Harga Listrik Energi Terbarukan Jadi Kunci Pengembangan
Akses teknologi yang terjangkau dan pembiayaan juga penting. Oleh karena itu, transisis energi berkelanjutan telah ditetapkan Presiden Jokowi sebagai salah satu prioritas dalam G-20 Presidensi Indonesia.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan harga listrik energi terbarukan menjadi tantangan sekaligus faktor kunci dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Di tengah keterbatasan anggaran negara, pendanaan untuk energi terbarukan bakal mengandalkan dukungan sumber lain.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional per 2021 baru 11,7 persen. Sementara pada 2025 ditargetkan mencapai setidaknya 23 persen. Adapun penurunan emisi gas rumah kaca nasional pada 2021 sebanyak 70 juta ton CO2 ekuivalen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam webinar Science 20 (S-20) bertajuk “Transisi Energi: Menuju Pembangunan Berkelanjutan”, Kamis (17/2/2022), mengatakan, untuk mencapai target capaian bauran energi nasional, kebijakan harga untuk energi terbarukan harus lebih menarik.
Sebab, dengan harga yang menarik dan stabil akan menentukan kelayakan pengembangan energi baru terbarukan. Yang sederhana, seperti untuk solar cell (listrik dari tenaga surya), diharapkan bisa dikembangkan di Pulau Jawa, kata Airlangga.
Dalam transisi energi, lanjut Airlangga, akses teknologi yang terjangkau dan akses pembiayaan juga penting. Oleh karena itu, transisis energi berkelanjutan telah ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai salah satu prioritas dalam G-20 di bawah presidensi Indonesia 2022. Dua hal prioritas lainnya adalah kesehatan global dan transformasi ekonomi digital.
Airlangga menuturkan, Indonesia juga terus mendorong usaha pengurangan emisi karbon, terutama di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), antara lain dengan teknologi carbon capture, utilizaton and storage (CCUS). Di Australia, ongkos (pengurangan emisi pada PLTU) masih relatif tinggi yakni 100 dollar AS per ton. Namun, dengan teknologi baru, pembakaran hidrogen melalui amonia, dapat ditekan ke 25 dollar AS per ton.
Teknologi seperti itu perlu dibuatkan prototipe di Indonesia agar peta jalan transisi energi tercapai. Serta (agar) terjangkau, baik dari sisi teknologi maupun harganya. Dalam COP-26, sudah disampaikan agar investasi rendah karbon di berbagai sektor terus didorong, ucap Airlangga.
Untuk mencapai target nol emisi karbon di 2060, dari sisi suplai, pengembangan energi terbarukan harus dilakukan secara masif.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dalam sambutan yang diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial, mengatakan, untuk mencapai target nol emisi karbon di 2060, dari sisi suplai, pengembangan energi terbarukan harus dilakukan secara masif. Begitu juga menghentikan operasi PLTU lebih dini secara bertahap dan penerapan teknologi CCUS.
Sementara dari sisi permintaan, antara lain dengan mendorong pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai, pemakaian kompor induksi, serta jaringan gas untuk rumah tangga. Tantangannya, menurut Ego, yakni terkait keekonomian dan teknolgi, kesiapan industri dalam negeri, keseimbangan pasokan, dan pertumbuhan permintaan dengan harga terjangkau, kemudahan perizinan, serta penyiapan lahan.
Selain sinergi pemerintah dan badan legislatif dalam penguatan regulasi dan kebijakan, BUMN dan swasta diharapkan turut berpartisipasi di sektor penciptaan pasar dan industrinya. Begitu juga peran aktif masyarakat. Badan-badan penelitian dan pengembangan (litbang) serta akademisi pun berperan penting dalam pengembangan energi terbarukan.
“Pelaksanaan litbang akan menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan kompetitif. Dengan demikian, dapat menurunkan biaya pembangkit serta meningkatkan nilai tambah pada produk industri energi terbarukan”, kata Ego.
Biaya pengembangan
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menuturkan, dari data IRENA Renewable Power Generation Cost pada 2020, biaya pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan menurun signifikan dalam 10 tahun terakhir. Hal itu terutama pada pembangkit yang intermiten, seperti surya dan angin.
Pada panel tenaga surya, misalnya, biayanya turun dari 4.731 dollar AS per kilowatt (kW) pada 2010 menjadi 883 dollar AS per kW. Begitu juga pada angin (pembangkit listrik tenaga bayu). Beberapa kontrak lelang PLN (untuk energi terbarukan) juga sudah bisa menembus di bawah PLTU (yang menggunakan energi fosil). “Ini salah satu tanda baik, kendati ada tantangan di sisi intermitensi,” katanya.
Mengenai pendanaan, imbuh Dadan, sejumlah skema sedang disiapkan. Pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Presiden terkait harga listrik energi terbarukan dan mendorong penyediaan pendanaan yang tak hanya bersumber dari dalam negeri dan basis komersial perbankan, juga filantropi, multinasional, dan sumber lainnya untuk mendukung percepatan pencapaian emisi nol bersih pada 2060.
Menurut Dadan, untuk mencapai target target tersebut, dibutuhkan investasi sekitar 1 triliun dollar AS, khusus di sektor pembangkit tenaga listrik. Adapun hingga 2025 atau target 23 persen bauran energi baru dan terbarukan, diperlukan investasi sekitar 4 miliar dollar AS per tahun. Pada 2021, realisasi investasi masih sebesar 1,4 miliar dollar AS.
Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha menambahkan, saat ini ketergantungan Indonesia pada energi fosil masih tinggi. Oleh karena itu, harus ada strategi yang tepat dalam pengembangan energi terbarukan. Jangan sampai Indonesia terlambat merespons transisi energi di saat terlanjur mengalami krisis energi.
Yang paling memungkinkan saat ini ialah (penggunaan) energi fosil, tetapi dengan teknologi untuk energi bersih. Sampai pada gilirannya nanti sepenuhnya (mengembangkan) energi terbarukan. Saat ini, PLTS masih mahal karena ada baterainya. Sementara angin, di beberapa negara, saat turbin tak berputar, panas bumi yang menggerakkan. Itu kombinasi bagus, tetapi tak semua tempat bisa, ucap Satya.
Sementara itu, menurut Guru Besar Bidang Ekonomi Energi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Uninversitas Indonesia (FEB UI) Djoni Hartono, transisi energi fosil ke terbarukan adalah satu keniscayaan. Namun, perlu dilihat apakah mengejar target bauran energi baru dan terbarukan 23 persen pada 2025 mungkin untuk direalisasikan.