Warga Lokal Harus Dilibatkan Menjaga Kekayaan Pangan Lokal Nusantara
Di tengah ancaman perubahan iklim, pangan lokal jadi jawaban ketahanan pangan. Namun, ancaman sumber-sumber pangan lokal juga tidak berhenti. Untuk itu upaya identifikasi dan menjaga sumber pangan lokal terus dilakukan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Masyarakat di empat kelurahan di Kecamatan Rakumpit, Kota Palangkaraya, dilibatkan mengidentifikasi pangan lokal khas Dayak. Upaya serupa penting dilakukan di berbagai daerah lain untuk menjaga eksistensi pangan lokal dari berbagai ancaman.
Identifikasi ini dilakukan dalam rangkaian acara Festival Pangan yang diselenggarakan Borneo Nature Foundation (BNF), 16-18 Februari 2022. Tema besarnya ”Adaptasi Perubahan Iklim terhadap Pangan Lokal”. Lima kelurahan yang terlibat, antara lain, Mungku Baru, Bukit Sua, Petuk Berunai, dan Panjehang. Hadir juga dalam kegiatan itu Ragil Imam Wibowo atau Chef Ragil dari Nusa Indonesian Gastronomy.
Pada Kamis (18/2/2022) pagi, identifikasi berpusat di Kelurahan Bukit Sua. Puluhan peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dengan tugas berbeda. Salah satu kelompok, misalnya, menuju hutan terdekat di sekitar Bukit Sua. Mereka mengumpulkan bahan makanan, mulai dari umbut (tunas tumbuhan), akar-akaran, daun-daunan, hingga menjala ikan di Sungai Rungan.
Lokasi pencarian pangan lokal dibagi menjadi empat tempat, yakni hutan, rawa atau kubangan, pematang juga pekarangan, dan perbukitan. Hasilnya, ada 25 jenis sayuran atau disebut dawen dalam bahasa Dayak Ngaju, 32 jenis buah-buahan (32) , rempah (25), batang-batangan (6), dan bunga (3).
Selain itu, juga tercatat 54 jenis ikan sungai, udang (4), umbut (9), umbi (7), dan pakis (2). Khusus sayuran, dari 25 jenis hanya 18 jenis yang bisa dibudidaya. Untuk rempah-rempah, dari total 25 jenis hanya 19 yang bisa dibudidaya.
Selanjutnya, bahan makanan itu mulai dimasak dalam berbagai menu. Marta Lisa (60), warga Kelurahan Bukit Sua, misalnya, membuat kandas potok ikan. Kandas merupakan salah satu masakan khas Dayak yang cukup dikenal. ”Ini bahannya gampang, hanya daun potok (kecombrang) ditambahkan umbut rotan, lalu ikan, dimasak bersama, jangan lupa cabai merah dan garam,” kata Marta.
Setelah memasak bersama dan saling belajar mereka pun mulai berdiskusi. Diskusi itu membahas segala bentuk ancaman pangan lokal di wilayah tersebut, seperti alih fungsi lahan dan kebijakan pemerintah.
Hermedi (37), warga Bukit Sua, mengatakan, sebagian besar warga di Rakumpit merupakan peladang tradisional. Mereka masih membakar karena tidak ada sawah di Rakumpit. Namun, sejak ada larangan membakar untuk membuka lahan sejak 2015, masyarakat tidak lagi menanam padi lokal. Akibatnya, banyak padi terancam punah. ”Sekarang lebih baik mencari ikan saja. Beras sudah pasti beli,” ujarnya.
Hermedi mengungkapkan, padi-padi jenis lokal masih bisa didapat dari daerah lain yang sudah bisa menemukan cara membuka lahan tanpa bakar dengan hasil yang baik. Namun, dia belum bisa menanam padi kembali karena sudah terlalu sering gagal panen akibat tidak boleh membakar.
Ragil mengatakan, kegiatan festival pangan tidak hanya untuk mengidentifikasi pangan lokal, tetapi juga menjadi bagian gerakan menjaga pangan lokal. Apalagi, budaya memasak di Indonesia merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya.
”Harus dibuat bangga dulu sama masakan sendiri, setelah itu baru bicara nilai ekonominya. Banyak sekali bahan pangan di sini yang dicari hingga ke luar negeri,” ungkap Ragil.
Ia mencontohkan keunikan menu karodam yang dibuat warga Bukit Suah.
Ragil mengaku belum pernah melihat masakan dengan cara memfermentasi ikan hanya dalam waktu enam jam.
”Biasanya fermentasi ikan itu dilakukan sampai dua atau tiga hari, ini hanya enam jam saja, tidak boleh terlalu lama. Rasa yang dihasilkan pun jadi lebih baik,” ungkap Chef Ragil.
Yuliana Nona, Community Development Landscape Rungan dari BNF, menjelaskan, pangan lokal menjadi andalan masyarakat Dayak di tengah ancaman perubahan iklim. Oleh karena itu, upaya menjaga, bisa dinikmati, hingga memiliki nilai ekonomi sebagai mata pencarian alternatif, mesti dilakukan.
Selain itu, identifikasi sebaiknya juga melibatkan masyarakat. Tujuannya, menyadarkan kembali bahwa pangan lokal adalah kekayaan yang luar biasa dan penting untuk selalu dijaga.
”Pangan lokal Dayak memiliki ciri khas sendiri. Tidak hanya nama, tetapi juga beberapa jenis tumbuhan yang tampaknya tidak bisa ditemukan di pulau lain, selain Kalimantan,” kata Nona.