Konversi Pembangkit Listrik Diesel ke Tenaga Surya Hemat Ongkos BBM
Konversi pembangkit listrik dari bahan bakar minyak ke sumber energi terbarukan dapat menghemat biaya operasional PLN dan mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Rencana PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengonversi pembangkit listrik tenaga diesel berkapasitas 499 megawatt ke pembangkit listrik tenaga surya dan sistem penyimpanan berbasis baterai diyakini menghemat konsumsi bahan bakar minyak sekitar 67.000 kiloliter per tahun. Program konversi diperkirakan mampu mengurangi emisi karbon 0,3 juta ton dan meningkatkan porsi energi terbarukan hingga 15 persen.
Direktur Megaproyek dan Energi Terbarukan PLN Wiluyo Kusdwiharto menyampaikan hal itu di sela-sela webinar ”Renewable Technology as Driver for Indonesia’s Dedieselization”, Rabu (23/3/2022), di Yogyakarta. PLN memiliki pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sebanyak 5.200 unit yang tersebar di 2.130 lokasi di seluruh Indonesia. Per 2020, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) PLTD tersebut mencapai 2,7 juta kiloliter dengan biaya bahan bakar Rp 16 triliun.
Wiluyo menjelaskan, skema konversi PLTD ke pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan sistem penyimpanan energi berbasis baterai (battery energy storage system/BESS) akan menyasar ke lokasi terpelosok (off grid). Skema ini akan dikerjakan dengan dua tahap. Tahap pertama akan mengonversi 212 megawatt (MW) PLTD di 183 lokasi. Sementara tahap kedua disebut kapasitas PLTD yang akan dikonversi 287 MW.
”Kami telah membuka pendaftaran daftar penyedia terseleksi (DPT) untuk program konversi itu sejak akhir 2020 dan pada 1 Maret 2022 mengumumkan pembukaan lelang untuk kluster Jawa, Madura, dan Kalimantan I,” ucap Wiluyo.
Di luar skema konversi PLTD ke PLTS dan BESS, PLN juga menyiapkan skema konversi PLTD ke gas dan skema interkoneksi ke grid (diesel conversion from isolated system to grid interconnection). Untuk skema konversi PLTD ke gas, kapasitas yang dikonversi mencapai 304 MW. Sementara untuk skema konversi PLTD menjadi interkoneksi ke grid, kapasitasnya mencapai 1.070 MW.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menambahkan, perkembangan teknologi mampu mengurangi harga jual listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik energi terbarukan. Sebagai gambaran, pada 2015, harga jual listrik PLTS dipatok 25 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). Saat ini, harga jualnya telah turun menjadi sekitar 4 sen dollar AS per kWh. ”Hal itu menjawab dilema antara energi bersih, tetapi mahal atau energi kotor, tetapi murah,” ujarnya.
Untuk skema konversi PLTD ke gas, kapasitas yang dikonversi mencapai 304 MW. Sementara untuk skema konversi PLTD menjadi interkoneksi ke grid, kapasitasnya mencapai 1.070 MW.
Dalam kesempatan sama, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Pahala Nugraha Mansury mengatakan, pemerintah menargetkan Indonesia mampu menjadi lima besar negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada 2045. Untuk memenuhi target itu, Indonesia harus memastikan pasokan energi tercukupi, meskipun pada saat bersamaan Indonesia harus menuju dekarbonisasi.
Sementara itu, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan, program konversi PLTD ke sumber energi terbarukan merupakan kunci peta jalan yang telah disusun Kementerian ESDM untuk menekan emisi gas rumah kaca demi mencapai karbon netral pada 2060.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo saat dihubungi terpisah mengatakan, pemakaian PLTS dan BESS menghasilkan emisi karbon yang rendah, bahkan bisa nol emisi jika tidak menghitung emisi daur hidupnya. Konversi PLTD ke gas pun sebenarnya mampu menurunkan emisi karbon, tetapi tidak sebesar konversi PLTD ke PLTS dan BESS. Dia memperkirakan emisi yang dihasilkan PLTG berkisar 400-600 gram karbon dioksida ekuivalen (gCO2e ) per kWh.
”Sementara apabila PLTD diganti ke jaringan (diesel conversion from isolated system to grid interconnection), hal itu bisa malah menaikkan emisi karbon. Pasalnya, jaringan PLN masih didominasi oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memiliki faktor emisi lebih dari 800 gCO2e/kWh,” ujar Deon.
Oleh karena itu, dia berpendapat, apabila PLN ingin agresif mengurangi emisi karbon, semestinya mengoptimalkan skema konversi PLTD ke PLTS dan BESS. Dengan memakai PLTS, khususnya, emisi karbon yang dihasilkan selama daur hidupnya, termasuk proses manufaktur dan konstruksi hanya 18-180 gCO2e/kWh. Kemudian, saat sudah membangkitkan listrik, emisi yang dihasilkan oleh PLTS bisa mencapai nol gCO2e/kWh.