Pemerintah mengkaji skema pembiayaan untuk mendanai rencana pensiun dini sejumlah pembangkit listrik tenaga uap. Ini bagian dari skenario transisi energi.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Suasana Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sulut 2 atau yang lebih dikenal dengan PLTU Amurang di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Rabu (27/10/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Transisi energi menuju target bebas emisi karbon membutuhkan biaya yang tidak kecil. Pemerintah akan berhati-hati melakukan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbasis batu bara untuk menjaga kondisi keuangan negara serta menghindari terjadinya krisis energi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan hal itu dalam acara ”Kompas 100 CEO Forum” di Jakarta Convention Center, Kamis (18/11/2021). Turut hadir secara langsung Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, serta sejumlah pimpinan perusahaan yang tergabung dalam Indeks Kompas100 CEO Forum.
Rencana untuk melakukan penghentian operasional PLTU sebelumnya disampaikan pada rangkaian Konferensi Para Pihak Ke-26 (COP 26) tentang perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia. Pemerintah menargetkan 9,2 gigawatt (GW) PLTU akan dihentikan pada tahun 2030, sebagai bagian dari upaya memenuhi target bebas emisi karbon di 2060.
Sri Mulyani mengatakan, peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan tidak bisa dilakukan secara drastis dan terburu-buru. Indonesia tetap berkomitmen memenuhi target penghentian PLTU pada tahun 2030 dan target bebas emisi karbon pada tahun 2060, tetapi prosesnya akan dilakukan secara bertahap dan berhati-hati.
Apalagi, permintaan terhadap listrik di masa depan akan semakin besar dengan semakin maraknya penggunaan produk berbasis listrik, seperti mobil listrik dan kompor listrik. PLTU yang ditutup harus digantikan dengan pembangkit listrik baru yang menggunakan energi berkelanjutan.
Indonesia tetap berkomitmen memenuhi target penghentian PLTU pada tahun 2030 dan target bebas emisi karbon pada tahun 2060, tetapi prosesnya akan dilakukan secara bertahap dan berhati-hati.
”Kita butuh biaya. Mempensiunkan dini PLTU itu tidak gratis, ada ongkos yang harus dikeluarkan. Hal ini yang sedang kami bahas secara multilateral. Karena krisis iklim itu persoalan global, hitungan uangnya harus dibicarakan dengan sangat spesifik,” ujar Sri Mulyani.
Rencana penutupan PLTU semakin kompleks dilakukan karena adanya kontrak kerja antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan pengembang listrik swasta (IPP) berskema take or pay. Skema itu mengharuskan PLN tetap membayar tenaga listrik yang dibeli dari IPP kendati listrik tak terserap.
Rencana menghentikan PLTU harus mempertimbangkan tantangan biaya yang tidak murah itu dan menjaga kondisi keuangan PLN dan APBN tetap sehat. Transisi energi juga perlu dilakukan secara bertahap agar Indonesia tidak mengalami krisis energi seperti yang saat ini dialami sejumlah negara.
”Hampir sebagian besar pengembang listrik yang bekerja sama dengan PLN menggunakan skema take or pay sehingga walau PLTU tidak dipakai dan rakyat memakai solar panel sendiri, PLN tetap harus membayar ke IPP. Artinya, kontrak-kontrak lama harus disesuaikan lagi agar lebih rasional sesuai dengan semangat climate change,” kata Sri Mulyani.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mengestimasi anggaran yang dibutuhkan untuk mengakhiri penggunaan PLTU berbasis batubara adalah 25 miliar dollar AS-30 miliar dollar AS atau sekitar Rp 357,5 triliun-Rp 429 triliun.
Rencana menghentikan PLTU harus mempertimbangkan tantangan biaya yang tidak murah itu dan menjaga kondisi keuangan PLN dan APBN tetap sehat.
Pekerja dengan alat berat mencampur batubara dengan cangkang sawit di PLTU Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (11/10/2021). PLTU Sintang merupakan salah salah satu lokasi yang memiliki ketersediaan bahan bakar co-firing dalam hal ini cangkang sawit yang besar. Penghematan bahan bakar batubara dapat dihemat hingga 10 persen dengan metode co-firing menggunakan cangkang sawit.
Dukungan pembiayaan
Airlangga menambahkan, pemerintah sedang menyiapkan peta jalan rencana pensiun dini PLTU, termasuk skema pembiayaan peralihan dari PLTU ke pembangkit listrik lain. Salah satunya melalui bantuan internasional, seperti dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank).
Dukungan dana dari hasil kerja sama itu bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan pembangkit listrik baru dengan sumber energi terbarukan. ”Kalau ini berhasil, dana yang masuk bisa dipakai untuk investasi di energi terbarukan dan menjadi model untuk pelan-pelan bertransisi dari PLTU,” katanya.
Menurut Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini, jika pemerintah ingin melakukan pensiun dini PLTU di luar skenario normal sesuai masa kontrak, PLN membutuhkan dukungan dari pemerintah terkait subsidi dan kompensasi biaya penghentian lebih awal.
”Kami sangat mendukung untuk menghentikan PLTU sesuai dengan jadwal kontrak jual beli listrik. Namun, kalau mau pensiun dini, kami perlu dana dan dukungan dari pemerintah,” ucap Zulkifli.
Sementara itu, Vice President Director PT Pan Brothers Anne Patricia Sutanto mengatakan, dunia industri saat ini sedang berupaya memulihkan diri setelah terdampak pandemi Covid-19 selama 1,5 tahun terakhir. Untuk itu, industri membutuhkan dukungan kepastian dan ketersediaan listrik PLN.
”Kami berharap PLN bisa menjaga kestabilannya. Kepastian biaya produksi sangat diperlukan oleh pengusaha saat ini di tengah persaingan yang kian ketat,” kata Anne.