Produksi Padi Menurun, Perkuat Tata Kelola Hulu-Hilir
Badan Pusat Statistik mencatat penurunan luas panen dan produksi padi tahun 2021 dibandingkan tahun 2020. Faktor cuaca dinilai mendorong sebagian petani beralih menanam komoditas selain padi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat luas panen dan produksi padi sepanjang 2021 lebih rendah dibandingkan tahun 2020. Sejumlah faktor dinilai menjadi pemicunya, antara lain pengaruh musim kemarau, peralihan ke tanaman lain, dan erupsi gunung berapi. Penguatan sektor pertanian harus dilihat secara makro dari hulu ke hilir agar tata kelola berjalan lebih optimal.
Luas panen padi pada tahun 2021, menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (1/3/2022), mencapai 10,41 juta hektar atau turun 2,3 persen dibandingkan luas panen tahun 2020 yang mencapai 10,66 juta hektar. Sementara produksi padi pada tahun 2021 mencapai 54,42 juta ton gabah kering giling (GKG) atau turun 0,43 persen dibandingkan produksi GKG tahun 2020 yang mencapai 54,65 juta ton.
Dengan produksi gabah sebesar itu, produksi beras tahun 2021 mencapai 31,36 juta ton. Jumlah ini turun 0,45 persen dibandingkan produksi beras tahun 2020 yang mencapai 31,5 juta ton.
”Penurunan luas panen disebabkan oleh beberapa faktor, seperti terjadinya kemarau lebih tinggi pada Agustus dan September 2021 yang menyebabkan kekeringan. Karena kekuarangan air, ada peralihan ke tanaman lain selain padi,” ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto dalam telekonferensi pers, Selasa (1/3/2022).
Pada akhir 2021, intensitas hujan yang cukup tinggi juga berdampak pada penurunan luas panen. Di samping itu, erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur pada Desember 2021 juga dinilai turut memengaruhi penurunan luas panen dan produksi padi tahun lalu.
Erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur, Desember 2021, juga dinilai turut memengaruhi penurunan luas panen dan produksi padi.
Provinsi yang menyumbang penurunan produksi GKG terbesar pada 2021 secara tahunan ialah Sumatera Selatan dengan angka penurunan 6,95 persen, Sumatera Selatan 6,22 persen, dan Jawa Timur dengan penurunan mencapai 1,56 persen. Sementara kenaikan terbesar produksi GKG terjadi di Sulawesi Selatan, yakni dengan 8,12 persen, lalu Jawa Tengah dengan 1,36 persen, dan Papua 42 persen.
Sekretaris Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Lampung Jiwa Shofari saat dihubungi, Selasa, enggan berkomentar terkait penurunan produksi GKG sebesar 6,22 persen di Lampung. Menurut dia, saat ini para petani memang tak sedang banyak membicarakan padi. Justru jagung dan singkong yang sedang menjadi primadona.
”Para petani sedang menikmati harga bagus keduanya, sekitar setahun terakhir. (Harga) Jagung kini sekitar Rp 3.500 per kg, meningkat dari biasanya sekitar Rp 1.200 per kg. Kalau harga rendah bisa dimainkan pabrik. Kalau singkong (harga) 1.400 per kg dari biasanya di bawah Rp 1.000 per kg. Kalau di atas Rp 1.000 per kg, apalagi bersih, petani menikmati,” ujarnya.
Saat dihubungi secara terpisah, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jaka Widada mengatakan, penurunan produksi beras juga bisa terjadi karena kesulitan petani mendapat pupuk, terlebih pupuk nonsubsidi harganya tinggi. Namun, di sisi lain, petani memang perlu lepas dari ketergantungan terhadap pupuk subsidi.
Ia melihat, saat ini pemerintah melalui BUMN sudah berupaya untuk memperbaiki hal itu. ”Termasuk kerja sama Pupuk Petrokimia Gresik dengan UGM yang baru diinisiasi. Kami melakukan pendampingan dalam teknologi produksi dengan fokus di Bantul (DIY). Jadi, menggunakan pupuk hayati, yang nanti dijamin ketersediaannya untuk petani,” ujar Jaka.
Holistik
Lebih jauh, terkait penguatan sektor pertanian nasional, Jaka berpendapat bahwa pertanian harus dilihat secara makro atau holistik. Tidak hanya parsial, terkait produksi misalnya, tetapi kemudian tidak terserap pasar dan petani merugi. Kendala tersebut yang selama ini terjadi di sejumlah tempat.
”Harus ada peta pertanaman dan menggunakan pendekatan makro. Sementara mengenai tata niaga, perlu ada keberpihakan secara serius kepada petani. Bagaimanapun, petani butuh hidup layak. Menurut saya, yang paling tepat ialah subsidi harga. Ada jaminan harga bagi para petani, misalnya lewat Bulog,” tuturnya.
Saat dikonfirmasi terkait upaya Kementerian Pertanian dalam upaya peningkatan produksi padi setelah adanya penurunan pada 2021, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri hingga Selasa malam belum memberikan respons.
BPS mencatat potensi luas panen sepanjang Januari sampai April 2022 mencapai 4,81 juta hektar atau meningkat 8,58 persen secara tahunan. Kenaikan itu juga berdampak pada peningkatan produksi. Potensi produksi padi Januari-April 2022 diperkirakan mencapai 25,4 juta ton GKG atau meningkat 7,7 persen secara tahunan.
Dalam keterangannya, Selasa, Boga mensyukuri adanya kenaikan prognosis produksi. ”Alhamdulillah kolaborasi pemerintah dan petani terus terjaga sehingga ketersediaan pangan dan kesejahteraan petani terus meningkat,” katanya.