Waspadai Dampak Tak Langsung Konflik Rusia-Ukraina
Indonesia perlu mewaspadai dampak tidak langsung dari konflik Rusia-Ukraina terhadap kinerja ekspor. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi RI bisa turun 0,014 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Konflik Rusia-Ukraina akan berimbas terhadap kinerja ekspor dan impor Indonesia kendati skalanya cukup kecil. Meskipun begitu, Indonesia perlu mewaspadai dampak tak langsung konflik perang kedua negara terhadap kinerja ekspor.
Peneliti Bidang Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, ekspor Indonesia ke Rusia dan Ukraina, begitu juga impornya dari kedua negara tersebut, relatif kecil. Nilai ekspor Indonesia ke Rusia dan Ukraina masing-masing sebesar 0,6 persen dan 0,4 persen dari total nilai ekspor Indonesia.
Sementara nilai impor Indonesia dari Rusia dan Ukraina sama, yaitu sekitar 0,7 persen dari total impor Indonesia. ”Jadi, dampak konflik Rusia-Ukraina terhadap kinerja ekspor dan impor Indonesia tidak akan terlalu besar,” ujarnya dalam diskusi virtual Indef bertema ”Perang, Harga Minyak, dan Dampaknya bagi Ekonomi dan Bisnis Indonesia”, Rabu (2/3/2022).
Kementerian Perdagangan mencatat, total nilai perdagangan Indonesia-Rusia pada tahun 2020 dan 2021 masing-masing sebesar 1,93 miliar dollar AS dan 2,74 miliar dollar AS. Sepanjang lima tahun terakhir (2017-2021), Indonesia baru bisa membukukan surplus neraca perdagangan nonmigas dengan Rusia pada 2020 dan 2021, yaitu masing-masing sebesar 38,36 juta dollar AS dan 284,66 juta dollar AS.
Komoditas ekspor Indonesia ke Rusia antara lain minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, karet dan produk karet, sepatu, elektronik, cokelat, dan kopi. Sementara komoditas impor Indonesia dari negara itu antara lain besi baja dan produk kimia.
Baca juga : Ekspor Bisa Anjlok, Impor Gandum Bisa Tersendat
Sementara total nilai perdagangan Indonesia-Ukraina pada 2020 dan 2021 masing-masing mencapai 1,18 miliar dollar AS dan 1,45 miliar dollar AS. Dalam lima tahun terakhir, yakni kurun 2017-2021, neraca perdagangan nonmigas Indonesia selalu defisit dengan Ukraina. Pada tahun 2020, misalnya, nilai defisitnya mencapai 739,21 juta dollar AS dan pada 2021 turun menjadi 623,88 juta dollar AS.
Komoditas ekspor Indonesia ke Ukraina antara lain CPO dan produk turunannya, kertas, dan bubuk cokelat. Adapun komoditas impor Indonesia dari Ukraina adalah biji dan tepung gandum serta besi.
Menurut Heri, meski imbasnya terhadap perdagangan dengan Rusia dan Ukraina tidak terlalu besar, Indonesia tetap perlu mewaspadai dampak tidak langsung konflik Rusia-Ukraina. Pasalnya, perdagangan kedua negara tersebut, terutama Rusia, sangat bergantung pada China.
Meski imbasnya terhadap perdagangan dengan Rusia dan Ukraina tidak terlalu besar, Indonesia tetap perlu mewaspadai dampak tidak langsung konflik Rusia-Ukraina.
Jika kedua negara itu mengurangi impor dari China, maka China bisa mengurangi kapasitas industrinya. Apabila hal itu terjadi, China akan mengurangi impor bahan baku dari sejumlah negara, termasuk Indonesia.
”China banyak mengimpor bahan baku dari Indonesia. Produk jadinya diimpor ke Rusia dan Ukraina. Maka, bila ekspor China ke kedua negara itu turun, imbasnya bisa berpengaruh ke kinerja ekspor Indonesia,” katanya.
Kementerian Perdagangan China (MOFCOM) mencatat, total nilai perdagangan China-Rusia pada 2021 mencapai 146,88 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, nilai ekspor China ke Rusia sebesar 67,56 miliar dollar AS. Adapun total nilai perdagangan China-Ukraina pada 2021 sebesar 1,89 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, total ekspor China ke Ukraina sebesar 10,97 miliar dollar AS.
Indonesia tetap perlu mewaspadai dampak tidak langsung konflik Rusia-Ukraina. Pasalnya, perdagangan kedua negara tersebut, terutama Rusia, sangat bergantung pada China.
