Gejolak harga sejumlah komoditas pangan bisa jadi momentum tepat untuk menekan ketergantungan pada pangan impor. Namun, perbaikan sistem pangan dan kehendak politik yang kuat diperlukan guna mewujudkannya.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pergerakan harga sejumlah komoditas pangan di dalam negeri, terutama yang bergantung pada impor, sulit diprediksi lantaran dipengaruhi situasi di pasar internasional. Dalam jangka menengah dan panjang, perbaikan sistem pangan nasional menjadi keharusan. Namun, perbaikan jangan sekadar jargon tanpa kehendak politik yang kuat.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa saat dihubungi, Jumat (4/3/2022), berpendapat, kelompok pangan dengan persentase impor tinggi, seperti gandum, kedelai, bawang putih, dan gula, sulit diprediksi pergerakan harganya. Sebaliknya, pangan yang sebagian besar diproduksi petani dalam negeri, seperti cabai dan beras, dapat diprediksi harganya berdasarkan pola panennya.
Terkait gejolak harga pangan belakangan, kata Andreas, penting bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola pangan guna menekan ketergantungan pada pangan impor. Impor delapan komoditas, yakni beras, jagung, gandum, kedelai, gula, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah, melonjak dari 8 juta ton tahun 2008 menjadi 27,6 juta ton tahun 2018.
Pada 2020, jumlahnya turun menjadi 26,3 juta ton, tetapi naik lagi jadi 27,7 juta ton tahun 2021. Guna menekan ketergantungan itu, kata Andreas, perbaikan perlu disertai political will (kehendak politik) yang kuat dari pemerintah, bukan sekadar jargon. Situasi saat ini bisa jadi momentum.
Selama ini, ujar Andreas, upaya-upaya perbaikan sistem pangan seperti sekadar jargon dan akhirnya berujung kegagalan. Situasi saat ini bisa jadi momentum. Pada komoditas kedelai, misalnya, saat harga kedelai lokal terkerek oleh harga kedelai impor.
”Sekarang harga di tingkat usaha tani bisa Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram. Itu sudah sedikit menguntungkan bagi pengembangan kedelai nasional. Agar harga di konsumen bertahan Rp 12.000-Rp 12.500 per kg harus ada kebijakan tarif,” katanya.
Menurut Andreas, semua upaya bakal mentah jika tidak ada political will terkait kebijakan tarif. ”Kalau tarif impor masih 0 persen, mana ada petani mau menanam kedelai atau bawang putih? Jadi, saat ini sebenarnya jadi momen yang teramat penting bagi pemerintah untuk memanfaatkan keseimbangan baru. Nanti lama-lama (harga) tidak akan terasa oleh masyarakat,” ujarnya.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky, menyatakan, selain komoditas energi, harga gandum juga meningkat. Itu antara lain karena Ukraina yang kini tengah berkonflik dengan Rusia merupakan salah satu negara eksportir utama gandum di dunia.
”Apabila harga gandum global terus meningkat, Indonesia (negara pengimpor) bakal terkena dampak. Terutama untuk bahan baku produksi tepung dan mi. Jika berkelanjutan, bulan Ramadhan nanti inflasi dapat meningkat dari komoditas bahan makanan, di samping energi,” ujar Riefky.
Menurut data Bloomberg, Jumat sore, harga gandum berjangka Chicago menembus 12,09 dollar AS per gantang. Sementara menurut catatan Trading Economics, harga gandum 13,40 dollar AS per gantang, naik 74,31 persen secara bulanan. Harga kedelai yakni 16,95 dollar AS per gantang atau naik 17,3 persen secara bulanan.
Mulai berdagang
Di tengah harga lonjakan berbagai harga pangan dunia, harga daging sapi di sejumlah pasar tradisional di Jakarta juga masih tinggi. Namun, sejumlah pedagang yang sebelumnya mogok berjualan sejak Senin (28/2/2022) mulai kembali berjualan pada Jumat. Adapun harga daging sapi masih berkisar Rp 130.000-Rp 140.000 per kg.
”Hari ini saya jualan daging 15 kg, tetapi cuma habis (terjual) 6 kg. Harga Rp 140.000 per kg dan pembeli masih sepi. Semoga dibantu pemerintah supaya pembeli ramai lagi. Sekarang (pembeli) masih pada enggak mau, (harganya) ketinggian,” kata Adi (50), pedagang daging di Pasar Slipi, Jakarta Barat.
Adam (26), pedagang di Pasar Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, mengatakan, dirinya ikut kembali berjualan karena memerlukan pemasukan. Namun, pembeli daging sapi belum banyak. Para pembeli yang mau membeli Rp 140.000 per kg kebanyakan karena terpaksa. Adapun harga di tingkat pemotong, katanya, masih sekitar Rp 107.000 per kg.
Sementara itu, harga gula pasir premium di sejumlah pasar berkisar Rp 14.000-Rp 15.000 per kg. Adapun di sejumlah minimarket, harganya masih Rp 13.500 per kg serta masih relatif tersedia.
”Gula kemasan (premium) barangnya kurang. Satu toko dibatasi satu dus. Selain itu, kami jual Rp 14.500 per kg karena harus menutup kopi saset yang dikawinkan dengan gula. Kalau mau beli harga biasa, harus beli paketan sama kopi saset. Tapi kopinya tidak laku. (Gula) Kalau normalnya Rp 13.000-Rp 13.500 per kg,” ujar Mulya, penjual bahan kebutuhan pokok di Pasar Bendungan Hilir.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, per Jumat, harga rata-rata daging sapi kelas I di tingkat nasional ialah Rp 130.650 per kg, naik dibandingkan situasi Kamis (24/2/2022) yang mencapai Rp 129.050 per kg. Sementara rata-rata harga gula nasional mencapai Rp 15.450 per kg.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam keterangannya mengatakan, pihaknya telah memvalidasi data yang dilaporkan secara periodik. Ia juga meninjau ke sejumlah peternakan yang fokus pada penggemukan sapi. ”Jika kita lihat ketersediaan sapi-sapi di sini, kita yakini dapat menyuplai kebutuhan sapi siap potong untuk Ramadhan hingga Lebaran nanti,” kata Syahrul, Kamis (3/3/2022).
Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, dalam keterangan tertulis, Jumat, menuturkan, pihaknya akan membereskan persoalan pangan dari dua sisi, yakni produsen dan masyarakat. Menurut dia, kerja sama dan konektivitas antara daerah produsen dan konsumen juga penting.