Pemerintah Indonesia punya peluang menarik investor hulu migas sebanyak-banyaknya seiring tingginya harga minyak mentah dan gas alam.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring tingginya harga minyak mentah, penawaran berbagai skema insentif fiskal dan nonfiskal diharapkan dapat menarik investor hulu minyak dan gas bumi atau migas untuk melakukan eksplorasi di Indonesia. Selain upaya tersebut, pemerintah tetap perlu memaksimalkan produksi dari lapangan migas yang sudah ada.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal, Jumat (15/4/2022), di Jakarta, mengatakan, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas biasanya terkena pungutan pajak langsung dan tidak langsung yang berbeda dengan sektor industri lain. Pajak langsung terdiri atas pajak penghasilan. Kemudian, pajak tidak langsung meliputi pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, pajak dalam rangka impor barang, pajak daerah, dan retribusi daerah.
Periode eksplorasi, imbuh Moshe, menjadi tahap yang paling berat bagi investor/perusahaan hulu migas. Mereka belum memperoleh pemasukan, tetapi harus menanggung biaya eksplorasi yang tinggi. Apalagi, risiko eksplorasi hulu migas di Indonesia terbilang tinggi apabila cadangan yang ditemukan tidak ekonomis untuk diproduksikan.
”Kalau bisa, pemerintah memberikan insentif perpajakan pada fase eksplorasi dan produksi migas. Pemerintah setidaknya mementingkan (pemberian insentif fiskal) kepada KKKS yang melakukan eksplorasi dan produksi di lapangan marginal ataupun lapangan yang sudah memasuki secondary recovery dan memerlukan teknologi tambahan, seperti pengurasan minyak tingkat lanjut (enhanced oil recovery/EOR),” ujar Moshe.
Chairman Regulatory Affairs Commitee Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Ali Nasir menambahkan, per tahun rata- rata realisasi investasi yang masuk ke hulu migas Indonesia hanya separuh dari yang sebenarnya dibutuhkan. Perubahan kebijakan fiskal, seperti pembebasan pajak di hulu migas, merupakan hal fundamental yang sejak lama diminta asosiasi.
”Industri hulu migas meminta pembebasan pajak sampai akhir masa kontrak bagi hasil (production sharing contract/ PSC). Akan tetapi, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split hanya memberikan pembebasan pajak saat eksplorasi. Saat berproduksi, kami dikenai beragam jenis pajak,” katanya.
Hal yang dibutuhkan investor sekarang adalah kepastian regulasi yang bisa lekas diimplementasikan pemerintah.
Menurut Ali, harga minyak mentah dunia cenderung masih akan tinggi sampai 2023, yakni 80-90 dollar AS per barel. Pemerintah perlu cepat menangkap momentum ini untuk menggaet investor. Hal yang dibutuhkan investor sekarang adalah kepastian regulasi yang bisa lekas diimplementasikan pemerintah.
Pengajar Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, saat dihubungi terpisah, berpendapat, permasalahan yang dihadapi Indonesia sekarang adalah tren harga tinggi migas dunia. Sementara Indonesia merupakan pengimpor bersih (net importer) minyak mentah lantaran produksi dalam negeri belum cukup memenuhi kebutuhan nasional.
Berbagai rencana pemberian insentif fiskal dan nonfiskal yang sedang digodok pemerintah, lanjut Fahmy, dinilai akan mampu mengundang investor untuk masuk. ”Selain itu, lapangan-lapangan migas yang sudah ada semestinya masih bisa dimaksimalkan. Badan usaha milik negara, seperti Pertamina, seharusnya memelopori,” katanya.
Kompetitif
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam rapat kerja di Komisi VII DPR, Rabu (13/4), di Jakarta, menyebutkan sejumlah penawaran kompetitif yang diyakini bisa memikat investor masuk ke Indonesia. Pertama, pemerintah siap menurunkan first tranche petroleum (FTP) menjadi 10 persen. FTP merupakan sejumlah tertentu migas yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil oleh badan pelaksana ataupun kontraktor sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi.
Kedua, pemerintah akan menerapkan peniadaan jumlah minimal bonus tanda tangan. Hal ketiga yang ditawarkan adalah fleksibilitas bagi pelaku industri untuk memilih skema bagi hasil berdasar produksi kotor (gross split) atau skema biaya operasi yang dipulihkan (cost recovery).
”Selanjutnya, kami juga tawarkan kewajiban penyerahan bagian kontraktor berupa minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO) selama masa kontrak. Lalu, tidak akan ada ongkos penjualan (cost selling),” ujar Arifin.
Industri hulu migas sedang memasuki gairah baru lantaran tingginya harga minyak mentah dan gas alam akhir-akhir ini. Selain faktor permintaan yang meningkat, krisis bersenjata Rusia-Ukraina turut mendongkrak harga komoditas energi tersebut. Di awal pandemi pada Maret 2020, harga minyak mentah sekitar 30 dollar AS per barel dan gas alam 2 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU).
Mengutip Bloomberg hingga Jumat (15/4), harga minyak mentah jenis Brent ada di level 111 dollar AS per barel dan harga gas alam 7 dollar AS per MMBTU. Tingginya harga tersebut berpengaruh pada naiknya harga jual eceran bahan bakar minyak dan elpiji.