Proses Transisi Energi Bersih Dihadang Beragam Persoalan
Transisi penggunaan batubara menuju ke energi baru dan terbarukan tidak mudah direalisasikan.
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan dekarbonisasi menuntut pengurangan pemakaian batubara. Namun, proses mengurangi sekaligus transisi menuju ke energi yang lebih ramah lingkungan justru menghadapi aneka persoalan.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko mengatakan, berdasarkan proyeksi secara global, akan terjadi penurunan batubara mencapai 25 persen pada 2035 dan 40 persen pada 2050 akibat pengetatan peraturan emisi karbon.
Kementerian ESDM telah menyusun peta jalan pengembangan dan pemanfaatan batubara yang dibagi dalam tiga periode skenario. Periode tahun 2021-2025 dipakai untuk menyiapkan dan membangun industri berbasis batubara, seperti dimetil eter pengganti elpiji dan metanol, serta studi penerapan teknologi batubara bersih.
Kemudian, periode 2026-2030 dipakai untuk meningkatkan pembangunan industri berbasis batubara dan persiapan implementasi teknologi batubara bersih. Adapun pada periode 2031-2045 diharapkan industri berbasis batubara sebagai solusi ketahanan energi serta optimalisasi teknologi batubara bersih pada hilirisasi batubara, termasuk PLTU.
”Perusahaan batubara harus bisa mendiversifikasi usaha. Batubara bisa dipakai untuk kebutuhan gasifikasi, briket untuk kebutuhan UMKM, dan pencairan batubara. Jadi, muncul berbagai jenis industri berbasis batubara. Visi peta jalan itu sudah jelas, yakni ketahanan energi dan pemanfaatan batubara nasional secara terintegrasi dari hulu-hilir,” ujarnya saat menghadiri webinar ”Masa Depan Industri Batubara”, Selasa (14/12/2021), di Jakarta.
Menurut Sujatmiko, perusahaan tambang batubara pemegang kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang akan habis masa kontraknya dan mengajukan permohonan perpanjangan kontrak menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) harus mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kementerian ESDM akan melihat rencana produksi sesuai permohonan izin, kondisi cadangan, rencana pengembangan ke depan, serta tata ruang.
”Kalau sudah jadi IUPK, harus meningkatkan nilai tambah batubara,” ujarnya.
Sujatmiko menambahkan, tantangan implementasi semua kebijakan menuju transisi energi dari batubara ke energi baru dan terbarukan tersebut adalah keamanan pasokan energi. Tantangan lainnya, keterjangkauan harga dan akses layanan energi kepada masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2020, sumber daya batubara di Indonesia mencapai 143,7 miliar ton dan cadangan 38,8 miliar ton. Asumsi produksi per tahun mencapai sekitar 600 juta ton. Jika tidak ada pertumbuhan cadangan batubara, kecukupan cadangannya diperkirakan bisa sampai 65 tahun.
Pada tahun 2020, produksi batubara nasional mencapai sekitar 550 juta ton. Kebutuhan batubara dalam negeri berkisar 155 juta ton yang terdiri dari pemenuhan pembangkit listrik (109 juta ton) dan industri (46 juta ton). Ekspor batubara berkisar 395 juta ton.
Proyeksi batubara sebagai sumber energi pada bauran energi nasional tahun 2021 berkisar 67 persen dan pada 2030 sekitar 59 persen. Pemerintah pernah menekankan tidak direncanakan lagi pengembangan PLTU batubara baru, kecuali yang sudah financial closed dan konstruksi.
Sejalan dengan tekanan dekarbonisasi, pemerintah juga berkali-kali menyampaikan agar pemanfaatan batubara ke depan harus diimbangi dengan teknologi ramah lingkungan untuk mengurangi emisi CO2. Skenario optimalisasi penggunaan batubara untuk mendukung penurunan emisi mencakup, antara lain, inovasi teknologi penggantian PLTU dengan pembangkit EBT, proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial (cofiring), dan implementasi teknologi penangkapan, penyimpanan, serta pemanfaatan emisi karbon untuk produksi minyak dan gas (CCUS)
Executive Vice President Electricity System Planning PT PLN (Persero) Edwin Nugraha Putra menyampaikan, tantangan yang dihadapi mencakup masih mahalnya teknologi CCUS sehingga sampai sekarang belum dipakai di Indonesia. PLN sejauh ini berencana mulai mengadopsi teknologi CCUS setelah PLTU yang ada terdepresiasi.
