Pesta Pangan Dayak di Ujung Lidah
Masakan khas Dayak dengan bahan dan cara memasak yang unik melahirkan ”orkestrasi” rasa di ujung lidah. Masakan yang diisi oleh pangan lokal itu tak hanya sehat, tetapi juga harus bisa menghadirkan keadilan ekologis.
Sumber pangan lokal masyarakat Dayak biasanya berada tak jauh dari tempat mereka tinggal. Di sungai, pekarangan rumah, juga dari hutan-hutan di sekitar. Masyarakat di Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, juga masih bertahan dengan pangan lokal.
Hal itu yang membuat Borneo Nature Foundation (BNF) menggelar Festival Pangan pada Rabu-Jumat (16-18/2/2022) di Kecamatan Rakumpit, sekitar 120 kilometer dari pusat Kota Palangkaraya. Mereka ingin masyarakat mengidentifikasi berbagai jenis pangan lokal langsung dari sumber pangannya.
Pada hari pertama, peserta festival yang berasal dari empat kelurahan itu dibagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang mencari sayuran, bumbu, ada juga yang menjala ikan di Sungai Rungan.
Marta Lisa (60), dari Bukit Sua, yang memasang mandau di pinggangnya dan memanggul lanjung di belakangnya siap berburu bumbu dan sayuran di hutan di sekitar kampungnya.
Belum sampai 100 meter, Marta sudah bertemu rebung. Ia mengambil parangnya, lalu memotong beberapa rebung dengan panjang beragam, mulai dari 15 sentimeter sampai lebih dari 40 sentimeter.
Baca juga : Warga Lokal Harus Dilibatkan Menjaga Kekayaan Pangan Lokal Nusantara
Perjalanan pun dilanjutkan. Dalam waktu lebih kurang satu jam, Marta sudah mendapatkan rebung, daun kalapimping (seperti kedondong), rotan muda, daun potok atau kecombrang, dan beberapa jenis buah hutan yang juga biasa dibuat sayuran.
Semua bahan dari tiap kelompok dikumpulkan di atas meja. Mereka kemudian mulai memasak. Kelompok yang memasak berbeda lagi sudah menyiapkan beberapa media masak. Tak hanya kompor, tetapi juga tungku api.
Marta ikut membantu membuat kandas singkah potok. Kandas atau sambal khas Dayak merupakan bagian paling seru dalam masakan Dayak. Tugasnya bukan hanya sebagai pelengkap makanan, melainkan juga pemancing lidah untuk terus mengunyah. Bagi penyantap kandas, akan muncul keinginan untuk terus tambah.
Marta membuat kandas dengan bahan dasar daun potok, cabai merah, bawang merah, lalu beberapa potong bawang putih, dan sejumput garam. Tanpa penyedap masakan, semuanya ditumbuk kasar lalu dijadikan satu. Ia juga mengiris beberapa potong rotan muda yang sudah masak, lalu dijadikan satu dalam wadah kandas.
Baca juga : Lumbung Pangan Lokal Pertahanan Dayak Kalteng Lawan Perubahan Iklim
”Kandas itu jenisnya banyak, ini hanya salah satu saja. Biasanya dicampur dengan daging ikan yang sudah digoreng atau direbus,” kata Marta.
Benar saja, setelah dicicipi, pesta rasa muncul di ujung lidah. Rasa pahit rotan muda tak menonjol, namun asam kecombrang atau daun potok begitu gurih. Asamnya mengalahkan nikmat jeruk nipis pada sambal terasi di warung-warung lalapan.
Rusmida (47) bersama ibu-ibu lain sedang membantu proses pembuatan lawas humbang dan karondam. Lawas humbang dibuat dengan menggunakan daun kalapimping yang agak lebar dan panjang seperti daun kedondong, sedangkan kerondam dibuat dengan menggunakan kecombrang.
Semuanya dibuat tanpa monosodium glutamat (MSG) buatan. Semuanya alami, rasa kalapimping pada lawas humbang mengalahkan aroma ikan bakar. Lawas humbang merupakan ikan yang dikukus, bisa juga diganti ayam, tergantung selera, ditambah sedikit kunyit sehingga kuah yang muncul menguning.
Cara memasaknya cukup unik, ikan difermentasi dulu selama enam-tujuh jam, lalu diikuti semua bumbu daun-daun tadi dan dibakar di dalam bambu.
Kelompok lain yang tak kalah menarik adalah kelompok yang didominasi bapak-bapak. Hermedi (37) harus menyusuri Sungai Rungan selama lebih kurang 30 menit menuju keramba miliknya. Di sana ia mendapatkan berbagai macam ikan sungai.
Baca juga : Pangan Lokal Berperan Penting dalam Mencapai Ketahanan Pangan
Ia menggunakan jaring yang mereka sebut salambao. Jaring atau jala ini diikat di sekitar anak sungai yang sudah disiapkan. Berbentuk persegi, terdapat tali panjang yang digulung untuk mengangkat jaring ke atas.
Setelah diangkat,ia dan Raja (12), keponakannya, masuk ke dalam jaring menggunakan juku atau sampan kayu. Di dalam jaring itu sudah terdapat berbagai ikan dengan berat minimal 4 kilogram, mulai dari ikan gurame, ikan lais, hingga ikan papuyu.
