Situasi daya beli masyarakat yang mulai terimpit kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi catatan untuk membuat sistem upah minimum yang lebih fleksibel dan bisa disesuaikan dengan kondisi inflasi aktual.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
Hari-hari ini kita disuguhi berbagai kisah getir perburuan minyak goreng. Dari antrean minyak goreng yang mengular panjang hingga memicu kerusuhan di berbagai titik; kasus ibu-ibu yang mencuri minyak goreng karena desakan kebutuhan di Madiun, Jawa Timur; sampai seorang ibu yang meninggal dunia karena lelah mengantre minyak goreng hingga berjam-jam di Samarinda, Kalimantan Timur.
Setiap kasus tersebut mencerminkan tekanan ekonomi yang semakin kentara dirasakan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah-bawah, di tengah naiknya harga berbagai kebutuhan pokok dan daya beli warga yang belum pulih betul.
Pandemi memang berangsur mereda, tetapi ekses ekonominya masih tersisa. Seiring dengan dampak berkepanjangan Covid-19 pada perekonomian global serta meningkatnya ketegangan geopolitik pasca-invasi Rusia ke Ukraina, sejumlah komoditas pangan dan energi mengalami lonjakan harga. Tren kenaikan inflasi ini pun dirasakan hampir semua negara.
Di Indonesia, salah satu yang meresahkan publik akhir-akhir ini adalah harga minyak goreng sawit sebagai salah satu kebutuhan pokok. Ketika daya beli warga belum pulih, pemerintah justru melepas harga minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar, seturut keinginan korporasi sawit. Alhasil, hanya dalam hitungan hari, harga minyak goreng kemasan sederhana dan premium melejit tinggi.
Menurut Data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, harga minyak goreng kemasan sederhana naik 38,04 persen dari Rp 16.300 per liter pada 15 Maret 2022 sebelum pemerintah mencabut HET menjadi Rp 22.500 per liter pada 24 Maret 2022. Sementara minyak goreng kemasan premium naik 38,8 persen dari Rp 18.300 per liter menjadi Rp 25.400 per liter.
Sebagai gantinya, pemerintah menerapkan program minyak goreng curah bersubsidi. Industri minyak goreng sawit diwajibkan memproduksi minyak goreng curah dengan HET Rp 14.000 per liter. Namun, pasokan dan harga tak kunjung terkendali. Harga minyak goreng curah justru naik 13,84 persen dari Rp 15.900 per liter menjadi Rp 18.100 per liter.
Minyak goreng bukan satu-satunya kekhawatiran warga. Masih ada kenaikan harga kebutuhan pokok lain, seperti sejumlah bahan pangan serta kenaikan bahan bakar minyak, elpiji, dan penambahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan segera berlaku.
Di tengah impitan kenaikan biaya hidup itu, pendapatan pekerja cenderung berjalan di tempat. Rata-rata kenaikan nasional upah minimum 2022 hanya 1,09 persen, di bawah angka inflasi tahunan per Februari 2022 sebesar 2,06 persen. Bahkan, ada 13 provinsi yang kenaikan upah minimumnya di bawah 1 persen.
Di tengah impitan kenaikan biaya hidup itu, pendapatan pekerja cenderung berjalan di tempat.
Upah yang tertahan itu tentu tidak mampu menutup tren kenaikan harga kebutuhan pokok yang kini mulai terjadi. Apalagi, inflasi diperkirakan akan terus naik. Bank Indonesia memproyeksikan inflasi pada Maret 2022 mencapai 2,54 persen, sementara Kementerian Keuangan mematok inflasi sepanjang 2022 akan menyentuh 3-4 persen, mengoreksi proyeksi sebelumnya.
Secara umum, formula penetapan upah minimum memang mengacu pada tingkat inflasi tahun berjalan saat kebijakan bersangkutan ditetapkan. Misalnya, kebijakan upah minimum 2022 mengacu pada angka inflasi pada September 2020 sampai September 2021. Oleh karena itu, penetapan upah minimum sulit memprediksi seberapa jauh kenaikan inflasi di tahun berikutnya ketika kebijakan tersebut resmi berlaku.
