Lumbung Pangan Lokal, Pertahanan Dayak Kalteng Lawan Perubahan Iklim
Pangan lokal masih menjadi pilihan utama masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah untuk dikonsumsi. Menjaga pangan lokal berarti menjaga lingkungan. Bahkan, pangan lokal jauh lebih bertahan dengan perubahan iklim.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Indonesia seharusnya tangguh menghadapi perubahan iklim. Modalnya tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masyarakat Dayak di Pulau Kalimantan, misalnya, punya lumbung pangan yang dijaga sejak ratusan tahun lalu. Berada di pekarangan rumah hingga hutan di sekitar tempat tinggal, dunia ikut menikmati manfaatnya.
Hal itu mengemuka dalam Lokakarya Pengelolaan Pangan Lokal yang diselenggarakan World Wide Fund for Nature (WWF) Kalteng bersama Forum Pangan Lokal Kalteng dan beberapa lembaga lainnya di Kota Palangkaraya, Jumat (17/12/2021).
Lokakarya itu dihadiri beberapa lembaga dan juga perwakilan kelompok perempuan dari beberapa desa di Katingan. Katingan menjadi wilayah pendampingan WWF, juga penelitian pangan lokal di Kalteng.
Antropolog Dayak dari Lembaga Studi Dayak 21, Marko Mahin, menjelaskan, lumbung pangan atau hutan merupakan sumber pangan utama masyarakat Dayak. Keberadaannya diwariskan leluhur kepada generasi lebih muda untuk melanjutkan kehidupan.
Akan tetapi, keberadaannya bukan hanya untuk urusan perut belaka. Pangan lokal mengubah pola pikir makan bukan hanya untuk kenyang, melainkan sehat dan adil secara ekologis. Kemauan menjaga pahewan, atau hutan yang dibiarkan menjadi rimba, dijaga dan dikeramatkan, jadi bukti.
Melestarikan pahewan di Katingan menyelamatkan manusia dari marabahaya. Di sana, hidup tumbuhan paku-pakuan seperti kelakai dan nira yang dalam bahasa Dayak disebut lesi. Keduanya ikut menyelamatkan banyak orang bertahan hidup saat banjir.
Dengan manfaat besar untuk manusia dan masa depan alam, kawasan itu juga sangat dijaga. Kawasan rawa, ladang, hutan, bekas ladang, sungai, dan danau, yang menjadi habitatnya, dilindungi. Sejak lama, mereka sadar, merusak berarti menghancurkan kehidupan.
”Jadi kampanyenya, jaga pangan lokal. Jangan beli makanan hasil penindas dan perusak alam,” kata Marko.
Kompas
Tak hanya memamerkan tanaman pangan, Lokakarya Pengelolaan Pangan Lokal juga menampilkan beragam foto tanaman pangan lokal dan masakan di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (17/12/2021).
Bukti tentang ketangguhan itu setidaknya muncul dari tiga desa di Kabupaten Katingan, yakni Desa Tewang Karangan, Dahian Tunggal, dan Tumbang Lawang. Lewat survei Lembaga Studi Dayak 21, ada 108 jenis padi lokal dan 30 jenis ketan. Semuanya ditanam di rawa atau yang disebut tapui oleh masyarakat Dayak juga ditanam di ladang.
Masyarakat setempat juga menikmati 119 jenis buah-buahan, baik yang dibudidaya maupun yang tumbuh liar. Beberapa di antaranya durian kasongan, kapul atau sejenis manggis, lalu rimbang atau sejenis belimbing
Ada juga 172 jenis sayuran yang dibudidayakan kaum perempuan. Beberapa di antaranya segau atau sawi pahit, potok atau kecombrang, dan rotan muda atau umbut rotan. Semua bisa diambil begitu saja dari hutan di sekitar tempat tinggal mereka.
”Ini adalah food estate-nya masyarakat Dayak Kalteng. Semakin jauh warga dengan hutan maupun ladang, maka akan semakin sedikit pula pilihan pangannya. Migrasi ke kota akan membuat mereka bergantung pada satu hingga dua jenis makanan saja,” ungkap Marko.
Kami minta perlindungan ke pemerintah daerah agar dilindungi, mulai dari peraturan desa hingga tingkat kabupaten. (Okta Simon)
Kompas
Bunga kecombrang yang disebut potok oleh orang Dayak menjadi salah satu bahan sayuran yang kerap dikonsumsi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Sayuran ini tumbuh liar di hutan dan sangat mudah dibudidaya. Dalam lokakarya pada Jumat (17/12/2021), beragam jenis sayuran dan tanaman pangan lokal ditunjukkan.
Lebih kuat
Manajer Program WWF Kalteng Okta Simon mengungkapkan, pangan lokal cenderung lebih kuat menghadapi perubahan iklim hingga dampak ikutan lainnya seperti hama penyakit. Keberadaannya terbentuk alami tanpa cairan kimia apa pun, bahkan saat dibudidaya. Sebagian besar tanaman pangan lokal tumbuh liar begitu saja.
”Sayangnya pasarnya belum menarik banyak orang, padahal ini lebih sehat dan bahkan bertahan dari perubahan iklim,” ungkap Okta.
Selain itu, dia berharap, kekayaan lokal ini bisa terus menjadi dasar kebijakan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pangan warga. Alasan itu penting diperjuangkan karena, kata Okta, banyak area kaya tanaman pangan justru rusak. Salah satu penyebabnya alih fungsi lahan yang memicu banjir serta kebakaran hutan dan lahan.
”Kami minta perlindungan ke pemerintah agar dilindungi, mulai dari peraturan desa hingga tingkat kabupaten,” kata Okta.
Beragam jenis sayuran, bumbu dapur, hingga benih padi lokal di Kabupaten Katingan dipamerkan dalam Lokakarya Pengelolaan Pangan Lokal di Kota Palangkaraya, Jumat (17/12/2021). Ratusan tahun lamanya masyarakat Dayak memiliki lumbung pangan mereka sendiri.
Sekretaris Daerah Katingan Pransang mengungkapkan, beberapa jenis tanaman pangan dalam lokakarya hanya sebagian kecil dari tanaman pangan lokal di Katingan. Masih banyak jenis tanaman pangan lokal yang bahkan belum diidentifikasi.
Pransang menjelaskan, Katingan sudah memiliki banyak kelompok masyarakat yang menjaga lingkungan. Kebijakan pemerintah tetap mendukung itu. Menurut dia, dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah, misalnya, sudah tertuang kawasan yang bisa dilindungi meski memang ada juga kawasan swasta.
Selain itu, ke depan, pasar bagi pangan lokal penting terus dibuka. Alasannya, pangan lokal tak hanya untuk dikonsumsi, tetapi juga dijual dan menjadi alternatif mata pencarian. ”Daerah kami tiga kali kena banjir, tetapi ekonomi masih cukup stabil. Pangan lokal ini masih menjadi pangan utama yang bisa dikonsumsi,” kata Pransang.
Pangan lokal tidak boleh dipandang sebelah mata. Selain membuat manusia tetap sehat, masa depan alam juga tecermin lewat keberadaannya.