Pangan Lokal Dayak Dilirik untuk Diteliti dan Diolah
Pangan lokal mulai dilirik dan dikembangkan di Kota Palangkaraya dengan diawali oleh riset juga penelitian bersama BRIN. Pangan lokal dinilai mampu menunjang kedaulatan pangan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pangan lokal Dayak mulai mendapat perhatian dari banyak pihak. Yayasan Batang Kayu Garing bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional tak hanya mengidentifikasi pangan lokal Dayak, tetapi juga pengolahan. Mereka mulai mendampingi peladang juga nelayan sungai di Kalimantan Tengah dengan diawali dengan riset pun penelitian.
Hal itu disampaikan Ketua Yayasan Batang Kayu Garing Alexander Sonny Keraf dalam kegiatan Pelatihan Pengembangan Pangan Lokal dan Agro-ekowisata di Kota Palangkaraya, Rabu (13/4/2022).
Kegiatan yang dilaksanakan secara daring dan luring itu juga dihadiri Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mego Pinandito dan Rektor Universitas Palangka Raya (UPR) Andrie Elia.
Pelatihan itu diikuti oleh 103 peserta yang merupakan peneliti, mahasiswa, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, serta peserta dari berbagai latar belakang. Menurut Sonny, pelatihan itu bertujuan untuk menaikkan daya saing pangan lokal, mengembangkan dan mengolahnya menjadi sumber pangan alternatif.
Dalam pelatihan itu, lanjut Sonny, yayasan bersama BRIN juga peneliti dari UPR akan melakukan identifikasi pangan lokal di Kalimantan Tengah bersama masyarakat. Pangan lokal dimulai dari yang tumbuh alami di hutan primer dan sekunder, tanaman pangan yang dibudidaya, serta identifikasi ikan sungai ataupun komoditas sungai lainnya.
Orang Dayak itu utamanya berburu dan meramu. Namun, karena ruang gerak yang kian sempit, ancaman pangan lokal menjadi semakin besar untuk punah. (Sonny Keraf)
Sonny mengambil contoh singkah atau rotan muda yang selama ini menjadi pangan lokal utama masyarakat Dayak, lalu beragam rempah yang melimpah di hutan. Ia juga menyebut beragam ikan khas sungai Kalteng, mulai dari gabus, toman, ikan lais, dan banyak lainnya.
”Orang Dayak itu utamanya berburu dan meramu. Namun, karena ruang gerak yang kian sempit, ancaman pangan lokal menjadi semakin besar untuk punah,” ungkapnya.
Kebutuhan pangan di Indonesia, lanjut Sonny, masih sangat bergantung pada negara lain. Pangan lokal seharusnya menjadi alternatif, bahkan pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan pangan.
”Tujuannya bukan ketahanan pangan, melainkan kedaulatan pangan,” ujar Menteri Negara Lingkungan Hidup periode 1999-2001 itu.
Kedaulatan pangan, kata Sonny, tak hanya bicara identifikasi pangan lokal, tetapi juga menjaga akibatnya, yakni sungai, laut dan hutan. Masyarakat di Kalimantan Tengah, yang sebagian besar adalah peladang dan nelayan, terkendala tiga masalah, yaitu kebijakan larangan membakar yang membuat kebiasaan ladang berpindah terancam hilang, pertambangan rakyat yang dibatasi, dan larangan mengolah hasil hutan.
”Dalam pelatihan ini kami bahkan sudah menyiapkan lahan dengan dasar perhutanan sosial yang sepenuhnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” ungkap Sonny.
Kedaulatan pangan
Pelatihan ini, lanjut Sonny, merupakan langkah awal untuk memberikan pendampingan kepada pelaku UMKM dan masyarakat. Target besarnya kedaulatan pangan, yakni terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia lokal, serta sumber daya produksi. Artinya, petani, nelayan, dan pelaku UMKM harus diberdayakan.
Hal itu disambut antusias oleh BRIN. Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN Mego Pinandito mengungkapkan, pelatihan ini diharapkan bisa mengolah kembali pangan lokal menjadi sumber pangan juga produk jualan.
Untuk itu, BRIN mengawali pelatihan tersebut dengan standardisasi produk pangan, cara menyajikan pangan sehat untuk industri rumah tangga, dan keamanan pangan.
”Sumber daya alam yang ada dimanfaatkan, tetapi tidak hanya mengambil saja karena akan habis, tetapi nanti bersama BRIN dan Universitas Palangka Raya mengembangkan teknologi budidaya,” kata Mego.
Mego mengungkapkan, teknologi itu bakal dimanfaatkan masyarakat. Sejumlah lahan yang sudah disiapkan, seperti di kebun raya di Kabupaten Katingan dan beberapa tempat lainnya, menjadi tempat penerapan teknologi melalui beberapa program BRIN.
”Nanti juga ada riset bersama peneliti dari BRIN dan teman-teman di UPR. Kita tahu Presiden ingin kuliner Indonesia harus bisa mendunia, artinya standardisasi kuliner industri ini berstandar internasional,” ungkap Mego.
Rektor UPR Andrie Elia menyambut baik kerja sama tersebut dan berharap kegiatan itu berkelanjutan. UPR memiliki hutan kampus seluas 600 hektar yang sudah diisi oleh beragam bahkan ribuan tanaman endemik Kalimantan. ”Ini perlu berkelanjutan, jangan hanya sampai di sini,” katanya.