Namun, konsekuensi sistem pengupahan itu pada daya beli masyarakat baru terasa saat ini setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merombak formula pengupahan dan menahan laju kenaikan upah minimum.
Sebelum UU Cipta Kerja berlaku, rumus penetapan upah minimum masih memperhitungkan variabel pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi. Kebijakan upah minimum juga masih memperhitungkan survei kebutuhan hidup layak (KHL). Oleh karena itu, besaran kenaikan upah yang dihasilkan selalu mampu melampaui inflasi. Daya beli masyarakat pun tidak termakan laju kenaikan harga kebutuhan pokok.
Sebagai perbandingan, kenaikan upah minimum dalam lima tahun terakhir selalu di atas 8 persen sehingga otomatis melampaui angka inflasi yang berkisar 2-3 persen. Sebelumnya, persentase kenaikan upah minimum lebih tinggi lagi, yakni 19,1 persen pada 2013 dan 22,2 persen pada 2014, di atas inflasi tahunan 2013 yang saat itu mencapai 8,38 persen dan inflasi tahunan 2014 sebesar 8,36 persen.
UU Cipta Kerja mengubah formula tersebut dan hanya memperhitungkan salah satu variabel, antara pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Komponen KHL pun dihilangkan dari rumus penghitungan upah. Otomatis laju kenaikan upah minimum tertahan dan selalu berpotensi tergerus inflasi, menekan konsumsi masyarakat, dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Situasi daya beli yang mulai tergerus inflasi menjadi catatan untuk membuat sistem pengupahan yang lebih fleksibel dan bisa disesuaikan dengan kondisi inflasi aktual. Apalagi, jika tren kenaikan harga barang terus menanjak di tengah ketidakpastian ekonomi.
Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 31 menyebutkan, kebijakan upah minimum bisa disesuaikan dari waktu ke waktu. Sementara Rekomendasi Penetapan Upah Minimum ILO Nomor 135 Tahun 1970 memperjelas bahwa koreksi tingkat upah minimum dari waktu ke waktu itu dimungkinkan dengan memperhatikan perubahan standar biaya hidup dan indikator kondisi ekonomi lainnya, seperti inflasi. Penyesuaian itu bisa dilakukan secara reguler seperti tahunan, per semester, atau kapan pun dibutuhkan.
Situasi daya beli yang mulai tergerus inflasi menjadi catatan untuk membuat sistem pengupahan yang lebih fleksibel dan bisa disesuaikan dengan kondisi inflasi aktual.
Di beberapa negara, ketika inflasi meningkat hingga melebihi titik tertentu, kebijakan upah minimum akan dikoreksi. Di Perancis, misalnya, upah minimum otomatis akan dinaikkan jika angka inflasi di tahun bersangkutan mengalami kenaikan di atas 2 persen.
Kebijakan serupa sebenarnya bisa diterapkan di Indonesia sebagai kompensasi atas UU Cipta Kerja yang menahan laju kenaikan upah minimum. Besaran upah minimum dapat diubah, seminim-minimnya sesuai inflasi atau di atas inflasi. Tanpa mekanisme koreksi itu, daya beli masyarakat, khususnya pekerja yang digaji pas-pasan sesuai upah minimum, akan terus-menerus termakan inflasi.
Mekanisme koreksi ini pun dapat menjadi instrumen tambahan untuk menjaga daya beli masyarakat, di luar program bantuan sosial tambahan bagi kelompok rentan yang kabarnya saat ini mulai digodok pemerintah untuk mengantisipasi tren kenaikan inflasi.
Tentu saja tugas pemerintah pertama-tama adalah mengendalikan harga kebutuhan pokok agar tidak meliar mengikuti mekanisme pasar yang dinamis. Namun, cara-cara ekstra untuk menjaga daya beli masyarakat mungkin dibutuhkan.