Presiden Jokowi Minta Masukan Skema Transisi Energi
Presiden Jokowi mengungkapkan, skenario untuk mengatasi kenaikan harga ketika transisi energi dilakukan masih belum mendapatkan jalan keluar. Padahal harga listrik yang dihasilkan dari energi baru terbarukan lebih mahal.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transisi menuju energi baru terbarukan tak bisa dihindari. Namun, skema untuk mengatasi harga energi baru terbarukan yang lebih tinggi menjadi masalah yang belum berjawab.
Presiden Joko Widodo meminta para ahli yang bergabung dalam The 10th Indonesia Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) ConEx 2021 memberikan masukan. Hal ini disampaikan dalam sambutannya saat membuka acara yang diselenggarakan secara virtual, Senin (22/11/2021). Hadir pula dalam acara ini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Presiden Joko Widodo menjelaskan, skenario untuk mengatasi kenaikan harga ketika transisi energi dilakukan masih belum mendapatkan jalan keluar. Hal ini dibicarakan, baik di KTT G-20 di Roma, Italia, maupun COP 26 di Glasgow, Kerajaan Inggris, baru-baru ini.
”Kita hanya berkutat bicara mengenai bagaimana skenario global untuk masuk ke transisi energi. Tahun lalu sebenarnya sudah masuk ke tema ini, tetapi juga belum ketemu scheme-nya seperti apa,” tutur Presiden Jokowi.
Oleh karena itu, saat ditanya Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Jokowi menyebutkan Indonesia menargetkan netral karbon (net zero emission) pada 2060. Kendati diminta untuk memajukan target menjadi tahun 2050 seperti negara-negara lain, Indonesia bergeming. ”Ya nggak apa-apa, kalau hanya ngomong saja, saya juga bisa,” ujarnya kepada peserta EBTKE ConEx 2021.
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi baru terbarukan yang mencapai 418 giga watt, baik tenaga air, geotermal, bayu, tenaga matahari, maupun arus bawah laut.
Namun, Presiden Jokowi menjelaskan, kontrak untuk PLTU dengan bahan bakar batubara sudah lama berjalan. Selain itu, harga listrik yang dihasilkan dari energi baru terbarukan lebih mahal.
”Siapa yang membayar gap-nya ini, siapa? Ini yang belum ketemu. Negara?
Nggak mungkin, angkanya berapa ratus triliun. Atau dibebankan masyarakat, tarif listrik naik? Juga tidak mungkin, ramai nanti, karena kenaikannya tinggi sekali. Wong (tarif listrik) naik 10-15 persen saja demonya tiga bulan,” tutur Presiden lagi.
Namun, Presiden Jokowi menjelaskan kontrak untuk PLTU dengan bahan bakar batubara sudah lama berjalan. Selain itu, harga listrik yang dihasilkan dari energi baru terbarukan lebih mahal.
Karena itu, Presiden menugaskan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk mencari skenario untuk mengatasi perbedaan harga tersebut.
Presiden juga meminta para ahli yang berdiskusi dalam acara EBTKE ConEx untuk memberi masukan mengenai hal ini. Diharapkan ada skema konkret dengan kalkulasi riil yang bisa diterapkan.
Sejauh ini, lanjutnya, Indonesia yang memiliki 4.400 sungai besar dan sedang mencoba menerapkan pembangkit listrik tenaga hidro setidaknya di Sungai Kahayan dan Sungai Mamberamo. Sungai Kahayan di Kalimantan diperkirakan bisa menghasilkan 13.000 MegaWatt, sedangkan Sungai Mamberamo di Papua 24.000 MW.
Indonesia yang memiliki 4.400 sungai besar dan sedang mencoba menerapkan pembangkit listrik tenaga hidro setidaknya di Sungai Kahayan dan Sungai Mamberamo.
Karenanya, Desember mendatang akan dilakukan groundbreaking green industrial park di Kalimantan Utara. Energi akan disiapkan dari pembangkit listrik tenaga hidro Sungai Kahayan.
”Industri yang akan masuk, antre ternyata. Saya kaget, mereka ingin produknya dicap sebagai green product dengan nilai dan harga yang jauh lebih tinggi dari produk-produk dengan energi fosil. Kalau ini jalan mungkin skenarionya akan lebih mudah,” tambah Presiden.
Kendati demikian, skema untuk mengatasi perbedaan harga energi listrik berbahan bakar fosil dan berenergi baru terbarukan tetap dicari. Hal ini akan dibahas dalam KTT G-20 di Bali tahun 2022.
Dalam acara ini, anggota Komisi VII DPR, Ridwan Hisjam, menyampaikan, mendukung energi baru terbarukan terdapat tiga hal yang harus ada. Pertama, payung hukum yang kokoh. ”Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru Terbarukan harus selesai 2022 ini. Ini harus jadi tekad bersama,” katanya.
Selain itu, diperlukan juga teknologi yang mumpuni dan sumber daya manusia yang kompeten. Di sisi lain, sektor keuangan dalam negeri juga perlu dilibatkan. Sebab, kata Ridwan, APBN tidak akan cukup untuk mencapai target netral karbon 2060.
”(Nilai) 5,7 miliar dollar AS per tahun untuk transisi energi, karena itu investasi dari dalam dan luar negeri perlu dibuka seluas-luasnya dan harus dicari cara untuk menghubungkan keuangan negara, swasta, dan multinasional untuk mencapai target,” tambahnya.