Menurut Heri, Pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi atau meminimalkan dampak tidak langsung itu dengan sejumlah langkah. Pertama, Indonesia perlu mempertahankan pasar China dengan mengekspor produk-produk bernilai tambah tinggi, bukan bahan baku atau barang mentah.
Kedua, mengalihkan ekspor ke Ukraina yang terhambat dengan meningkatkan ekspor ke sejumlah negara tetangga Ukraina. Hal ini perlu dilakukan lantaran Ukraina pasti membutuhkan pasokan barang konsumsi, bahkan bahan baku, dari negara-negara tetangga di tengah perang dengan Rusia.
”Di samping itu, Pemerintah Indonesia perlu mencermati perubahan peta perdagangan dunia akibat perang Rusia-Ukraina. Hal ini untuk memitigasi hambatan dagang sekaligus memfasilitasi eksportir-importir Indonesia mengalihkan pasar,” ujarnya.
Konsumsi dan PDB
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M Rizal Taufikurahman menuturkan, Pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi efek rambatan perang Rusia-Ukraina. Imbasnya tidak hanya di sektor perdagangan, tetapi juga berimbas pada kenaikan harga minyak mentah dan pangan dunia.
Sebelum perang kedua negara itu berlangsung, harga energi dan pangan sudah naik tinggi. Imbasnya sudah dirasakan oleh konsumen di Indonesia karena harga elpiji, minyak goreng, daging sapi, dan kedelai naik.
Perang Rusia-Ukraina ini, lanjut Rizal, justru akan mendorong harga energi dan pangan tetap tinggi sehingga menyebabkan inflasi. ”Hal ini akan berujung pada terhambatnya perbaikan konsumsi rumah tangga,” ujarnya.
Baca juga : Minyak Goreng Beri Andil Deflasi, Elpiji Sebabkan Inflasi
Rizal memperkirakan harga minyak mentah akan naik sekitar 1,14 persen. Sementara itu, harga gas dan listrik akan naik 0,19 persen, makanan olahan 0,08 persen, serta transportasi dan komunikasi 0,1 persen. Konflik Rusia-Ukraina juga diperkirakan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,014 persen.
Konflik Rusia-Ukraina itu juga diperkirakan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,014 persen.
Executive Director Emerging Markets Asia, Economic, and Policy Research JP Morgan, Sin Beng Ong, berpendapat, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina akan merembet ke kenaikan harga komoditas lain. Sejauh ini, konflik kedua negara itu telah menyebabkan harga minyak mentah dunia dan gandum naik.
”Minyak mentah, misalnya. Pada triwulan II-2022, kami memperkirakan harga rata-rata minyak Brent akan naik dari 90 dollar AS per barel menjadi 110 dollar AS per barel,” ujarnya melalui siaran pers, Rabu.
JP Morgan mencatat, kenaikan harga minyak mentah sekitar 20 persen per barel diperkirakan akan menyebabkan neraca perdagangan migas Indonesia defisit sebesar 2,4 miliar dollar AS. Nilai itu akan mengurangi produk domestrik bruto (PDB) Indonesia sebesar 0,2 persen. Pada 2021, PDB Indonesia atas dasar harga berlaku sebesar Rp 16.970,8 triliun.
TradingEconomics mencatat, harga gandum global pada pekan terakhir Februari 2022 melonjak menjadi 9,3 dollar AS per gantang. Harga tersebut merupakan harga gandum tertinggi sembilan tahun terakhir. Hal ini terjadi lantaran invasi Rusia ke Ukraina. Rusia dan Ukraina menyumbang sekitar 30 persen dari total ekspor gandum dunia.
Invasi Rusia ke Ukraina yang pertama kali terjadi pada 24 Februari 2022 menyebabkan harga minyak mentah melonjak menjadi 105 dollar AS per barel pada akhir perdagangan hari itu. Kenaikan harga minyak itu menyebabkan harga komoditas lain bergejolak.
Pada hari yang sama, harga kedelai telah tembus 17,5 dollar AS per gantang pada 24 Februari 2022, mencapai level tertinggi sejak September 2012. Harga CPO global juga masih bertengger tinggi, yaitu 6.130 ringgit Malaysia per ton, tidak jauh dari rekor tertinggi pada 21 Februari 2022 yang mencapai 6.158 ringgit Malaysia per ton.
Baca juga : IMF dan Bank Dunia Ingatkan Dampak Perang Rusia-Ukraina bagi Ekonomi Global