Larangan Ekspor CPO Dinilai sebagai Kebijakan Keliru dan Destruktif
Alih-alih dapat mengatasi masalah stok dan harga minyak goreng, larangan ekspor CPO justru akan mendestruksi industri sawit dan penerimaan negara. Devisa, surplus neraca perdagangan, dan pungutan ekspor dapat berkurang.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Contoh minyak olahan dari kelapa sawit diperlihatkan dalam Konferensi dan Pameran Internasional Kelapa Sawit 2012 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (9/5/2012). Saat ini, Indonesia menjadi produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) di dunia mengalahkan Malaysia dengan produksi CPO mencapai 23,5 juta ton per tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO dan produk turunannnya yang merupakan bahan baku minyak goreng dinilai sebagai kebijakan keliru dan destruktif. Kebijakan itu juga mulai berimbas pada penurunan harga tandan buah segar sebesar Rp 400 per kilogram hingga Rp 500 per kilogram.
Jumat pekan lalu, Presiden Joko Widodo melarang ekspor bahan baku minyak goreng mulai 28 April 2022 hingga batas waktu yang akan ditentukan kemudian. Presiden akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau (Kompas, 22 April 2022).
Vice President for Industry and Regional Research Office of Economist Group PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani berpendapat, larangan ekspor tersebut merupakan kebijakan yang keliru. Kebijakan itu tidak akan efektif ”menyembuhkan” persoalan utama pasokan bahan baku dan harga minyak goreng di dalam negeri, tetapi justru dapat memperlebar disparitas harga internasional dengan domestik.
Selama ini, Indonesia memasok sekitar 59 persen kebutuhan CPO dunia. Jika ekspor CPO dihentikan, harga CPO dunia pasti akan naik. Pada akhir perdagangan Jumat lalu, harga CPO di bursa komoditas Malaysia sebesar 6.355 ringgit Malaysia per ton atau tumbuh 2,63 persen secara bulanan dan 61,38 persen secara tahunan.
”Alih-alih dapat mengatasi masalah pasokan dan harga minyak goreng, kebijakan itu justru akan mendestruksi industri sawit dan penerimaan negara,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (24/4/2022).
Alih-alih dapat mengatasi masalah pasokan dan harga minyak goreng, kebijakan itu justru akan mendestruksi industri sawit dan penerimaan negara.
Dendi menjelaskan, larangan ekspor itu memengaruhi neraca perdagangan dan mengurangi devisa negara dari ekspor CPO. Jika diterapkan selama sebulan, nilai ekspor yang hilang diperkirakan sekitar 2,2 miliar dollar AS atau bahkan bisa lebih dari itu mengingat harga CPO dunia masih tinggi.
Pemerintah juga dapat kehilangan pendapatan dari pajak dan pungutan ekspor CPO dan produk turunannya. Padahal, pemerintah baru saja menaikkan tarif pungutan ekspor komoditas itu.
Apabila pungutan ekspor CPO itu berkurang, lanjut Dendi, penerimaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) juga turut berkurang. Padahal, saat ini badan tersebut tengah menanggung subsidi minyak goreng curah.
Sejak 16 Maret 2022, pemerintah menggulirkan kebijakan minyak goreng curah bersubsidi dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg. Minyak goreng curah bersubsidi yang akan disalurkan sebanyak 1,2 juta kiloliter selama enam bulan. Dana BPDPKS yang dialokasikan untuk subsidi itu sebesar Rp 8,35 triliun.
Sejak kebijakan itu digulirkan, harga minyak goreng curah masih di atas HET. Berdasarkan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga rata-rata nasional minyak goreng curah per 22 April 2022 sebesar Rp 17.700 per liter atau naik 11,32 persen dibandingkan dengan harga pada 15 Maret 2022 atau sehari kebijakan minyak goreng curah bersubsidi digulirkan yang sebesar Rp 15.900 per liter.
Petani menata tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang baru mereka panen di Desa Paku, Kecamatan galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (10/9/2012).
Harga TBS turun
Dendi juga menyatakan, larangan ekspor CPO dan produk turunannya itu juga akan menyebabkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani turun. Hal ini akan menurunkan pendapatan petani dan menghambat pemulihan ekonomi daerah-daerah penghasil sawit.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menuturkan, sejumlah pabrik pengolahan CPO telah menurunkan harga pembelian TBS dari petani antara Rp 400 per kg dan Rp 500 per kg. Hal itu sudah terjadi di Jambi dan Kalimantan Barat.
Penurunan harga itu menyebabkan harga TBS petani yang semula Rp 3.400 per kg-Rp 3.800 per kg, turun menjadi Rp 3.000 per kg-Rp 3.400 per kg. Penurunan harga terjadi sehari setelah Presiden mengumumkan larangan ekspor itu atau 5 hari sebelum kebijakan itu diterapkan.
”Kami berharap penerapan kebijakan itu tidak berlangsung lama atau setidaknya tidak lebih dari sebulan. Pemerintah juga perlu menjamin, jangan sampai kebijakan itu membuat TBS petani berada di bawah ambang batas harga Rp 2.000 per kg,” ujarnya.
Pemerintah juga perlu menjamin, jangan sampai kebijakan itu membuat TBS petani berada di bawah ambang batas harga Rp 2.000 per kg.
Menurut Mansuetus, SPKS percaya kebijakan yang diambil Presiden itu guna menjaga ketersediaan bahan baku minyak goreng di dalam negeri. Langkah itu diambil karena banyak pelaku usaha yang lebih mengedepankan ekspor karena lebih menguntungkan ketimbang untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Masalah ini akan selalu terjadi ke depan, karena ketersedian CPO dan produk turunannya dikuasai oleh segelintir pelaku usaha. Mereka memiliki pabrik yang terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Mansuetus berharap pemerintah dan badan usaha milik negara mengembangkan pabrik minyak goreng berskala kecil dan besar yang terintegrasi. Perkuat pula koperasi petani sawit agar dapat terlibat di dalamnya.
”Langkah itu perlu dilakukan agar negara tidak selalu kalah dari segelintir pelaku usaha tersebut. Ini juga bahaya bagi keamanan ekonomi dan politik dalam negeri,” katanya.