Tangkapannya ia bawa ke lokasi festival untuk dibersihkan dan dimasak bersama dengan sayuran juga bumbu masak yang sudah dikumpulkan tadi.
Melihat keanekaragaman rasa pada masakan itu, Ragil Imam Wibowo, yang biasa dikenal dengan panggilan chef Ragil, dari Nusa Indonesian Gastronomy mengungkapkan, masakan khas Dayak memiliki karakteristik berbeda, contohnya karondam. Ragil mengaku belum pernah melihat masakan dengan cara memfermentasi ikan hanya dalam waktu enam jam.
”Biasanya fermentasi ikan itu dilakukan sampai dua atau tiga hari, ini hanya enam jam saja, tidak boleh terlalu lama. Rasa yang dihasilkan pun jadi lebih baik,” ungkap chef Ragil.
Menurut Ragil, beberapa masakan khas Dayak bisa dibuat masakan yang jauh lebih kering, seperti abon atau bahkan keripik, untuk menambah nilai ekonomi pada masakan. Bukan hanya karena rasanya yang khas, melainkan juga proses memasaknya yang unik. ”Bisa jadi oleh-oleh, nih,” ujarnya.
Ragil menjelaskan, masakan Dayak itu memiliki rasa universal. Orang dari daerah mana pun bisa menikmati hidangan Dayak. ”Fermentasinya cuma enam jam, tapi rasanya kuat dan tidak mengganggu di lidah. Saya terkejut, rasanya masih enak di mulut,” ungkapnya.
Sumber pangan
Menurut Ragil, bahan pangan lokal yang berlimpah di Kalteng, khususnya Palangkaraya, tak lepas dari berbagai ancaman. Sumber pangan mulai diganggu alih fungsi lahan sehingga ada beberapa bahan masakan Dayak yang mulai sulit ditemukan, padahal memiliki nilai gizi tinggi dan menjadi penentu nikmat di lidah. Daun songkai adalah salah satunya. Daun yang sulit dibudidayakan itu kini mulai jarang terlihat.
”Sumber pangannya harus dijaga, sekarang mungkin masih gratis. Jangan sampai lima sampai 10 tahun ke depan saat bahannya mulai sulit dicari malah harus dibeli atau bahkan sudah punah,” kata Ragil.
Hal senada disampaikan Yuliana Nona, Community Development Landscape Rungan dari BNF. Ia menjelaskan, festival pangan tersebut juga menjadi bagian dari upaya menyadarkan masyarakat untuk menjaga sumber-sumber pangan di sekitarnya. Menjaga sumber menjadi solusi agar pangan lokal bisa terus terjaga, dinikmati, dan bahkan bernilai ekonomi sebagai mata pencarian alternatif.
”Identifikasi dilakukan langsung oleh masyarakat, tujuannya agar menyadarkan kembali bahwa pangan lokal di sini itu luar biasa dan penting untuk dijaga,” kata Nona.
Lokasi pencarian pangan lokal dibagi menjadi empat tempat, yakni hutan, rawa atau kubangan, pematang juga pekarangan, dan perbukitan. Hasilnya, ada 25 jenis sayuran atau disebut dawen dalam bahasa Dayak Ngaju, buah-buahan (32) , rempah (25), batang-batangan (6), dan bunga (3).
Selain itu, tercatat 54 jenis ikan sungai, udang (4), umbut (9), umbi (7), dan pakis (2). Khusus sayuran, dari 25 jenis, hanya 18 jenis yang bisa dibudidayakan. Untuk rempah-rempah, dari total 25 jenis, hanya 19 yang bisa dibudidayakan.
Baca juga : Surga Tanaman Obat yang Sedang Sakit
Pangan lokal itu dibagi menjadi empat lokasi tanam tumbuh, yakni di hutan, di rawa atau kubangan, pematang juga pekarangan, dan perbukitan atau tempat yang cukup tinggi.
”Pangan lokal Dayak memiliki ciri khas sendiri. Tak hanya nama, tetapi juga beberapa jenis tumbuhan yang tampaknya tidak bisa ditemukan di pulau lain selain Kalimantan,” kata Nona.
Nona tak menampik, tingginya alih fungsi lahan mengancam sumber pangan lokal Dayak. Apalagi, masyarakat Dayak pada umumnya hidup di sekitar sungai dengan bergantung pada sumber pangan di tutupan hutan sekitar sungai yang tinggi. Namun, alih fungsi lahan mengancam keberadaan sumber-sumber pangan itu.
Dari data Greenpeace, tutupan hutan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) di semua sungai besar di Kalteng menuju kritis. Sungai Kahayan yang pada tahun 1990 memiliki tutupan hutan di sekitarnya mencapai 969.836,1 hektar berkurang menjadi 570.847,7 hektar pada tahun 2020. Tersisa 37,1 persen tutupan hutan di DAS Kahayan.
Nona berharap kegiatan-kegiatan serupa bisa membuat sumber pangan lokal lebih dijaga. Sejatinya, ketahanan pangan tidak hanya memberikan kesehatan untuk masyarakat, tetapi juga keadilan ekologis.