supply and demand (penawaran dan permintaan) dan distribusi,” ujarnya.
”Political will”
Bahlil mengatakan, larangan ekspor diputuskan karena terjadi kekurangan bahan baku. ”Jadi, memang karena bahan baku kita terjadi kekurangan, (ada) yang ekspor melebihi jatah yang ada per perusahaan—ada beberapa perusahaan, tidak semua—maka sudah diputuskan stop ekspor CPO sampai dengan kebutuhan dalam negeri kita terpenuhi. Ini adalah bentuk political will Presiden yang mendukung rakyatnya,” katanya.
Jadi, menurut Bahlil, tidak benar seandainya ada yang mengatakan bahwa Presiden Jokowi hanya mendengarkan satu kelompok tertentu dari dunia usaha. ”Bagaimana mungkin? Ini kan kebijakan yang sangat berani. Dan saya juga ingin menyampaikan kepada teman-teman saya, baik pemikir maupun politisi, mbok tolong kalau kasih komentar yang enak dikitlah. Masa sampai ada yang mengatakan bahwa ini, dana ekspor sawit itu, dicurigai untuk salah satu kegiatan politik tertentu. Ini, kan, jangan sampai kita mengeluarkan statement yang cenderung untuk membuat kondisi yang saling merugikan. Enggak elok itu,” katanya.
Bahlil melanjutkan, ”Presiden, kan, selalu pengin untuk bagaimana dunia usaha bagus, rakyatnya bagus. Jadi, sekali lagi, enggak benar itu kalau ada yang beranggapan bahwa urusan ekspor sawit ini karena ada kepentingan tertentu, Presiden tidak pernah diatur oleh siapa pun. Jelas itu. Jadi, kita sesama anak bangsa jangan sampai saling membuat sesuatu yang baru praduga dalam kecenderungan suasana kebatinan kemudian seolah-olah dianggap itu benar. Kita butuh kekompakan dalam membangun negara ini.”
Pada kesempatan tersebut, Bahlil menuturkan, persoalan kelangkaan dan harga tinggi minyak goreng lebih karena masalah bahan baku, bukan karena ketiadaan industri. ”Kelangkaan yang ada sekarang untuk minyak goreng itu bukan karena tidak ada industri kita, bukan, tapi karena bahan bakunya enggak ada. Jadi, industri kita itu cukup sebenarnya. Tapi karena bahan bakunya diekspor, ya, akhirnya untuk membangun industri dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri kita jadi langka. Akibat langka, harga naik. Itu masalahnya,” kata Bahlil.