”Kalau memakai teknologi CCUS, ada tambahan harga listrik per kWH sebesar 5-6 sen. Saat ini, harga listrik yang dihasilkan dari PLTU berkisar 5-6 sen. Artinya, jika akan diterapkan teknologi CCUS, harga listrik per kWH bisa semakin naik menjadi 10-12 per kWH dan ini akan memberatkan masyarakat,” ujarnya.
PLN berharap, dalam beberapa tahun ke depan muncul teknologi CCUS yang lebih efisien dan terjangkau. Sejauh ini, Edwin menceritakan, sekitar 35 unit kompleks pembangkit listrik telah menerapkan cofiring atau 10-30 persen dari total PLTU batubara.
”Masih ada PLTU-PLTU kelanjutan dari proyek nasional 35 GW. Saat bersamaan, kami mengupayakan agar porsi pembangkit listrik energi baru dan terbarukan naik hingga menjadi 23 persen pada 2025,” katanya.
Mengenai implementasi teknologi CCUS, Head of Strategy and Corporate Development PT Bukit Asam Tbk (Bukit Asam) Setiadi Wicaksono mengatakan hal senada. Bukit Asam baru akan mulai menjajaki teknologi CCUS pada 2023-2024. Harapannya, pada tahun itu, teknologi CCUS semakin matang dan lebih kompetitif dari segi biaya ataupun perhitungan komersial.
”Secara komersial, teknologi CCUS sekarang masih memberatkan capex (belanja modal),” kata Setiadi.
Bukit Asam saat ini mempunyai sumber daya batubara 5,8 miliar ton dan cadangan 3,18 miliar ton. Menurut Setiadi, upaya manajemen karbon yang sedang direalisasikan oleh perusahaan mencakup reklamasi dan dekarbonisasi operasional tambang. Peralatan tambang yang menggunakan bahan bakar fosil perlahan diganti ke listrik sehingga menghemat biaya operasional.
Baca juga : Soal Penyesuaian Kebijakan DMO, Pertimbangkan Kebutuhan Dalam Negeri
Pasar internasional
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum Singgih Widagdo dalam acara yang sama berpendapat, untuk menuju transisi energi batubara ke energi baru dan terbarukan perlu melihat secara menyeluruh peta kondisi industri batubara nasional serta kaitan peran Indonesia di pasar internasional. Misalnya, produksi batubara nasional masih melibatkan ratusan tambang batubara dan perusahaan tambang pemegang kontrak izin usaha pertambangan tidak ada kewajiban hilirisasi.
Tantangan lainnya adalah pemanfaatan batubara untuk sektor industri, seperti gasifikasi dan semen, menjanjikan, tetapi bentuk pemanfaatan seperti ini perlu ditelaah lebih jauh potensi tingkat serapan batubaranya. Pengalaman selama ini, tingkat serapan batubara untuk sektor industri masih kalah dibandingkan penyerapan untuk sektor kelistrikan.
Terkait pasar batubara internasional, Singgih menyampaikan, China telah memutuskan untuk terus meningkatkan kebutuhan batubara sampai batas 4,3 miliar ton pada 2025-2026 dan akan tetap dijaga sebagai batas maksimal pemakaian batubara di dalam negeri. Sementara India yang menargetkan memproduksi satu miliar ton batubara tidak mudah merealisasikan target itu.
Dua negara itu mengisi 54 persen porsi ekspor batubara Indonesia. Kedua negara itu juga memiliki sikap untuk dekarbonisasi, seperti India yang pernah menyatakan karbon netral pada tahun 2070.
Dengan berbagai potensi tantangan transisi batubara ke energi baru dan terbarukan seperti itu, Singgih menambahkan agar Pemerintah Indonesia memetakan rencana kerja anggaran belanja bagi perusahaan dapat dibuat untuk lima tahun, tetapi tetap dievaluasi setiap tahun. Ini akan mempermudah perusahaan tambang batubara memastikan investasi mereka.
”Intinya, pemerintah perlu punya pemetaan (pengendalian) produksi batubara dan skenario kebijakan yang jelas. Jadi, perusahaan-perusahaan tambang mengetahui langkah yang harus diambil,” katanya.
Baca juga : Pemenuhan Kebutuhan Pendanaan Pembangkit Listrik EBT Dilematis